Pembuka
Terra Mater. Bumi adalah perwujudan “Ibu Pertiwi”, simbolisasi ini menempatkan kedudukan bumi sebagai kerahiman yang penuh kasih. Ia menjadi pelindung bagi segenap isinya termasuk manusia didalamnya. Bumi dalam pandangan kosmologi timur dipahami berdasarkan prinsip feminin di mana adanya suatu hubungan dialektis dan co-existence yang saling melengkapi satu sama lainnya. Hubungan antara penciptaan dan perusakan, penyatuan dan perpecahan menjadi siklus pergerakan dinamis alam semesta. Sebagaimana Shiva (1988; 1998) tulis bahwa didalam filsafat India hubungan tersebut ialah antara Prakriti (alam) dan Purusha (manusia). Hubungan antara Prakriti dan Purusha saling memelihara dan bukannya terpisah. Ini berbeda dengan pandangan Barat (pasca era pencerahan dan revolusi industri) yang memposisikan antara kedua entitas tersebut terpisah bahkan salah satunya mendominasi.
Pandangan yang menegasikan kedua entitas kehidupan itu dipenuhi dengan dualisme dan pendikotomian antara alam dan manusia, laki-laki dan perempuan. Pandangan yang menempatkan bumi sebagai subordinasi kekuasaan manusia menjadikannya objek eksploitasi dan penjarahan. Alhasil, bumi dijadikan sumber keruk tak habis-habisnya sehingga muncullah krisis ekologi disana-sini. Terancam dan terganggunya siklus ekologi ini disebabkan oleh cara pandang antroposentrisme dan androsentrisme. Pembangunan disebut-sebut sebagai biang keladi dari lahirnya krisis ekologi ini.
Sejak revolusi industri hingga kini, Pembangunan telah mengabaikan dan mengubah kedudukan alam dari terra mater menjadi sumber keruk dan sudah bisa ditebak, terjadinya penjarahan besar-besaran terhadap alam beserta isinya. Paradigma pembangunan yang antroposentrik membuat pengelolaan sumberdaya alam sebagai komoditas berdasarkan nilai tukar dan nilai tambah. Disinilah kapitalisme bekerja dengan buas yang tak pernah puas terhadap apa yang dimilikinya. Hasrat untuk menguasai, mengeruk, mengeksploitasi dan mendominasi menjadikan alam terus-menerus menanggung deritanya demi peningkatan pertumbuhan profitabilitas kapitalisme. Agar kapitalisme dapat berkerja maka dibutuhkan satu set perangkat legitimasinya. Ilmu pengetahuan sebagai landasan epistemologinya; egosentrisme sebagai bangunan etiknya; dan reduksionisme sebagai landasan operasionalnya. Dan, itu semua melegitimasi praktik kapitalisme dalam memperlakukan alam.
Vandana Shiva (1988; 1998) menegaskan secara gamblang dan panjang lebar bahwa reduksionisme, sama sekali bukanlah kecelakaan epistemologis, merupakan tanggapan terhadap kebutuhan-kebutuhan bentuk tertentu organisasi politik dan ekonomi. Pandangan dunia yang bersifat reduksionis, revolusi industri dan ekonomi kapitalis merupakan komponen-komponen filosofis, teknologis dan ekonomi dari proses yang sama. Masing-masing perusahaan dan sektor ekonomi yang terfragmentasi, baik milik swasta maupun milik negara, hanya memikirkan efisiensi dan laba mereka sendiri, tak peduli tingginya biaya sosial dan ekologisnya. Logika efisiensi internal ini telah disediakan oleh reduksionisme. Yang diperhitungkan hanya sifat-sifat suatu sistem sumberdaya yang menghasilkan laba melalui penjarahan dan ekstraksi; sifat-sifat yang menstabilkan proses-proses ekologi tetapi tidak menjarah ini secara komersial diabaikan dan akhirnya dirusak. Misalkan, dalam paradigma reduksionis, suatu hutan diubah menjadi kayu komersial dan kayu diubah menjadi serat selulosa untuk industri bubur kayu (pulp) dan kertas. Hutan, tanah dan sumber daya plasma nutfah kemudian dimanipulasi untuk meningkatkan produksi bubur kayu. Bahkan perubahan bentuk ini disahkan secara ilmiah sebagai peningkatan produktivitas secara keseluruhan, walaupun hal itu mungkin menurunkan produksi air dari hutan, atau mengubah keanekaragaman bentuk-bentuk kehidupan yang membentuk komunitas hutan. Ekosistem yang hidup dan beranekaragam dianiaya dan dirusak oleh kehutanan “ilmiah” dan pengembangan “kehutanan”. Dengan demikian ilmu reduksionis adalah asal mula krisis ekologis yang kian meningkat, karena menyangkut perubahan alam sedemikian rupa sehingga proses-proses organiknya dan pengaturan-pengaturannya serta kemampuannya melakukan permudaan dirusak.
