Tahun 1950, G.A.L. de Haan, peneliti asal Belanda pernah mempublikasikan secara ilmiah perjumpaannya dengan mandar gendang. Sejak itu, lebih dari setengah abad, berita mengenai jenis ini tidak terdengar lagi gaungnya.
Mandar gendang (Habroptila wallacii) dalam beberapa literatur sering disebut sebagai salah satu burung yang paling tidak diketahui ikhwalnya di Indonesia. Sejak teridentifikasi secara ilmiah tahun 1860, hanya enam lokasi di Halmahera yang pernah tercatat kehadirannya yaitu Sondo-sondo, Pasir Putih, Tewe, Fanaha, Weda, dan Gani.
Begitu misteriusnya burung ini, para pengamat dan peneliti menjulukinya Invinsible Rail atau yang tak terlihat. Kemisteriusan inilah yang menuntun kami mencari hingga menemukannya di Halmahera. Mengapa Halmahera? Karena, mandar gendang merupakan satu-satunya jenis mandar endemik di pulau seluas 18.000 km persegi ini. Artinya, ia tidak dapat dilihat di sudut mana pun di muka bumi selain Halmahera. Endemik Halmahera sekaligus meneguhkan bahwa si mandar merupakan endemiknya Indonesia.Alias hanya ada di Indonesia tepatnya di Halmahera.
Sudah lama kami menyelidiki mandar gendang ini, dan bukan pekara mudah melihat wujud aslinya. Untuk menuju lokasi keberadaannya di hutan pinggiran Taman Nasional Aketajawa Lolobata (TNAL), kami harus “nginap” dulu di desa terdekat yaitu Binagara, Kecamatan Wasile Selatan, Halmahera Timur, Maluku Utara. Desa transmigran ini, bila diakses dari Ternate, harus menggunakan speedboat sekitar satu jam perjalanan menuju Sofifi, ibu kota Maluku Utara, yang melintasi selat antara Ternate dan Halmahera. Dari sini, perjalanan sekitar satu setengah jam yang melewati jalan beraspal hingga berlumpur ditempuh menggunakan ojek.
Menurut Mahrurroji (35), penduduk Desa Binagara, mandar gendang memang ada. Dari kamera ponselnya, ia menunjukkan foto burung berukuran sekitar 40 cm itu pada kami. Ciri utamanya terlihat jelas: mata dan tungkai kakinya merah serta paruhnya panjang. Bukti meyakinkan Roji lah yang membuat kami semangat untuk menelusuri burung kasat mata ini.
Sebagaimana julukannya “invinsible”, mandar ini memang sulit ditemukan. Sifatnya pemalu ditambah dengan hidupnya di daerah payau atau rawa sagu, membuatnya jadi burung yang super minder. Butuh kesabaran dan kehati-hatian menantinya. Trik paling jitu adalah menunggu dan bersembunyi dengan sedikit gerakan dalam kamuflase (persembunyian) yang dibuat dari patahan ranting dan dedaunan. Kami mempraktikkannya di depan sarangnya yaitu di antara batang-batang sirih hutan dan palem (Pigafettasp.), di rawa kering.
Di lokasi yang kami intai ini, Roji berhasil mengambil foto mandar yang telah ia tunjukkan sebelumnya. Strategi ini cukup berhasil. Dua ekor anakan yang berciap seperti suara anak ayam tidak menyadari kehadiran kami. Namun, berbeda dengan sang Induk. Sepertinya ia sudah lari karena tahu ada kami di dekatnya. Kami yakin, ia akan kembali menjemput anak-anaknya. Berapa lama waktunya, kami tidak tahu.
Hampir satu jam menunggu, sayup-sayup terdengar suara seperti genderang ‘dang dang’. Tak lama, muncullah sosok mandar gendang yang hitam legam dengan mata ber-iris merah. Ada dua ekor, jantan dan betina. Sayang, untuk yang jantan, kami hanya melihat sebentar. Sekelebat, ia lari menghilang.
Mandar gendang merupakan satu dari sedikit burung di Indonesia yang sudah kehilangan kemampuan terbang alaminya. Ketika kaget atau dalam konsisi takut sekalipun, ia tetap berlaritanpa mau mengibaskan sayapnya. Inilah alasan mengapa ia tidak terbang.
Hal unik lain si mandar adalah ada nama gendang di belakangnya. De Haan dalam laporannya menyebutkan bahwa di habitat aslinya mandar gendang bersuara seperti tifa, alat musik pukul di Maluku. Kami sendiri, setelah melihat langsung, menduga bahwa suara gendang tersebut merupakan panggilan sang Induk kepada anak-anaknya.
Pernah familiar
Mandar gendang termasuk dalam suku Ralidae yang di Indonesia hanya ada 32 jenis. Menurut Bas van Ballen, pakar burung Indonesia asal Belanda, jenis-jenis mandar secara umum memiliki sifat yangsangat sensitif terhadap kehadiran manusia. Mereka lebih memilih bersembunyi di balik pekatnya hutan di pulau-pulau terpencil ketimbang menunjukkan dirinya.
Sebelum menjadi burung yang paling sulit dicari, diduga dahulunya mandar gendang merupakan burung yang mudah dilihat dan tersebar merata di seluruh pulau Halmahera. Buktinya adalah, namanya begitu familiar di kalangan masyarakat dengan panggilan “hetaka”. Nama untuk satu jenis burung yang hampir seragam di semua tempat di Halmahera sangat jarang terjadi.
Mengapa menghilang? Berkurangnya luasan rawa-rawa sagu yang dahulunya begitu mendominasi daratan Halmahera diduga sebagai penyebab utamanya. Habitat alami si mandar terus tergerus akibat beralih fungsinya lahan menjadi ladang pertanian atau permukiman. Sedangkan rawa yang tersisa, umumnya dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai sumber penghasil sagu. Badan Konservasi Dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkan statusnya Rentan (Vulnerable/VU) terhadap kepunahan, karena populasinya yang kecil serta persebarannya yang terbatas.
Berdasarkan survei lima tahun terakhir Burung Indonesia(2008-2012),organisasi pelestarian burung liar dan habitatnya di Indonesia, beberapa perjumpaan dengan mandar gendang tidak hanya terjadi di rawa sagu. Melainkan juga, di tepi sungai-sungai kecil, jauh di tengah hutan primer Halmahera. Bahkan, mandar yang kami lihat ini berada di tunggul lapuk pohon bintangur (Calophyllum inophyllum), tidak jauh dari lahan pertanian,di TNAL, Maluku Utara. Artinya, mandar gendang memiliki tipe habitat jauh lebih luas dari perkiraan semula.
Odih Suhendi, Polisi KehutananTNAL, menuturkan bahwa sejak melakukan survei pada 2008, ia pernah melihat mandar gendang. “Kondisi ini menggambarkan, TNAL merupakan habitat penting bagi kehidupan si mandar” ucapnya.
Bagi kami, mandar gendang tetaplah burung misterius, seperti julukannya. Melihatnya langsung di sarang, lengkap dengan induk dan anaknya, bukan di tempat idealnya, adalah hal menggembirakan.*
Hanom Bashari/Rahmadi