Berbagai bentuk ancaman terhadap habitat Orangutan akibat aktivitas pembukaan hutan di Indonesia untuk perkebunan kelapa sawit, terus mengintai primata besar Indonesia yang jumlahnya terus berkurang. Apalagi di kawasan yang memiliki lahan yang masih sangat luas, yang memenuhi syarat dasar ekspansi masif bagi lahan perkebunan kelapa sawit, seperti di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera yang menjadi habitat asli Orangutan.
Pembukaan lahan ini, sangat merugikan bagi satwa liar karena kehilangan habitat mereka. Belum lagi, upaya pembukaan lahan yang sangat masif juga menimbulkan konflik sosial dengan masyarakat setempat.
Di Sumatera saja, kerasnya hantaman terhadap habitat Orangutan nampaknya belum akan berhenti. Satu-satunya primata besar yang hidup di Asia Tenggara dan merupakan satu-satunya primata besar diluar benua Afrika ini kini tinggal tersisa antara 6000 hingga 7000 ekor saja di alam liar. Setiap tahun, hutan di Sumatera hilang sekitar 0,37 juta hektar per tahun di tahun 2009 silam dari data yang dirilis oleh Forest Watch Indonesia.
Sementara, fakta di lapangan menunjukkan bahwa antara tahun 1985 hingga tahun 2007, tutupan hutan di Sumatera mengalami laju kerusakan sangat tinggi, yaitu sekitar 12 juta hektar atau sekitar 48% dari seluruh tutupan hutan dalam 22 tahun. Data lima tahun silam ini, tentu sudah bertambah, mengingat lajunya perizinan yang diberikan oleh pemerintah untuk membuka hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan di Sumatera.
Sementara data dari IUCN mengatakan bahwa selama 75 tahun terakhir populasi orangutan Sumatera mengalami penurunan sebanyak 80%. Saat ini, orangutan Sumatera sudah masuk dalam kategori terancam punah dalam Daftar Merah IUCN. Fakta ini, membuat upaya perlindungan terhadap orangutan tak hanya dilakukan di dalam negeri melalui berbagai program yang dilakukan oleh berbagai organisasi perlindungan alam. Namun juga berbagai organisasi melakukan hal serupa untuk melakukan upaya penyelamatan orangutan lewat berbagai cara kreatif.
Di Kalimantan, laju investasi perkebunan sawit, pertambangan, dan permukiman tak hanya memicu konflik horisontal antarkelompok masyarakat. Pembukaan skala besar itu, telah merampas habitat satwa liar dilindungi seperti orangutan. Di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, Kalimantan Barat, Yayasan Palung mencatat 17 kasus orangutan berhasil dievakuasi sejak Januari hingga November 2012. Angka ini mengalami peningkatan signifikan jika dibandingkan tahun sebelumnya 12 kasus. Grafik ini terus menanjak akibat pembukaan lahan skala besar, baik di hutan rawa gambut maupun dataran rendah. Padahal, kawasan itu merupakan tempat hidup paling nyaman bagi orangutan.
Dinas Perkebunan Ketapang mencatat 54 perusahaan sawit yang beroperasi dengan seluas 783.151 hektar. Sedangkan data Dinas Pertambangan, perusahaan pertambangan yang mengantongi izin eksplorasi 78 seluas 990.060 hektar. Pemegang izin pertambangan operasi produksi 56 perusahaan seluas 196.592,8 hektar. Luas total pertambangan di Ketapang mencapai 1.186.661,8 hektar.
Beberapa persoalan yang hanya sebagain kecil saja terjadi diwilayah Sumatera dan Kalimantan ini, sudah seharusnya menjadi perhatian serius dari pemerintah Indonesia dan menjadi kepedulian semua masyarakat. Apabila penebangan hutan masih terus terjadi, perdagangan satwa khususnya Orangutan, pengalihan fungsi hutan menjadi perkebunan satit tidak juga berhenti, maka kemungkinan besar, beberapa puluh tahun lagi Orangutan akan punah.