Ditambahkan oleh Shiva (1988; 1998) para perempuan dalam ekonomi subsisten, yang memproduksi dan mereproduksi kekayaan secara kemitraan dengan alam, merupakan ahli dalam hal pengetahuan holistis dan ekologis mereka tentang proses-proses alam. Tetapi cara-cara alternatif untuk mengetahui ini, yang disesuaikan pada keuntungan sosial dan kebutuhan penghidupan, tidak diakui oleh paradigma reduksionis. Hal ini karena reduksionisme gagal melihat saling keterkaitan alam atau hubungan antara kehidupan, pekerjaan dan pengetahuan kaum perempuan dengan penciptaan kekayaan. Reduksionisme menyeluruh dicapai ketika alam dikaitkan dengan sebuah pandangan tentang ekonomi di mana uang adalah satu-satunya ukuran nilai dan kekayaan. Persoalan dengan uang adalah bahwa ia mempunyai hubungan asimetris terhadap kehidupan dan proses-proses hidup. Penjarahan, manipulasi dan perusakan kehidupan dalam alam dapat menjadi sumber kehidupan alam dan kemampuannya menopang kehidupan. Sifat asimetris inilah yang bertanggung jawab atas krisis ekologi yang semakin parah akibat berkurangnya potensi alam yang menghasilkan kehidupan, sejalan dengan pengumpulan modal serta perluasan “pembangunan” sebagai proses yang menggantikan hidup dan subsistensi dengan tunai dan laba.
Pada penjelasan ini dapat kita saksikan betapa sistem kapitalisme yang ditopang oleh kuasa ilmu pengetahuan membuat Ibu Pertiwi bersusah hati. Paradigma pembangunan yang patriarkis dengan sangat brutal dan semena-mena menghancurkan tatanan kosmis antara manusia dan alam yang semestinya tetap saling menopang untuk keberlangsungan kehidupan. Daya gerak alam yang dinamis seakan dihentikan dan dibuatnya menjadi mekanis/statis; alam ditundukkan dan pasif terhadap kehendak rakus manusia. Pada akhirnya, alam sebagai pengejawantahan prinsip feminin sengaja dimatikan dan seakan tak berdaya. Hal ini ditandai, sekali lagi, siklus penghancuran ekologik yang kian mendekati ambang senjakala—bahkan kita saat ini dan akan datang semakin merasakan betapa besar daya rusaknya. Alam serta merta mengalami disequilibrium; ketidakseimbangan yang membuat alam tidak bisa lagi menyediakan sumber penghidupan.
Perempuan dan Alam sebagai satu kesatuan kosmis
Harmoni antara alam dan manusia mendorong terjadinya kesinambungan ontologis antara manusia dan alam. Pada tatanan prinsip feminin, alam dipersepsikan dan dimaknai sebagai sumber penghidupan. Dan perempuan, dalam imajinasi dan praktiknya secara khusus memiliki keahlian dalam mengelola alam. Perempuan dianggap sebagai pemelihara kehidupan, yang memiliki kemampuan dalam memproduksi dan mereproduksi kehidupan. Pada kemampuan kaum perempuanlah prinsip lestari dan keberlanjutan bisa diwujudkan. Kaum perempuan memainkan peran signifikan dalam usahanya menjaga keberlanjutan dan keahliannya sebagai penyedia sumber pangan.
Sebagaimana Maria Mies (1986 dalam Shiva, 1988; 1998) menyebut kegiatan perempuan dalam menyediakan pangan sebagai produksi kehidupan dan memandangnya sebagai hubungan yang benar-benar produktif dengan alam, karena perempuan tidak hanya mengumpulkan dan mengkonsumsi apa yang tumbuh di alam, tetapi mereka membuat segala sesuatu menjadi tumbuh. Proses pertumbuhan secara organis, yang di dalamnya perempuan dan alam bekerja sama sebagai mitra, telah menciptakan suatu hubungan khusus antara perempuan dan alam. Ada proses timbal balik karena kaum perempuan memahami bahwa tubuh mereka produktif, sebagaimana pemahaman mereka atas alam lingkungan luar. Disamping itu, apa yang mereka ambil dari alam hanya untuk kebutuhan subsisten dan patut diketahui bahwa kaum perempuan adalah pelopor dalam membangun kehidupan. Mereka adalah produsen nafkah kehidupan yang pertama dan penemu ekonomi produktif yang pertama, yang selanjutnya menjadi awal produksi sosial dan penciptaan hubungan-hubungan sosial, yakni masyarakat dan sejarah (Maria Mies, 1986 dalam Shiva, 1988; 1988). Pada kepeloporannya, kaum perempuan adalah pelaku dalam membangun peradaban umat manusia selama ribuan tahun lamanya.
Namun kemampuan perempuan dalam produktivitasnya mengelola kehidupan mengalami patahan yang sangat tajam karena lahirnya kapitalisme modern beserta seperangkat komponennya. Perempuan tidak lagi dipandang sebagai pelaku aktif dalam memproduksi dan mereproduksi ekonomi. Pada kondisi ini perempuan kehilangan peran produktifnya. Ia digantikan tenaga mesin yang dalam kelipatannya mampu memproduksi komoditas sebanyak mungkin dan untuk meningkatkan nilai tambah dari kerja produksi. Akumulasi kapital menciptakan kategorisasi-kategorisasi pekerjaan yang semakin terfragmentasi dan rumit. Rasionalitas ilmu pengetahuan memberikan basis legitimasi atas berlangsungnya akumulasi kapital dan atas nama universalisme ilmu pengetahuan, ia mengabaikan dan meruntuhkan apa-apa saja yang tidak sesuai dengan proyek kemajuan.
