Kawasan karst Rammang-Rammang merupakan salah satu dari tiga kawasan karst di Dunia dengan potensi geodiversity, biodiversity dan cultural diversity sebagai karst tower World Heritage yang mulai tergerus oleh keserakahan Industri pabrik semen.
Liburan Hijau ala Mahasiswa
Tak seperti biasanya, hari itu ruang kelas terlihat lengang, taman-taman yang biasanya digunakan untuk bersantai mengerjakan tugas kuliah atau sekedar surfing di dunia maya juga terlihat sepi. Hari itu memang sudah libur kuliah. Miggu-minggu yang banyak dinantikan oleh mahasiswa setelah satu semester disibukkan dengan kuliah. Yeah, saya adalah mahasiswa semester lima jurusan Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Sebuah perguruan tinggi yang akrab dengan sebutan “kampus merah” menjadi ikon perguruan tinggi ternama di Indonesia bagian timur. Sehari-hari saya aktif sebagai social activism yang banyak terlibat dalam kegiatan di bidang pendidikan dan lingkungan dengan mendirikan beberapa Non Government Organization (NGO), salah satunya adalah Laskar Pemulung, komunitas yang concern ke bidang pemberdayaan pemulung dalam mengolah (recycling) sampah organik dan anorganik (follow: @laskarpemulung).
Diwaktu senggang saya senang menulis, travelling, hiking, diving dan mengikuti kompetisi kemahasiswaan. Tepatnya dibulan desember, dipenghujung tahun 2012, saya bersama salah seorang teman kampus bernama Heri, begitu ia disapa, tengah sibuk menyusun strategi liburan kala itu. Kami tidak tergolong mahasiswa hedonis, yang senang menghabiskan waktu ke mall atau tempat-tempat berkelas tinggi yang merogoh kocek lebih dalam. Kami lebih senang berpetualang atau sesuatu yang berbeda yang tentunya jauh lebih produktif. Dengan berbagai pertimbangan, kami memutuskan untuk mengunjungi sebuah situs purbakala dengan bersepeda. Sebenarnya, tempat yang kami akan kunjungi ketika itu adalah handai tolang saya ketika mengenyam bangku pendidikan di Sekolah Dasar (SD). Baru setelah masuk SMP, saya hijrah ke rumah sanak saudara hingga saya menyelesaikan studi di Sekolah Menengah Atas (SMA). Berjarak kurang lebih 40 km dari kampus Universitas Hasanuddin atau sekitar 30 km dari Sultan Hasanuddin International Airport mengurungkan niat kami untuk start dari kampus, sehingga kami memilih untuk menggunakan sepeda motor terlebih dahulu dengan pertimbangan kami tidak memiliki fasilitas sepeda yang mumpuni dengan jarak tempuh yang terbilang cukup jauh. Setelah tiba di Rumah nenek, tepatnya di desa Salenrang, kecamatan Bontoa, kabupaten Maros baru kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju dusun Rammang-rammang tempat dimana situs purbakala itu berada. Butuh waktu sekitar tiga jam untuk sampai ke tempat itu. Sebenarnya 10 km, bukanlah jarak tempuh yang memberatkan bagi kami , sehari-harinya saya ke kampus menggunakan sepeda, karena sangat passion dibidang lingkungan dan hobi bersepeda sehingga penulis pernah dianugerahi sebagai “Duta Sepeda Unhas” dari Yayasan Pertamina Foundation Scholars. Terlebih dengan medan yang tidak begitu berat, sehingga cukup memudahkan perjalanan kami.
