Mencari Pecinta Alam Sejati

Jangan tingalkan apapun selain jejak langkah. Jangan mengambil apapun kecuali gambar.Jangan membunuh apapun kecuali waktu.

Bak semboyan kalimat di atas kian populer seiring menjamurnya organisasi maupun komunitas pecinta alam. Barangkali juga karena film 5 CM yang menggambarkan 5 pemuda mendaki Gunung Mahameru dengan penuh perjuangan. Keinginan orang-orang untuk mendaki makin menggebu.

Dalam kampusku organisasi ini termasuk yang paling menantang. Sebab kepiawaian orang-orang didalamnya untuk menentang alam, mendaki gunung sampai ke puncak, menjelajah keluar masuk goa dan seterusnya. Penampilannya pun terkesan sangar dan awut- awutan. Mungkin saja untuk menunjukkan betapa lamanya ia tinggal di alam liar. Betapa segannya aku pada mereka bahkan ada temanku yang untuk lewat depan sekretariat mahasiswa pecinta alam fakultasnya saja tidak berani. Karena begitu penasarannya aku mencoba mendekati komunitas ini. Mencari sosok-sosok pencinta alam sesungguhnya.

Pandanganku berubah seratus delapan puluh derajat begitu mengenal lebih dekat segelintir orang yang terlibat dalam organisasi semacam ini. Mereka sama sekali tidak galak bahkan betul-betul ramah dan senang bercanda terhadap sesama. Namun, keramahan mereka pada alam nampaknya patut dipertanyakan. Sebab setalah mereka bertutur kisah, rupanya mereka hanya berputar-putar pada pengalaman menembus hutan-hutan untuk naik turun gunung. Aku memperhatikan sambil bercerita salah satu dari mereka menyediakan makanan ringan yang pembugkusnya dibuang sekenanya. Aku turut larut dalam kisah mereka dan menangkap secara tersirat bahwa mereka sebenarnya hanya ingin memuaskan diri dengan mengalahkan alam. menunjukkan bahwa mereka mampu dan lebih tangguh dari alam. Sebagai daun muda, mereka sedang memenuhi hasrat untuk ditantang dan menantang. Danmereka terlanjur memilih alam sebagai lawannya.

Maafkanlah, kalian bukan pecinta sejati yang aku cari.

Pertanyaannya sekarang haruskah seseorang masuk dalam organisasi pencinta alam untuk disebut pencinta alam. Benarkah pecinta alam betul-betul orang yang mencintai, menjaga dan melestarikan alam? Sejatinya pecinta alam harus memegang semboyan diatas untuk pantas disebut pecinta alam dimanapun ia berada.

Aku semakin kenal banyak pecinta alam atau sebut saja teman yang terlibat dalam organisasi sejenis. Hanya saja menurut hasil pengamatanku mereka tidak sungguh mencintai alam. seorang kawan dengan bangganya mengunggah foto saat berada di puncak. Namun tak ada kegiatan jelas yang dilakukan selama pendakian. Tidak ada kegiatan menanam pohon atau sekadar membawa pulang sampah-sampah dari gunung. Ataukah mereka yang sebenarnya membuat hutan atau gunung ini penuh dengan sampah? Mungkin mereka lebih pantas disebut penjelajah alam.

Lihat saja di Maros dan di Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan, sebuah kawasan batu karst terbesar kedua di dunia kini tak sehijau dulu lagi. Sebab sudah terlalu banyak yang datang menjamahnya. Kemudian mereka mengekspos keindahannya sehingga berbondong-bondong orang tertarik menjamahnya. Orang-orang yang pertama kali menginjakkan kaki disana kemungkinan akan terkagum-kagum oleh keindahan gugusan batu karst. Tapi cobalah bertanya pada penduduk desa sekitar, mereka akan mengatakn bahwa tempat ini tak sepermaidulu. Sana-sini sudah mulai ada tumpukkan sampah ulah pengunjung tak bertanggung jawab.Pun itu hanya satu contoh, sebab hutan yang tak lagi perawan sudah sangat banyak. Padahal gunung dan hutan sebenarnya tak butuh uluran tangan manusia. Tanpa manusia menyentuh alam akan bisa berkembang lebih baik. Akan tetapi, memang manusialah yang hidupnya tak bisa lepas pada alam.

Suasana berbeda aku dapati ketika aku menginjakkan kaki di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sebuah tempat yang tanahnya tak begitu subur dan penuh debu. Di sana aku bertemu dengan perkumpulan alumni beasiswa. Kegiatan mereka sungguh menarik yakni membuat program pohon alumni. Setiap orang yang telah selesai menerima beasiswa menanam satu pohon dekat fakultasnya dan punya tugas untuk merawatnya. Dan setiap mereka kembali mereka dengan bangga melihat pertmbuhan pohonnya masing-masing. Adapula seorang teman dari fakultas kelautan dan perikanan yang dengan bangga memilih mandi satu kali sehari demi menghemat air padahal air dirumahnya tak pernah berhenti mengalir. Seorang mahasiswa lainnya yang sehari-hari tidak brgabung di komunitas manapun membeli beberapa alat pencungkil untuk mencabut paku-paku dari baliho dan spanduk yang menyiksa pepohonan.

Menurutku para pemilik pohon alumni dan mahasiswa pencungkil paku inilah pencinta alam csejati. Mereka mencinta dengan cara sederhana. Tanpa perlu label, komunitas dan embel-embel pengalaman menelusuri lekak lekuk alam macan hutan dan pengununan. Mereka mencinta tanpa ada keinginan menyentuhnya.

Pada akhirnya darimanapun asalnya, baik orang yang tergabung dalam pencinta alam, atau pun mahasiswa biasa, kita sama-sama pemuda dengan gelora cinta yang berapi-api. Masih banyak hal yang bisa kita lakukan. Termasuk memilih bersikap jadi pencinta sejati atau pecinta bertopeng. Tentu saja demi kelestarian alam.

Artikel yang diterbitkan oleh