Sandra Harding (1998) melalui karyanya Is Science Multicultural?, mempertanyakan universalisme ilmu pengetahuan yang mengandung bias androsentrisme dan bahkan eurosentrisme. Hematnya, Ilmu pengetahuan modern memposisikan diri berseberangan dengan kebudayaan non-Eropa yang masih dianggap penuh mistik, percaya takhyul, pseudoscience, dan irasional; dengan hanya bersandarpada “petuah leluhur [folk explanations]”, ataupun dengan pendekatanethnoscience yang melekat di religi, pengungkapan kebenaran ‘sains’ dengan hanya menggunakan perspektif antropomorfik, dan hanya berlakudi sistem pengetahuanlokal, dengan hanya melulu berkutat pada klaim teknologis atau spekulasi tentang alam; atau dengan membaca tanda-tanda alam sudah dianggap kebenaran sains. Sementara, ilmu pengetahuan modern bisa diterima secara rasional, ilmiah dan universal. Disinilah bias eurosentrisme di mana diluar paradigma sains Barat dan atau Eropa bukanlah disebut sebagai ilmu pengetahuan yang berlaku universal.
Penyingkiran pluralitas ilmu pengetahuan dan ruang produksi berlangsung dengan satu permufakatan bahwa kapitalisme dan proyek pencerahan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya keniscayaan sejarah yang tak terbantahkan. Pada gilirannya, ia menutup usaha-usaha lain yang dianggap tidak sesuai dengan visi teknokratik pembangunan, yang memberikan klaim kebenaran mutlak. Carolyn Merchant menyebutnya transformasi alam dari seorang ibu yang hidup dan menghidupi menjadi benda mati, diam dan dimanipulasi ini amat sesuai untuk kepentingan penjarahan dari kapitalisme yang tengah dan terus tumbuh. Citra bumi sebagai rahim adalah halangan besar bagi usaha kapitalisme merampok bumi beserta isinya. Singkatnya, ekonomi komoditas dan ekonomi uang sebagai komponen kapitalisme merusak keseimbangan alam dan mengubahnya menjadi bahan mentah untuk meningkatkan surplus (Shiva, 1988;1998).
Sementara, kaum perempuan dan masyarakat lokal yang mengantungkan kehidupannya pada aras subsistensi mengalami pemiskinan dan akhirnya menjadi miskin. Masyarakat yang hidupnya bertani, berhuma, berburu semakin terdesak dan tak memiliki kuasa apapun. Pembukaan lahan untuk industri kehutanan, perkebunan, pertambangan dan pertanian komersial adalah salah satu contohnya. Praktik pembukaan lahan dalam banyak kasus telah merenggut lahan dan ruang produktivitas kaum perempuan dan masyarakat lokal yang sejak turun-temurun mengelolanya. Peran mereka digantikan oleh mesin industri yang rakus lahan dan rakus air. Disamping itu, secara sosial kaum perempuan dan masyarakat lokal mengalami demoralisasi karena lahan mereka diambil paksa melalui kebijakan dan investasi yang diciptakan oleh negara. Dalam pembukaan lahan (land clearing), secara otomatis praktik perampasan lahan (land grabbing)berlangsung sedemikian intensif. Ia ditopang dengan kekuatan modal dan sudah barang tentu mengesampingkan makna tentang bumi, di mana sebelumnya penggunaan dan sistem pengelolaan lahan sangat berakar pada prinsip-prinsip feminin.
Untuk itulah perlu dipahami bahwa perempuan dan alam adalah hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Prinsip feminin memandang bahwa perempuan dan alam memiliki hubungan khusus sebagai mitra yang dalam proses pertumbuhannnya dibangun secara organis. Kerjasama antara Purusha dan Prakriti menjadi tak terpisahkan untuk menggenapi kemanunggalan kosmis. Pada kedudukan ontologiknya, hubungan manusia dan alam tidak terpisah, demikian pula antara laki-laki dan perempuan. Ini disebabkan karena kehidupan dalam segala bentuknya tercipta dari prinsip feminin. Prinsip feminin ini pada hakikatnya sudah melampaui ideologi gender. Kritik Shiva (1988; 1998) terhadap ideologi gender karena ia telah menciptakan dualisme dan perpecahan antara laki-laki dan perempuan. Purusha dan Prakriti. Walaupun berbeda, semua itu tetap tidak bisa dipisahkan dalam kesatuan dialektis, sebagai dua aspek dari satu makhluk. Kebangkitan prinsip feminin dengan demikian terkait dengan kategori kreativitas tanpa kekerasan yang nonpatriarkal dan nongender, atau “kekuatan kreatif dalam wujud damai.”
Kerentanan Perempuan Dalam Krisis Ekologi
Di Indonesia, fakta mencengangkan menunjukkan ada sekitar 85 persen petani tidak memilik lahan dan perempuan adalah kelompok yang paling rentan dari berlangsungnya semua krisis ekologi. Dalam hal ini, pengetahuan perempuan dalam mengelola alam digantikan dengan cara baru yang mengabaikan keberlanjutan ekologi dan mata pencaharian mereka. Berdasarkan laporan WALHI terdapat sekitar 82,5 persen kehancuran ekologi, perampasan lahan dan konflik sumberdaya alam disebabkan oleh korporasi, pemerintah dan aparat keamanan. Hal demikian tak lain dan tak bukan karena paradigma pembangunan yang sama sekali tidak sensitif ekologi bahkan kerap dijumpai bias gender. Sambung Khalid, krisis lingkungan hidup dan sumberdaya alam, tidak bisa dilepaskan dari ketidakadilan dan ketimpangan struktur penguasaan sumberdaya alam, yang selama ini dikuasai oleh korporasi yang difasilitasi oleh negara melalui berbagai kebijakan. Ini semakin diperparah dengan sama sekali tidak merefleksikan sisi pandang perempuan. Ide pembangunan telah menggeser kedaulatan perempuan dalam mengelola sumber daya alam dan menentukan pangan telah membuat pandangan perempuan tentang kehidupan menjadi kabur, bahkan oleh perempuan sendiri (Khalisah Khalid dalam Candraningrum [ed.], 2014).
