Jumat Pagi di Telaga Warna

Cuaca mendung berkabut, saat kami tiba di Taman Wisata Alam Telaga Warna Puncak pukul 07.30 WIB. Kami pikir sudah terlambat untuk melakukan pegamatan burung di kawasan wisata yang secara administratif terletak di Desa Tugu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Maklum, dari Bogor berangkat kesiangan, sekitar jam 06.00 WIB lebih sedikit, agak mundur dari jadwal semula. Cilaka dua belas jadinya bila yang terlihat hanyalah hamparan perkebunan teh dan pemandangan hutan semata. Sementara, burung yang jadi incaran, melayang entah kemana.

Beruntung, kekhawatiran itu tidak terbukti. Temperatur dingin, sangat mungkin membuat burung-burung berdiam diri di sarangnya. Meski ada juga yang lalu lalang seperti layang-layang batu (Hirundo tahitica).

Kami parkir beberapa meter di bawah papan petunjuk bertuliskan Taman Wisata Alam Telaga Warna: SK Mentan No 481/KPTS/UM/VI/1981 Tanggal 9 Juni 1981. Taman Wisata Alam Telaga Warna seluas 5 hektar ini memang berbatasan langsung dengan Cagar Alam Telaga Warna yang arealnya mencapai 268,25 hektar. Telaga Warna dikenal sebagai objek wisata dengan permukaan air danau alamnya yang berwarna; hijau lumut atau merah kecoklatan, akibat pantulan sinar mentari dari celah dedaunan.

Udara dingin langsung menelusup tubuh begitu pintu mobil dibuka. Seolah tak ingin kehilangan waktu, segera kami turunkan perlengkapan yang memang telah dipersiapkan sedia kala. Di bawah guyuran gerimis dan kabut yang menggelayut, kami bergegas menuju pintu masuk.

Baru beberapa meter melangkah, seekor elang-ular bido (Spilornis cheela) datang menghampiri. Ya, keberadaan elang yang terbang mengitari perkebunan teh, merupakan hal lumrah di sini. Bahkan, bila cuaca cerah, jenis elang lain akan dengan mudah dilihatsebut saja elang brontok (Nisaetus cirrhatus) atau bahkan elang jawa (Nisaetus bartelsi).

Tak hanya burung, Taman Wisata dan Cagar Alam Telaga Warna ini juga memiliki potensi keragaman hayati luar biasa. Sebut saja herpetofauna, mamalia, serta aneka jenis capung yang cantik.

**

Foto BI/Fahrul Amama

Kabut telah reda, saat kami bersiap melakukan pengamatan di bibir telaga. Satu hal unik saat melakukan pengamatan adalah segala informasi yang didapat, patut dicatat menggunakan pensil. Wah, kenapa bukan pulpen atau spidol?

Pensil, alat tulis sederhana ini, selain bernilai ekonomis juga memiliki keunggulan. Sebut saja, saat sebuah buku catatan basah, maka tulisan yang menggunakan pensil akan tetap tidak luntur. Selain itu, tulisan yang menggunakan pensil akan terjaga pula kualitasnya. Inilah argumen kuat yang nyata khasiatnya.

Mengenai pensil, ada kisah klasik yang hingga kini masih enak untuk disimak. Suatu ketika, kala Amerika mengirimkan astronotnya ke luar angkasa, para astronot tersebut ditugaskan untuk menuliskan segala informasi yang didapat. Yang terjadi adalah para angkasawan ini kesulitan saat akan mencatat. Bukan karena peralatannya yang tertinggal, melainkan pulpen yang mereka bawa sering macet. Tiada gravitasi dituding sebagai biang keladi. Sehingga, kala itu, pemerintah Amerika disibukkan untuk melakukan riset. Tujuannya jelas, menciptakan pulpen berteknologi tinggi yang tidak hanya bisa digunakan di angkasa luar, tetapi juga di kedalaman laut bahkan segala permukaan hingga titik didih dan beku sekalipun. Tak terhitung berapa lama waktu dan berapa banyak dolar yang digelontorkan.

Di kesempatan berbeda, kosmonot Rusia yang juga melakukan kegiatan antariksa hanya dibekali alat tulis sederhana. Para ilmuwan Rusia tidak dipusingkan untuk melakukan penelitian besar-besaran terlebih menciptakan jenis pulpen ”ajaib” seperti yang dilakukan para ilmuwan Paman Sam itu. Mereka hanya membekali para kosmonotnya dengan alat tulis, yang lucunya sering kita sepelekan. Pensil!

**

Foto BI/Fahrul Amama

Dalam keheningan, sayup-sayup terdengar suara burung pelanduk. Namun, sebelum melihat aslinya, kami tidak bisa mengatakan bahwa dugaan kami benar. Kami tidak mau beranda-andai dan larut dalam tebakan. Ini bertentangan dengan konsep pengamatan. Sebuah kegiatan yang menekankan pada penghayatan untuk benar-benar melihat kehadiran burung sembari menikmati keindahan warna, bentuk, tingkah laku, hingga kicaunya.

Seekor burung berciri bulu warna hitam, abu-abu, dan putih terlihat bertengger di atas pucuk pohon setinggi 10 meter. Bentuknya seukuran burung-gereja erasia (Passer montanus) dengan kepala dan kerongkongannya berwarna hitam serta tengkuknya putih. Di bagian wajah ada bercak putih tepat di bawah matanya yang bulat kecil. Paruhnya yang kecil berwarna hitam. Dalam bidikan binokuler, gambaran detilnya terlihat jelas.

Ternyata, menggunakan binokuler juga akan terasa repot jika belum terbiasa. Terlebih, bila fokusnya belum tepat maka efek samping pertama yang didapat adalah kepala terasa agak pusing. Nomor duanya, leher jadi pegal karena sering mendongak ke atas, mengamati saksama si burung. Namun, segalanya akan teratasi dengan rajin berlatih.

Merasa belum puas, kami beranjak ke perbatasan antara kebun teh dan pinggiran hutan. Lazimnya disebut wilayah ekoton. Di sini, peluang melihat kehadiran burung memang terbuka lebar. Beberapa ekor tanpa ragu terbang rendah di atas kepala. Dari sini pula, kawasan Puncak sebagai ciri khasnya hutan pegunungan terlihat hijau berseri.

Beberapa jenis yang berhasil kami lihat adalah gelatik-batu kelabu (Parus major), raja-udang meniting (Alcedo meninting), munguk loreng (Sitta azurea), serta sikatan-rimba dada-coklat (Rhinomyias olivacea).

IMG_9215
Foto BI/Fahrul Amama

Mengamati burung merupakan hobi memikat. Warnanya yang indah, suaranya yang merdu, atau tingkahnya yang lucu merupakan serangkaian kepuasan yang hanya didapat saat melakukan pengamatan. Dan tanpa harus menjadi hobi pun, burung selalu ada di sekitar kita, mulai di pekarangan rumah, taman kota, pantai, hingga pegunungan.*

Rahmadi/Burung Indonesia

Artikel yang diterbitkan oleh