Kawasan Karst Rammang-rammang sebagai The Second Largest Karst In the World setelah China Selatan
Salah satu alasan mengapa penulis begitu getol menelusuri tempat itu adalah, sebulan yang lalu penulis pernah membaca majalah dari salah satu maskapai penerbangan nasional yang menguak sisi potensi dari situs purbakala dan karst Rammang-rammang sebagai The 2nd largest karst in the World yang terabaikan itu. Padahal semasa kecil, tempat itu samasekali tidak istimewa bagi saya dan kerapkali hanya menjadi tempat bermain bersama teman-teman. Belakangan tempat itu banyak dibicarakan orang-orang dan dari hasil penelusuran saya bersama paman google, karst Rammang-rammang bahkan dijadikan sebagai judul thesis salah satu mahasiswa arsitekur lanskap Institut Teknologi Bandung. Disepanjang jalan menuju Rammang-rammang, mata kami dimanjakan dengan dengan hijauhnya hamparan sawah. Dibeberapa spot terlihat burung bangau berwarna putih diantara pematang sawah menambah romantisme suasana pedesaan yang asri nan damai. Sebuah pemandangan yang jarang dijumpai di kota-kota besar yang riuh. Sesekali kami turun dari sepeda dan mengabadikan momen-momen perjalanan bersepeda kami dengan kamera pocket sederhana yang lensanya tidak begitu tajam. Sesekali kami juga mengayun sembari mengangkat kedua tangan menghadap ke atas dan berteriak mengekspresikan kebahagiaan kami terhadap anugerah alam yang dikaruniakan sang pencipta. Tiga jam berlalu, akhirnya kami tiba dilokasi tujuan. Kamipun bergegas memarkir sepeda, tangan Heri terlihat kotor, rantai sepedanya yang kendur mengahruskan kami seringkali beristirahat sembari memasang kembali rantai yang terlepas dari piringan sepedanya. Walau begitu, masalah tersebut tak mengurangi semangat geowisata kami sedikitpun. Rasa lelah itu kian terbayar tatkala kami menyaksikan sebuah kombinasi biodiversity, geodiversity dan cultural diversity yang bercumbu memadu kasih menampakkan sisi keindahan yang begitu kontras satu sama lain.
Dihadapan kami nampak menara karst (tower karst dan mogotoe) di kampung Bontopuru, terletak diantara sawah-sawah yang luas, genangan rawa, kolam-kolam yang berhias tumbuhan teratai dengan background karst tower dan pinnacle karst yang berdiri kokoh menjadi sangat kontras dengan lingkungan sekitar. Menara-menara karst yang berdiri kokoh disepanjang dusun Rammang-rammang itu mengalami proses pelarutan minor (minor karst) membentuk garis-garis tegak yang yang bagaikan diukir dengan baji pada permukaan pinnacle sehingga tercipta suatu panorama bak di negeri dongeng di zaman Paleolitikum. Tak puas sampai disitu saja, kamipun segera melanjutkan perjalanan menyusuri dusun Rammang-rammang. Sepeda berumur tiga tahun itu, menjadi teman setia kami dikala itu. Bermodalkan ransel kecil berisi note yang saya gunakan untuk mencatat hal-hal yang saya anggap penting yang kami temui. Di ujung jalan setapak, kami bergegas turun dari sepeda, bermodal kemampuan saya menggunakan bahasa daerah Makassar saya memberanikan diri untuk berdialog dengan salah seorang penduduk setempat. Daeng Sangkala, begitu ia disapa. Ia dengan dengan sabar mengantar kami melihat situs purbakala. Kamipun melangkahkan kaki diantara lapisan batu gamping yang tajam dan terjal.