Ditambahkan Khalid (2014) bahwa perempuan selalu ditempatkan sebagai kelompok yang tidak berdaya, tidak punya pengetahuan. Pengetahuan perempuan tentang tubuhnya dan hubungannya dengan kekayaan alam, pengetahuan bersama dalam pengurusan kekayaan alam dan sumber-sumber kehidupannya, dianggap tidak ada. Sehingga, perempuan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dalam hampir semua pengambilan kebijakan pembangunan. Pengetahuan perempuan tentang tubuhnya, tentang relasi tubuh perempuan dengan kekayaan alam, serta pengetahuan perempuan, baik individu maupun kolektif dalam pengurusan kekayaan alam dan sumber-sumber kehidupan tidak masuk dalam agenda pembangunan.
Namun demikian, pengarusutamaan peran perempuan dalam memitigasi dan memulihkan krisis ekologi adalah modal sosial-ekologi yang penting untuk terus dilakukan dan ditumbuhkan. Inisiatif-inisiatif dan gerakan perempuan dalam memulihkan krisis sosial-ekologi hemat saya mampu untuk mengatasi kerentanan yang dialami perempuan. Semisal, peran perempuan dalam konservasi alam, menjaga ketahanan pangan, pertanian berkelanjutan yang berkeadilan gender, penguatan akses perempuan dalam pemanfaatan hutan, air, SDA, dsb. Dan tak kalah penting, mengembalikan peran aktif perempuan dalam membuat dan mengambil keputusan baik dalam pengelolaan pangan, lahan, air, SDA. Dalam tataran praksis, pelibatan perempuandalam merancang dan membuat kebijakan pembangunan, minimal ditingkatan desa, semisal melalui keterwakilan di Musrenbang. Tentunya, ini tidak selesai pada level inovasi teknokratis semata melainkan bagaimana kaum perempuan bisa kembali lagi ke peran produktifnya tanpa adanya bias androsentris dan dominasi patriarki.
Perempuan dan Pangan
Sejak berabad lamanya perempuan bertindak sebagai penyedia kehidupan. Ia berhasil memastikan keamanan pangan dalam sebuah keluarga dan masyarakatnya. Maka tak heran didalam kebudayaan Timur khususnya di Jawa, kita mengenalDewi Sri yang tugasnyamengaturketersediaan pangan dan kemakmuran.Sistem pangan dibuat berdasarkan siklus ekologi sehingga mampu berproduksi sendiri dan berkelanjutan karena sumber daya yang didaur-ulang secara internal menyediakan masukan yangdiperlukan oleh biji, kelembaban tanah, hara tanah dan pengendalian hama (Shiva,1988; 1998). Namun sistem ketahanan pangan ini semakin terdesak dan terpinggirkan dengan hadirnya paradigma pertanian ilmiah yang membawa gangguan siklus ekologi dalam memproduksi pangan. Tentunya ini menggusur peran signifikan perempuan dalam pengelolaan dan pemeliharaan pangan. Fabrikasi pangan skala besar oleh perusahaan-perusahaan agribisnis multinasional menghancurkannya. Teknik pertanian ilmiah dan revolusi hijau memporak-poradakan model pertanian tradisional yang bergantung pada kemurahan alam. Revolusi hijau menyeragamkan model-model pertanian diseluruh dunia. Bagaimana tidak, sistem pengetahuan yang dimiliki masyarakat lokal serta-merta dikikis dan terhapus. Ia digantikan dengan sebuah sistem pengetahuan baru yang lagi-lagi sebagai praktik reduksionisme.
Pertanian tidak lagi merupakan kegiatan menuju pada pemeliharaan modal alam berupa tanah subur serta menyediakan pangan dan gizi masyarakat. Pertanian menjadi kegiatan yang tujuan utamanya adalah produksi komoditas pertanian untuk laba. Perubahan dalam sifat kegiatan ini diiringi dengan perubahan pelakunya; alam, perempuan dan petani kecil tidak lagi dilihat sebagai produsen utama pangan. Terdapat perubahan dari pemikiran dalam konteks ekonomi alam serta ekonomi pasar semata-mata. Perubahan ini menyebabkan pada penciptaan benih-benih hibrida, pupuk dan pestisida kimia, mekanisasi dan irigasi skala besar. Teknologi-teknologi tersebut merupakan jawaban bagi kebutuhan menghasilkan laba maksimum dari pertanian. Namun teknologi-teknologi itu tidak bertujuan melindungi tanah serta mempertahankan kesuburannya, maupun menyediakan pangan bagi semua orang sebagai hak asasi manusia ataupun menyediakan sumber nafkah dalam produksi pangan. Munculnya kelompok “ahli” pertanian yang baru dengan pengetahuan terpecah-pecah tentang masing-masing komponen sistem pertanian, serta dengan integrasi total pengetahuan terpecah ini dengan sistem pasar mengarah pada penggusuran ahli-ahli pertanian tradisional—kaum perempuan dan petani (Shiva,1988; 1998).
