“Psstt, itu dia!” bisik Khaleb Yordan, seorang bird guide yang memimpin serombongan orang di tengah lebatnya hutan Taman Wisata Alam Carita, Banten. “Javan Banded Pitta!” ujarnya sambil menunjuk seekor burung berwarna-warni yang sedang asyik berburu cacing di tanah.
Rombongan kecil di belakangnya—turis-turis asing berteropong—sibuk mengarahkan kamera masing-masing. Suara jepretan kamera lansung memenuhi suasana hutan yang tadinya sunyi. Decak kagum pun mengalir dari mulut mereka saat berhasil mengambil gambar si Paok Pancawarna Jawa (Pitta guajana), burung endemik Jawa yang menjadi salah satu ‘buruan’ mereka hari itu.
Aktivitas seperti ini tidaklah asing bagi Khaleb. Sebagai seorang bird guide, memang sudah tugasnya memandu para birdwatcher asing untuk mencari burung-burung cantik, langka, dan endemik yang ada di spot-spot pengamatan di Jakarta dan sekitarnya. Sudah hampir 4 tahun Khaleb menjalani profesi ini, dengan beberapa pelanggan tetap dari seluruh dunia.
Pekerjaan birding guide atau pemandu pengamatan burung memang bukanlah hal yang umum bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat belum terbiasa dengan kegiatan blusukan di hutan hanya untuk mencari beberapa jenis burung yang sulit dilihat. Pertanyaan lugu seperti “memangnya ada yang mau bayar?” pun sering didengar. Namun ternyata, bisnis bird tourism atau “pariwisata burung” merupakan bisnis yang menjanjikan di Indonesia—bahkan bisa menjadi penghubung yang kuat antara sisi ‘ekologi’ dan ‘ekonomi’ yang selalu berseteru satu sama lain!
Ya, polemik antara konservasi alam dan kepentingan ekonomi selalu menjadi pertarungan tanpa akhir. Sebagian masyarakat merasa kepentingan ekonomi jauh lebih penting ketimbang mengurusi hal-hal yang inprofitable, sehingga tidak jarang terjadi konflik antara konservasionis dengan pihak-pihak yang ingin mengeksploitasi sumber daya demi keuntungan instan. Ekoturisme sudah lama digadang-gadang menjadi jembatan antara dua kepentingan ini, menawarkan solusi berprofit tinggi tanpa harus merusak lingkungan. Namun kurang handalnya pihak terkait dalam mengemasnya membuat bisnis ini kurang dilirik. Bird tourism pun muncul sebagai solusi dari masalah tersebut.
Bird tourism merupakan produk dari budaya pengamatan burung (birdwatching) yang populer di negara maju. Bermula dari hobi nyeleneh di abad ke-18, kegiatan ini bertransformasi menjadi budaya yang umum di kalangan masyarakat modern. Budaya ini pun semakin berkembang ketika istilah twitcher mulai berkembang, merujuk pada pengamat burung yang terobsesi untuk melihat seluruh jenis burung di dunia. Hal ini membuat kegiatan yang semula bersifat estetik menjadi lebih kompetitif, memancing orang-orang yang terlibat di dalamnya untuk berlomba-lomba mencari lebih banyak burung untuk dilihat.
Dengan 1702 spesies burung dan 446 spesies endemik, Indonesia seperti surga bagi para twitcher (data Avibase 2014). Tidak heran ada banyak twitcher asing yang rela merogoh kantong mereka hanya untuk melihat burung-burung di Indonesia. Karena perbedaan lokasi, mereka membutuhkan pemandu profesional untuk menemukan burung-burung tersebut dalam waktu yang minim. Hal ini menjadi generator bagi para birdwatcher lokal untuk mencari nafkah dari hobi yang mereka jalani.
Khaleb merupakan contoh nyata dari fenomena ini. Bersama kakaknya, Boas Emmanuel, mereka merintis layanan birding guide atas nama Jakarta Birder. Berawal dari hobi mengamati burung, mereka mulai mendapat permintaan dari rekan-rekan birder dari seluruh dunia untuk mendampingi mereka. 4 tahun kemudian, nama Jakarta Birder menjadi cukup terkenal sebagai birding guide di Indonesia, melayani para pengamat burung dari Singapura, Malaysia, India dan negara lain. Hasilnya menggiurkan—seorang pemandu profesional bisa memasang tarif hingga ratusan ribu rupiah per hari, atau bahkan per jam!
