, ,

#KompetisiPenulisan: Penghancuran Biodiversiti di Provinsi Riau

Julukan center of biodiversity atau pusat kenaekaragaman memang pantas disandingkan untuk Provinsi Riau. Sebagai Provinsi yang kaya, Riau dianugerahi kekayaan alam yang melimpah. Hutan hujan dataran rendah yang luas dan habitat berbagai satwa eksotis seperti gajah Sumatra dan harimau Sumatra hidup di Hutan Provinsi Riau.

Sebagai daerah kaya akan sumber daya alam Provinisi Riau rawan terhadap eksploitasi. Berdasarkan data Jikalahari, angka kehilangan luas hutan di Riau tahun 1982 hingga 2012 ialah 4.410.012 ha, sehingga luas hutan yang tersisa di Riau tahun 2012 hanya 2.005.643,56 ha (2.005 ha) atau hanya 22.5 persen dari luas daratan Riau. Tingginya angka deforestasi di Provinsi Riau diakibatkan banyak perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri) yang melirik potensi Riau sebagai tempat penghasil bahan mentah bagi industri kertas. Selain itu pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan dan masyarakat semakin mempercepat hutan di provinsi Riau mengalami kepunahan.

Selain mengakibatkan hilangnya wilayah hutan di Provinsi Riau, pembukaan lahan dengan cara dibakar membuat wilayah Riau berada dalam banyang-bayang bencana asap. Kurun waktu 17 tahun (1997-2014) Provinsi Riau selalu dihantui bencana asap yang terjadi setiap tahunnya. Tentu masih segar dalam ingatan dalam dua bulan terakhir hampir semua wilayah di Riau diselimuti kabut asap tebal, kabut tersebut berasal dari pembakaran hutan alam dan hutan gambut. Dampak dari kabut asap tersebut ialah menurunnya kualitas udara yang menyebabkan banyak masyarakat terjangkit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) serta banyak pelaku bisnis maskapai penerbangan mengalami kerugian akibat penutupan Bandara Sultan Syarif Qasim II (SSQ II) akibat tebalnya kabut asap yang menghalangi aktivitas penerbangan.

Berkurangnya luas hutan di Riau memicu konflik antara satwa dan manusia, kehilangan wilayah jelajah dan berburu menjadi indikasi pemicu konflik. Berdasarkan data mongabay indonesia, pada tahun 2012 hingga 2014 tercatat 33 gajah Sumatra ditemukan mati di wilayah Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. Banyak gajah ditemukan mati akibat diracun, hal ini dikarenakan gajah-gajah tersebut dianggap hama oleh pemilik kebun yang selalu merusak tanaman sawit.

Hilangnya hutan menyebabkan perubahan pada pola kehidupan suku asli yang menggantungkan hidup pada hasil hutan. Berdasarkan hasil penelitian Yoonhee Kang dari Universitas Yale, Amerika Serikat menunjukkan pada tahun 1998-1999 di Desa Aman, Pelalawan banyak orang petalangan tergusur dari kampung halaman dan terpaksa mengubah cara hidupnya, banyak pemuda suku petalangan yang beralih menjadi buruh kebun sawit akibat hilangnya hutan tempat mereka menggantungkan hidup. Perubahan pola hidup tersebut menyebabkan nilai-nilai edukasi, sosial dan budaya suku petalangan akan punah dari bumi lancang kuning.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa Riau sedang memasuki tahap penghancuran biodiversiti, bukan hanya keragaman flora dan fauna tetapi nilai-nilai dan cara hidup yang diwarisi nenek moyang selama berabad-abad akan hilang jika hutan hilang di Bumi Lancang Kuning. Sebelum terlambat marilah kita menjaga bioviversiti kita dengan menjalin harmonisasi terhadap alam agar setiap komponen kehidupan di bumi lancang kuning dapat eksis. (NH)

Artikel yang diterbitkan oleh