Masuknya konsep pertanian ilmiah membuat posisiperempuan menjadi sangat rentan terhadap akses dan ketersediaan pangan bahkan dapat berpotensi terjadinya kelaparan. Dalam banyak kasus, bagaimanapun, hierarki kelas, kasta, ras dan gender masih dipertahankan, oleh sebagian, melalui kontrol diferensial atas dan akses ke pangan (Goody 1982 dalam Counihan, 1998). Alhasil, perempuan memiliki keterbatasan akses terhadap pangan karena terbentur pelembagaan hierarki berdasarkan klasifikasi gender, kelas, dsb. Ditambahkan, hemat Lewin (1943) bahwaperempuan sebagai“gatekeepers”pangan didalam rumahtangga, yangsementara perempuanmungkin memiliki tanggung jawab atas penyediaan pangan, “bertanggungjawabtapi tidakmemiliki kontrolatas pangan itu sendiri” yang mungkin sebenarnya berada di tangan laki-laki (Counihan, 1998).
Meskipun demikian, usaha untuk mengembalikan peran signifikan perempuan dalam pertanian semakin gencar dilakukan. Salah satunya adalah kembali pada model pertanian berkelanjutan. Pada pertanian berkelanjutan kaum perempuan memainkan peran signifikan dalam pengusahaan dan pembudidayaan pertanian. Ini bukan pendikotomian peran seolah-olah perempuan hanya mengurusi sektor subsisten pangan tetapi adalah sebagai usaha untuk mengembalikan dan memulihkan lagi peran produktif perempuan dalam penyediaan pangan dan mempertahankan siklus ekologis. Implikasinya, komodifikasi produksi pangan pada model pertanian ilmiah dan padat modal merusak nilai-nilai produktif perempuan dan menurunkan status mereka dalam masyarakat dan rumah tangga. Domestifikasi peran perempuan semakin intensif seiring dengan model pertanian padat modal di mana beban kerja dan upah rendah diterima kaum perempuan dengan sistem pertanian berskala besar.
Pada perkembangannya, revolusi hijau mengalami kegagalan dan involusi. Benih-benih yang dihasilkan dari rekayasa genetika tidak tahan terhadap gangguan hama. Rusaknya plasma nuftah yang disebabkan praktik pertanian yang mendasarkan pada model revolusi hijau adalah contoh nyata dari tidak berhasilnya program yang dianggap pencapaian “pertanian ilmiah” ini. Sistem produksi pangan tradisional mampu membangun ketahanan pangan lebih stabil daripada sistem pertanian padat modal. Pada prinsipnya, kondisi stabil yang diusahakan (cultivated) pertanian tradisional mampu menciptakan keseimbangan dan pemulihan ekologik untuk menjaga sumber kehidupan dan persediaan pangan secara berkelanjutan. Tentunya, di sinilah peran perempuan mendapatkan tempatnya kembali dalam mengelola pangan.
Signifikansi Etik Rahim Perempuan Dalam Merawat Bumi: Sebuah Usaha Pemulihan Krisis Ekologi
Bahwa rahim adalah metafora dari ibu yang telah memberikan kehidupan maka aksi-aksi pemulihan krisis ekologi menjadi keharusan dan penting dalam upaya mempertahankan dan melindungi bumi sebagai perwujudan terra mater (di Yunani Kuno disebut Dewi Gaia; di dunia Hindu disebut Dewi Bhumi) dari kerusakan yang sedemikian parah. Dalam memperjuangkan pemulihan krisis ekologis ini, kaum perempuan tampil di garda depan sebagai agen perubahan, perjuangan memulihkan krisis ekologi adalah kesadaran etis yang melihat bumi sebagai rahim. Pada rahim yang kokoh bermulanya kehidupan. Candraningrum (2014) mengilustrasikan bahwa tanah dianggap sebagai ibu, “tedhak siti”, yang dihargai dan dihormati, sebagai wujud ibu yang lain. Setelah keluar dari rahim ibu, anak-anak dilepaskan menuju rahim tanah, rahim bumi. Bumi sebagai organisme dan makhluk hidup. Perihal ini berbeda dengan paradigma modern yang menganggap bumi bagian dari kapital yang dianjurkan untuk dieksploitasi semaksimal mungkin.
Di berbagai belahan bumi dapat ditemukan agensi perempuan dalam memulihkan krisis ekologi dan mempertahankan sumber kehidupannya dari kerakusan kapital. Di India kita mengenal gerakan Chipko—sebuah gerakan yang lahir dari aksi penyelamatan pohon-pohon keramat yang hendak ditebang dengan cara memeluknya. Dalam sejarahnya, gerakan Chipko mencatatkan sebagai gerakan penyelamatan lingkungan hidup pertama di dunia dan yang terpenting gerakan tersebut dimotori oleh kaum perempuan. Gerakan Chipko menjadi ikonik karena disitulah pemahaman ekologi dan keberanian perempuan mempertahankan sesuatu yang amat dikeramatkan, yakni pohon khejri sebagai simbolisasi penting dari etika kerahiman.
Hal yang sama juga terjadi berbagai belahan bumi yang lain tak terkecuali di Indonesia. Baru-baru ini publik diramaikan dengan keberanian yang luar biasa Ibu-ibu Rembang, Jawa Tengah dalam mempertahankan ‘rahim’ mereka dari amuk kapital yang semakin brutal. Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih adalah rahim bagi perempuan-perempuan pegunungan Kendeng yang senantiasa memberikan mereka kehidupan. Air menjadi sangat penting bagi masyarakat di pegunungan Kendeng yang umumnya bercocok tanam. CAT Watu Putih adalah situs yang memberikan mereka kehidupan namun ketentraman mereka terusik sejak hadirnya tambang pasir yang banyak mengubah kontur situs CAT Watu Putih. Kelangkaan air mulai dirasakan masyarakat sejak tahun 2000-an.