Secara ekonomis, perputaran uang di industri ini juga bisa membuat kita terpana. Pada tahun 2012, CMS (Conservation of Migratory Species and Wild Animals) mencatat industri ini menghasilkan uang sebesar US $ 32 milyar setiap tahun di Amerika Serikat (sekitar 27% dari GDP di Indonesia!). Uang sebesar ini dihasilkan dari pajak, pembelian alat, jasa bird guiding, dan lain-lain. Perlu diingat bahwa angka ini berlaku di Amerika Serikat, negara beriklim sedang dengan jumlah spesies burung yang minim—bayangkan apa yang terjadi bila bisnis ini berkembang di Indonesia!
Tentu saja, bisnis ini bukan berarti bebas dari masalah. “Sering diribetin, dibilang mau penelitian, mentang-mentang bawa bule, bawa kamera dll. BKSDA juga suka nggak ngasih SIMAKSI padahal udah ngikutin prosedur. Pernah juga diminta surat ijin kamera, mentang-mentang gue bawa kamera gede, padahal bukan reporter atau apa. Nggak komersial!” keluh Khaleb. “Banyak orang-orang tersebut yang mikirnya lansung duit.”
Harga tiket taman nasional yang terlampau tinggi juga menjadi keluhan besar bagi pemandu pengamat burung. Sejak diberlakukannya PP no 12 tahun 2014, tiket masuk taman nasional di seluruh Indonesia melonjak hingga hingga 8 kali lipat. Misalnya saja di Taman Nasional Gunung Gedhe Pangrangro, salah satu lokasi birdwatching favorit bagi turis asing, harga tiket yang semula hanya Rp.20.000 melonjak hingga Rp.200.000/hari! Kenaikan harga ini dinili tidak masuk akal, apalagi jika dibandingkan dengan minimnya fasilitas yang disediakan oleh pihak taman nasional.
Hal ini tentu menurunkan potensi Indonesia sebagai sentra bird tourism di dunia. Dengan tingkat endemisitas yang tingg, Indonesia tidak akan kalah dengan negara lain yang sudah lebih dulu merintis industri ini, seperti Thailand, Singapura dan India. Tentu saja peran pemerintah dibutuhkan untuk mengembangkan industri ramah-lingkungan ini, khususnya di bidang peraturan tentang kawasan konservasi.
Di sisi lain, industri bird tourism juga bisa mendukung upaya pelestarian alam dan menguntungkan masyarakat yang terlibat. Dengan ramainya kunjungan wisata ke wilayah terpencil, masyarakat bisa mendapatkan keuntungan dengan menyediakan fasilitas bagi para turis, seperti penginapan, restoran, atau bahkan menjadi bird guide itu sendiri. Ketika masyarakat merasa diuntungkan, secara otomatis mereka akan berusaha melindungi lingkungan tempat tinggal tersebut. Burung yang menjadi sumber penghidupan mereka akan tetap dijaga agar tetap lestari. Secara tidak lansung, masyarakat juga akan berusaha menjaga habitat burung tersebut, sehingga menguntungkan kedua pihak (hutan dan masyarakat) secara bersamaan. Hal ini telah diterapkan oleh Papua Bird Club, pengusaha bird tourism dari Papua yang melibatkan warga lokal dalam usaha mereka mendapatkan profit sekaligus melindungi burung di habitatnya.
Jika semua pihak mau mengerti satu sama lain, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi negara yang maju dan hijau sekaligus. Dengan menggunakan kekayaan alamnya secara bijak, Indonesia bisa mendapatkan keuntungan ekonomis tanpa harus mengorbankan masa depan. Tentu saja, bird tourism akan menjadi jembatan yang kokoh antara dua kepentingan ini, menyatukan sisi ekologis dan sisi ekonomis secara aman dan berkelanjutan.