Diujung barat laut menjulang tinggi bulu Barakkah. Dalam bahasa Makassar, bulu berarti gunung sedangkan barakkah artinya berkah. Oleh penduduk setempat bulu Barakkah diartikan sebagai gunung yang membawa keberkahan. Kini kami berada di kampung Berua, disepanjang jalan melewati batu gamping, kami tak lagi menggunakan sepeda untuk sementara. Daeng Sangkala memperlihatkan kami fosil cangkang kerang dan keong yang diduga sebagai sisa-sisa makanan masyarakat prasejarah. Pada dinding gua juga terdapat bekas telapak tangan berwarna merah dari bahan oker (pelapukan besi hematit). Terlihat batu gamping berlapis membentuk benteng yang diduga menjadi benteng pertahanan purbakala yang pernah menjadi hunian masayarakat prasejarah. Aspek yang lebih bersifat geologi justru berada pada karst Rammang-rammang yang tergolong cukup unik karena kelangkaannya yang merupakan bagian kecil dari sistem karst tower Maros- Pangkep. Kampung ini bak kampung batuan kapur yang terbentuk sedemikian rupa. Kamipun kembali melanjutkan perjalanan bersepeda kami menelisik potensi Rammang-rammang yang layak dijuluki sebagai world geoheritage. Kali ini ritme rotasi roda sepeda kami tak secepat sebelumnya, mungkin karena kami sedikit kelelahan. Kali ini saya dan Heri menuju dermaga Rammang-rammang, ternyata ada banyak perahu warga setempat yang digunakan sebagai alat transportasi utama meuju kampung Berua. Terlihat aliran sungai yang pasang surut, pohon-pohon nipah yang menghiasi tepi sungai yang terintegrasi dengan batu gamping yang berdiri tegak diantara aliran air. Dikejauhan bukit-bukit menara karst nampak kokoh dan gagah. Tampak garis-garis mendatar dipotong oleh garis-garis tengah pola retakan. Diujung sungai terdapat lembah yang dikelilingi oleh batuan-batuan dan gunung-gunung karst yang berdiri tegak sehingga teriakan yang kita lakukan akan menimbulkan gema atau gaung, pantulan suara saling sahut menyahut. Sebuah keagungan alam yang memukau mata bagi siapa saja yang berada ditempat itu.
Dari keragaman biodiversity, sejarah arkeologi dan kehidupan zaman prasejarah, cultural diversity, budaya bugis yang masih sangat kental serta rumah panggung penduduk yang khas menjadikan kawasan Rammang-rammang layak diperhitungkan sebagai daerah tujuan wisata. Sayangnya tempat ini belum menjadi tempat wisata resmi. Lebih jauh lagi, dengan keragaman geologi dan beberapa objeknya yang dapat digolongkan sebagai pusaka geologi (geo heritage), bukan tidak mungkin kawasan karst Rammang-rammang dapat direkomendasikan sebagai suatu taman bumi, geopark dibawah jaringan Global Geopark Network (GGN), UNESCO.
Pemerintah Daerah Kurang Responsif
Dilain pihak, pemerintah daerah kabupaten Maros belum melihat kawasan karst Rammang-rammang sebagai sebuah aset dan warisan dunia yang wajib kita lestarikan. Penduduk setempatpun tak tahu menahu soal world heritage, geodiversity atau potensi kawasan karst Rammang-rammang. Ironis, dalam perjalanan, kami menemukan beberapa orang warga yang tengah sibuk melakukan pembakaran dan pengahncuran bukit karst yang dijual ke truk-truk besar untuk dijadikan sebagai bahan bangunan. Belum lagi keserakahan industri pabrik semen yang berlokasi tidak begitu jauh dari kawasan karst Rammang-rammang yang konon menurut kabar yang beredar pemerintah setempat telah memberikan lampu hijau kepada pihak perusahaan untuk menjadikan gunung-gunung karst sebagai bahan dasar pembuat semen. Semoga hal demikian tidak terjadi, mengingat kawasan karst Rammang-rammang merupakan kawasan karst terbesar kedua di Dunia setelah China Selatan. Selain Indonesia, hanya China dan Vietnam yang memiliki kawasan karst seperti Rammang-rammang, namun kedua negara itu telah tegabung dalam GNN dan menjadi warisan dunia yang dilindungi UNESCO.
Perjalanan bersepeda menyusuri kawasan Rammang-rammang ini menjadi perjalanan yang mengasyikkan sekaligus menampar hati kami. Sebuah pelajaran yang sangat berharga, saat itu penulis berjanji akan memperkenalkan kawasan karst Rammang-rammang kepada Dunia.
Referensi
http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=1700
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/04/17/geowisata-di-belantara-karst-rammangrammang-maros-552228.html