Candraningrum (2014) mencatat bahwa sejak Soeharto turun di 1998, dan sejak otonomi daerah di tahun 2000, eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) oleh politisi dan pengusaha daerah marak dan tak terkendali lagi. Tak pelak, kondisi Watu Putih demikian lunglai dan muram seiring dengan penghancuran ekosistem hidrologinya. Maka tak mengherankan keberanian ibu-ibu Rembang dengan menyemen kaki mereka di depan Istana adalah simbol keterpasungan dari membabi-butanya eksploitasi sumberdaya alam disana dan ditambah semakin kritis sejak rencana pendirian pabrik semen. Ini belum lagi kisah-kisah perjuangan perempuan lainnya di Indonesia dalam mempertaruhkan hidupnya untuk menjaga kerahiman bumi. Hormat kepada daya hidup, energi kreatif dan kekuatan moral perempuan dalam memulihkan krisis ekologi adalah sikap yang menjadi keteladanan bahwa kita diingatkan untuk kembali pulang ke asal muasal kita yang terlahir suci, rahim!
Sejatinya, upaya pemulihan krisis ekologi adalah bagian dari cara etis dan menghormati nilai-nilai luhur alam. Nilai-nilai tersebut adalah salah satu prinsip dari pelaksanaan pemulihan ekologi (restoration ecology) yang berlandaskan pada pemahaman biospheric egalitarianism—sebuah prinsip di ekologi dalam (deep ecology) yang mengakui bahwa manusia dan makhluk hidup lainnya yang bernaung di bumi adalah statusnya setara. Keseluruhannya mempunyai martabat yang sama tak terkecuali makhluk non-hayati. Semua bentuk peri kehidupan mempunyai keunikannya sendiri dan harmoni ini memperkaya kehidupan itu sendiri sehingga antara satu dengan lainnya bernilai sama dan tidak ada yang mendominasi.
Pandangan ekologi dalam diajukan oleh Arne Naess—filsuf berkebangsaan Norwegia. Ekologi dalamterkait erat dengan istilahecophilosophy dan atau ecosophy.Ia menawarkan ilmu baru dari alam, paradigma spiritual baru, dan etika ekologi baru. Pemikiran ekologidalammuncul dari rasa krisis ekologi. TermaEkologi Dalam adalah kebalikan dari termaEkologi Dangkal (shallow ecology)—yang menempatkan manusia sebagai pemegang kendali atas alam.Dalam perkembangannya, paradigma ekologi dalam diformulasikan oleh Fritjoft Capra. Ia dikenal karena pandangannya tentang kesamaan antara asumsi yang mendasari fisika baru dan filsafat timur (in the Tao of Physics) dan seruannya seruannya untuk sebuah revolusi dalam pola pikir (in The Turning Point and in Hidden Connections), ia telah meyakini ekologi dalam sebagai istilah paling ringkas untuk pandangan dunia yang muncul. Pandangan dunia yang telah mendominasi masyarakat Barat selama tiga ratus tahun terakhir, ia berpendapat, bahwa alam semesta terdiri dari partikel elementer, tubuh manusia sebagai mesin, dan masyarakat yang didasarkan pada perjuangan kompetitif Darwinian untuk sebuah keberadaan, keyakinan dalam pencapaian material, dan bahwa perempuan adalah subordinasi laki-laki (Merchant, 2005).
Di ekologi dalam, Capra percaya untuk menawarkan pandangan dunia holistik yang menekankan keseluruhan atas bagian dan tidak memisahkan manusia dari lingkungan. Paradigma ekologi memerlukan etika baru yang mengakui nilai intrinsik semua makhluk, salah satu yang akan menggantikan etika antroposentris dari masa lalu (Merchant, 2005). Ditambahkan Capra (1996) dalam bukunya The Web of Life bahwa semua kehidupan adalah anggota dari komunitas ekologis yang terikat bersama dalam sebuah jaringan yang saling ketergantungan satu sama lainnya. Jikalau pandangan ekologi dalam ini menjadi bagian dari kesadaran sehari-hari kita, ia secara radikal menumbuhkan sebuah sistem baru etika.
Namun demikian, pandangan ekologi dalam tak terlepas dari kritik bahkan pandangan ekologi dalam terlalu naif, hanya melihat persoalan dari premis Malthusian, dan sumber segala krisis ekologi bersumber dari pemahaman antroposentrisme—inilah yang dikritik oleh gerakan ekofeminisme di mana ekologi dalam mengabaikan pandangan androsentrisme sebagai sebuah bentuk dominasi maskulin baik dalam ilmu pengetahuan dan dalam bekerjanya kapitalisme yang menyebabkan terjadinya krisis ekologi. Bahkan postulat Vandana Shiva pun tak terlepas dari kritik yang sekadar mendasarkan pada pendekatan esensialis. Terlepas dari itu semua, perdebatan-perdebatan antara masing-masing pihak sama-sama melihat bahwa perlu ada perubahan paradigma dalam memperlakukan alam. Sebagaimana Naess sebut, perlu ada paradigma ekologi baru.