Pemerintah harus menegakan hukum yang berlaku, bukan malah mengkesampingkan hukum hanya demi memuluskan jalan investor merusak habitat Orangutan. Akan tetapi, kenyataannya salah satu penyakit di Indonesia itu korupsi sebagai akarnya. Jadi, aturan hukum yang sudah baik dan seharusnya dijalankan secara baik dan ditegakkan, tapi banyak sekali pelanggaran yang terjadi, dan penegak hukum juga menjadi pemain yang sebagai aktor pelanggar hukum. Seandainya penegakan hukumnya berjalan baik, maka akan signifikan.
Kerusakan hutan tidak akan terjadi secara masif jika aturan hukum dijalankan dan pemerintah dan penegak hukumnya tegas menegakan hukum. Ada beberapa negera lain yang perlindungan hukum terhadap hutannya bagus, seperti negara tetangga di Asia. Mereka bisa membeli kayu dan membikin perkebunan sawit di Indonesia. Artinya, bukan negara tetangga atau negara lain yang dominan salahnya, tapi pemerintah kitalah yang tidak pernah serius menjaga kelestarian hutannya.
Mari Selamatkan hutan dan Orangutan
Tanggal 1 Maret 2013 Sumatran Orangutan Society yang berbasis di London, Inggris melakukan upaya penggalangan dana untuk konservasi orangutan Sumatera lewat program Jungle VIP Auction. Upaya ini mengajak para selebritas dunia untuk melelang barang-barang mereka lewat situs lelang, dan seluruh keuntungan yang diperoleh dari hasil lelang ini akan diberikan kepada lembaga Sumatran Orangutan Society untuk membiayai operasional mereka sehari-hari.
Sejumlah nama besar dunia, sudah menyumbangkan barang-barang milik mereka, tentu lengkap dengan tandatangan asli para pesohor ini. Seperti yang dilakukan oleh juara dunia balap mobil Formula 1 asal Jerman, Sebastian Vettel yang melelang pakaian dalam balapnya dalam lelang ini. Harga lelang pakaian balap milik Vettel ini kini sudah mencapai 1.500 poundsterling. Sementara artis lainnya, musisi Jason Mraz melelang albumnya yang bertitel ‘Love’ beserta sebuah foto yang ditandatangani oleh artis pelantun lagu I’m Yours ini. Harga album milik Jason, kini baru dibuka dengan harga 30 poundsterling. Aktris pemenang Oscar seba
gai pemeran pembantu wanita terbaik dalam film Les Miserables, Anne Hathaway melelang naskah film lamanya Ella Enchanted yang sudah ditandatanganinya bersama dengan dua rekannya yang bermain di film yang sama, Joanna Lumley dan Minnie Driver. Di Indonesia sendiri grup band Shaggydog sempat menjadi duta penyelamatan Orangutan, bahkan mereka menciptakan lagu khusus berjudul “Selamatkan atau Hilang. Lagu tersebut bisa diunduh secara gratis oleh berbagai kalangan.
Berbagai bentuk kepedulian musisi dan artis dunia serta beberapa musisi Indonesia terhadap Orangutan sebagai satwa asli Indonesia bisa juga dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Hal terkecil saja, ketika hukum dan aparatur negara ini sudah tidak mampu lagi untuk menegakan hukum secara benar dan lebih peduli kepada para investor, maka aksi konkrit yang bisa dilakukan masyarakat adalah menghukum pasar. Artinya, masyarakat bisa menghindari berbagai bentuk produk yang dihasilkan dari perusakan hutan sebagai habitat Oranguatan. Seperti, menghentikan pembelian minyak dari bahan dasar sawit, mulai berhenti memakai kertas dari perusahaan yang merusak hutan tropis Indonesia, atau melakukan pembuatan petisi untuk mendesak pemerintah agar peduli akan ancaman kehidupan Orangutan dan kondisi hutan di Indonesia yang terus tergerus oleh berbagai kepentingan. Jika bukan kita yang peduli lalu siapa lagi? Jika kita hanya diam, maka yang terjadi Orangutan kita tidak akan lagi selamat, tapi akan hilang.
Tulisan ini pernah dimuat di majalah Lembaga Pers Mahasiswa “SUAKA” UIN Bandung.