***
Peran perempuan dalam mitigasi perubahan iklim gaungnya makin mengemuka karena posisi kuncinya dalam berbagai dimensi. Isu-isu ketahanan pangan yang meliputi ketersedian pangan, akses terhadap pangan, dan stabilitas pangan merupakan modal ekologi yang dimiliki perempuan. Disamping itu, isu keanekargaman hayati menjadi isu krusial karena terjadinya penurunan kualitas ekosistem. Ini upaya untuk mengembalikan peran produktif perempuan dalam menjaga plasma nuftah sebagai kekayaan keanekaragam hayati yang mengalami proses pemusnahan sistemik. Pelepasan emisi karbon dioksida ke atmosfer bertambah besar karena pengikat dan penyerap emisi karbon mengalami kerusakan parah yang disebabkan oleh pembalakan, pertanian padat modal, perkebunan dan industri ekstraktif. Ditambah dengan hilangnya fungsi hidrologi membuat beban kerja perempuan bertambah banyak dan keras. Kekeringan dan banjir adalah contoh dari semakin menipisnya ketersediaan air. Alhasil, menciptakan kerentanan dan peningkatan risiko sosial-ekologi. Oleh karena itu, diperlukan kembali pengetahuan-pengetahuan lokal seperti menjaga benih warisan dan keberagaman tanaman pangan, pengelolaan air dan tanah, penerapan pertanian organik, konservasi dan menjaga fungsi spesies tertentu sebagai upaya mitigasi perubahan iklim dan pengarusutamaan keadilan iklim berbasis gender.
Ini belum menyangkut laju pertambahan penduduk. Persoalan ledakan demografi bukanlah dikategorisasikan hanya berdasarkan klasifikasi deret ukur dan deret hitung Malthusian. Ledakan demografi yang terjadi pada perkembangan kapitalisme lanjut telah melampaui paradigma Malthusian di mana berimplikasi pada kompleksitas perubahan iklim dan kerentanan perempuan dalam menghadapinya. Arus migrasi manusia yang besar disebabkan oleh semakin berkurangnya daya dukung lingkungan membuat pembagian ruang dan lahan semakin kritis. Untuk itulah mitigasi perubahan iklim menjadi penting dalam usahanya membatasi pelepasan emisi gas rumah kaca, degradasi lingkungan, kerusakan hutan, permukiman dan kesehatan. Selain memitigasi, cara lain yang tak kalah penting adalah upaya dalam melakukan adaptasi dari kerentanan perubahan iklim seperti membangun sektor ketahanan pangan, pertanian, perikanan, sanitasi, permukiman dan ketersediaan air, kesehatan, HAM dan keamanan.
Tak berhenti dalam upayanya melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, perlu ditekankan disini adalah menyangkut keadilan iklim. Frasa mitigasi perubahan iklim terkesan dan bahkan berwatak teknokratis. Ia belum mampu menuntaskan persoalan mendasar dari akutnya krisis ekologi dan perubahan iklim itu sendiri, terlebih yang dialami oleh perempuan. Maka sebuah terobosan proposal keadilan iklim dirasa mewakili kepentingan yang lebih esensial dan substansial. Frasa keadilan iklim tidak dilihat sebagai tandingan dari gagasan pembangunan PBB menyangkut isu perubahan iklim melainkan sebagai bahan komplementer bagi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim bahkan frasa ini lebih dirasa berkeadilan. Keadilan iklim dilihat mampu memenuhi harapan kaum perempuan akan hak-hak tradisionalnya dalam pengelolaan tanah dan sumber kebutuhan pangan. Hubungan dialektis ini yang agak kurang mendapatkan tempat di agenda pembangunan berwajah teknokratik. Kritik terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim lagi-lagi terjebak pada kategori reduksionisme—yang hanya selesai pada dukungan pendanaan. Sementara, pemerintah tetap saja membuka investasi berbasis lahan yang sangat mengancam ruang produksi dan keselamatan masyarakat. Ketidaksinkronan antara upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di satu sisi dengan obral investasi di sisi lain adalah wajah ganda pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat rentan.
Di beberapa tempat dunia termasuk Indonesia telah banyak inisiatif-inisiatif dalam meminimalisir ekses perubahan iklim dan upaya pemulihan krisis ekologi. Di Kenya dapat dijumpai aksi-aksi penyelematan lingkungan hidup seperti yang dilakukan Wangari Maathai, dia mempolopori gerakan penanaman pohon secara serentak dan seluruhnya dikerjakan oleh perempuan. Di Indonesia sendiri munculnya penguatan peran perempuan dalam upaya pemulihan krisis sosial-ekologis. Ambil contoh, apa yang dilakukan perempuan Mollo di NTT dalam menjaga ketahanan pangan dengan pengelolaan lopo (rumah bulat) sebagai lumbung pangan. Begitupun dengan masyarakat adat kasepuhan di bagian barat Pulau Jawa yang menyimpan bibit di lumbung dekat rumah. Dalam banyak artefak kebudayaan Indonesia sistem ketahanan pangan tersebut sudah beratus-ratus tahun lamanya terwarisi dan merupakan produk pengetahuan tentang pengelolaan pangan, lahan dan air. Dalam praktiknya, konsep lumbung menempatkan peran aktif perempuan sebagai pengambil keputusan. Mana padi untuk bibit, mana yang mesti ditanam dan mana yang dijadikan untuk kepentingan ritual dan spiritual. Pada pengertian ini, hubungan antara lumbung dan perempuan tak dapat dipisahkan. Sejatinya, perempuan bertindak sebagai pengumpul makanan (food gathering). Ia memiliki hak kelola atas pangan, lahan dan air.
Dalam merebut kembali hak kelola perempuan terhadap alam dan upaya pembalikan krisis sosial ekologis ini, tidak hanya dilakukan dengan tindakan praksis semata tetapi juga didukung pendasaran teoritisnya. Adalah Ekofeminisme yang menjadi proyek epistemik untuk mengungkapkan selubung ideologis ilmu pengetahuan maskulin yang opresif terhadap alam dan perempuan. Ekofeminisme sebagai proyek epistemik mencoba untuk membebaskan keterkungkungan perempuan dan alam dari penindasan kapitalisme. Ekofeminisme berpegang pada premis bahwa kemunculan krisis ekologi tak bisa dilepaskan dari cara pandang dan perilaku androsentrisme yang serba maskulin, mendominasi, memanipulasi dan eksploitatif terhadap perempuan dan alam.
Ekofeminisme menawarkan seperangkat bangunan epistemik yang pluralistis dan inklusif bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan, relasi antara manusia dan alam adalah utuh saling melengkapi bukan menegasikan salah satu diantaranya. Ekofeminisme secara teori diperkenalkan oleh François d’Eaubone pada tahun 1974 melalui bukunya Le Féminisme ou la Mort. Ekofeminisme adalah filsafat dan gerakan yang lahir dari penyatuan pemikiran feminis dan ekologi dan sebuah keyakinan yang menyatakanbahwaterdapat pergeseranmentalitas sosial yang mengarah pada penyalahgunaan lingkungan (Ritu Dhingra, 2012). Sebagaimana Zimmerman (1994) sebut, ekofeminisme menawarkan beberapa penjelasan yang paling penting dari problem sosial dan ekologis manusia saat ini. Ekofeminisme memiliki potensi untuk membawa wawasan feminis ke ranah etika lingkungan. Plumwood (1993) berpendapat bahwa ekofeminisme berkontribusi besar baik untuk perjuangan praksis dan teoritisyang menghubungkan antara penindasan perempuan dan dominasi alam. Hal ini dapat memberikan pijakan dasar bagi keterhubungan dan praktik kerjasama politis untuk gerakan pembebasan.
Sementara ekofeminisme menyediakan kerangka kerja yang berguna untuk analisis politik, itu adalah sebuah proses yang paling mendasar. Bagi ekofeminisme, baik nilai-nilai dan tindakan tidak dapat dipisahkan: satu bentuk kepedulian tak bisa berjalan tanpa adanya tindakan. Teori dan analisis ekofeminisme memang mulai berkembang sejak tahun 1970-an, namun praktiknya telah ada jauh sebelum itu, dan telah berkembang di berbagai bagian dunia. Ekofeminisme juga sistem nilai yang holistik (Janis Birkeland dalam Greta Gaard, 1993). Ada kolaborasi antara energi Purusha dan Prakriti yang menjadi titik keseimbangan (equilibrium) dalam menjaga kelestarian bumi. Laki-laki dan perempuan berbagi tanggung jawab bersama dalam menjaga keberlanjutan dan kelestarian bumi untuk generasinya kelak.Itulah cita-cita pembebasan yang digaungkan oleh ekofeminisme dari segala bentuk opresi. Meskipun demikian, ekofeminisme tak lepas dari kritik yang dialamatkan padanya seperti glorifikasi perempuan yang dikatakan lebih baik merawat bumidan peduli lingkungan. Selain itu, ekofeminisme, oleh sebagian para pengkritiknya dikatakan bermasalah dengan bangunan teorinya yang terkesan utopis. Bahkan Sargisson (2001) dengan keras menyatakan bahwa sementara ini ekofeminisme menyajikan alternatif imajinatif belaka, begitupun teorinya hanya dibangun berdasarkan lamunan (the theory is at best a daydream) tanpa adanya cetak biru instruktif untuk perubahan kebijakan.
Penutup
Panggilan untuk kembali pulang ke rahim ibu pertiwi adalah kembali pada kesucian—sebuah kelahiran baru dalam keadaan fitrah yang terlahir dari kokohnya dinding rahim; sebuah rumah suci di mana Zat Prakitri bertahta. Alam sebagai rahim dan perempuan yang memiliki rahim adalah kekuatan untuk berlangsungnya energi kreatif kehidupan—jika itu dimatikan maka musnah sudah kehidupan di dunia ini dan tampaknya bandit rakus itu menutup mata dan telinga mereka akan bahaya krisis ekologi.
Mungkin mereka sedang menyiapkan planet baru untuk dieksploitasi bagi pemenuhan nafsu durjana yang tak pernah puas-puasnya. Bukankah intensinya sudah ada kesana sebagaimana petikan dialog di dalam film Intersteller yang dengan kepongahannya mengatakan bahwa “Kita tidak ditakdirkan menyelamatkan bumi tapi kita ditakdirkan meninggalkannya.” Petikan dialog film tersebut merupakan ilustrasi tentang proyek kemajuan yang dicita-citakan modernitas. Namun celakanya apa yang disebut sebagai kemajuan adalah tak lebih dari cara pandang antroposentrisme yang menempatkan bumi sebagai mesin peningkatan surplus kapital dan objek penjarahan. Jika sudah habis dan tidak berguna lagi maka dicampakkan dan ditinggalkan. Lantas, bandit-bandit rakus itu dengan segala kuasanya mencoba untuk mencari kemungkinan meninggalkan bumi dan mengkapling planet-planet di jagat semesta ini. Tabik
Renal Rinoza—penulis; tertarik dibidang studi pembangunan dan ekologi
Tulisan ini merupakan materi yang penulis sampaikan pada Seminar Hari Bumi, diselenggarakan oleh KPA ARKADIA UIN Jakarta, 22 April 2016. Penulis menambah beberapa bagian untuk pemuatan di blog ini.