, ,

Situs Belajar Kuricaddi dan Upaya Pelestarian Emas Hijau di Perairan Sulsel

Pernah mendengar tanaman mangrove? Tanaman yang memiliki habitat di daerah pesisir ini juga dikenal dengan nama tanaman bakau. Karena banyaknya manfaat yang bisa diperoleh dari tanaman ini maka ia kerap kali disebut sebagai ‘emas hijau’.

Tanaman ini umumnya tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Umumnya tumbuh di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.

Menurut Macnae (1968), kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis ”Mangue” dan bahasa Inggris ”grove”. Dalam Bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa Indonesia).

Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana (2003), penggunaan istilah hutan bakau untuk hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari.

Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.

Hutan Mangrove memberikan perlindungan kepada berbagai organisme baik hewan darat maupun hewan air untuk bermukim dan berkembang biak. Hutan Mangorove dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia, amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan, primata, serangga dan sebagainya.

Selain menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity), ekosistem Mangorove juga sebagai plasma nutfah (geneticpool) dan menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya. Habitat Mangorove merupakan tempat mencari makan (feeding ground) bagi hewan-hewan tersebut dan sebagai tempat mengasuh dan membesarkan (nursery ground), tempat bertelur dan memijah (spawning ground) dan tempat berlindung yang aman bagi berbagai ikan-ikan kecil serta kerang (shellfish) dari predator.

Beberapa manfaat hutan mangrove antara lain, manfaat atau fungsi Fisik: menjaga agar garis pantai tetap stabil, melindungi pantai dan sungai dari bahaya erosi dan abrasi, menahan badai/angin kencang dari laut, menahan hasil proses penimbunan lumpur sehingga memungkinkan terbentuknya lahan baru, menjadi wilayah penyangga, serta berfungsi menyaring air laut menjadi air daratan yang tawar, mengolah limbah beracun, penghasil O2 dan penyerap CO2.

Ada juga manfaat atau fungsi biologik: menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan penting bagi plankton, sehingga penting pula bagi keberlanjutan rantai makanan, tempat memijah dan berkembang biaknya ikan-ikan, kerang, kepiting dan udang. Mangrove juga sebagai tempat berlindung, bersarang dan berkembang biak dari burung dan satwa lain, smber plasma nutfah dan sumber genetic dan merupakan habitat alami bagi berbagai jenis biota.

Menurut FAO Indonesia memiliki 37 jenis tanaman mangrove. Dari berbagai jenis mangrove tersebut, yang hidup di daerah pasang surut, tahan air garam dan berbuah vivipar terdapat sekitar 12 famili. Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.) merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya.

Jenis api-api (Avicennia sp.) atau di dunia dikenal sebagai black mangrove mungkin merupakan jenis terbaik dalam proses menstabilkan tanah habitatnya karena penyebaran benihnya mudah, toleransi terhadap temperartur tinggi, cepat menumbuhkan akar pernafasan (akar pasak) dan sistem perakaran di bawahnya mampu menahan endapan dengan baik. Mangrove besar, mangrove merah atau Red mangrove (Rhizophora sp.) merupakan jenis kedua terbaik. Jenis-jenis tersebut dapat mengurangi dampak kerusakan terhadap arus, gelombang besar dan angin.

Salah satu tantangan yang dihadapi saat ini adalah semakin tergradasinya kawasan mangrove di Indonesia, yang telah mengurangi luasan hutan mangrove secara radikal. Laju kerusakan ekosistem mangrove di Sulawesi Selatan mencapai 89% dari rentang waktu sebelum tahun 80-an yang berkisar antara 214.000 Ha menurun menjadi hanya 22.353 Ha pada tahun 2010.

Hutan Mangrove ini dibabat untuk keperluan timber, kayu bakar dan dikonversi menjadi lahan budidaya tambak. Ketika harga udang meningkat drastis di tahun 1980-an, sebagian besar kawasan hutan mangrove dikonversi menjadi lahan budidaya tambak bandeng (Chanos chanos) dan udang windu (Penaeus monodon) oleh pengusaha besar dari luar (sekitar 30%) maupun pemodal lokal (70%) yang tergiur dengan pasar ekspor yang menguntungkan.

“Kondisi ini tidak hanya meningkatkan degradasi kondisi wilayah pesisir tetapi juga berdampak pada nilai-nilai sosial, ekonomi dan budaya di pesisir. Masyarakat rentan semakin terpinggirkan karena minimnya akses terhadap lahan dan pengelolaan kawasan mangrove yang tidak lagi menjadi sumberdaya komunal karena telah dikonversi menjadi kepemilikan atau dikelola oleh segelintir orang,” ungkap Yusran.

Faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap hilangnya hutan mangrove di Sulawesi Selatan adalah penebangan legal dan ilegal. Kayu dari hutan-hutan ini digunakan sebagai kayu bangunan, untuk pembuatan arang, atau sebagai serat untuk industri kertas yang berkembang di Gowa. Meskipun demikian, sebagian besar kerusakan mangrove di Sulawesi Selatan terjadi karena pengembangan budidaya (sekitar 61%). Menurut Prof. Dr. Baharuddin Nurkin, kombinasi antara penebangan kayu, pembuatan arang dan pembukaan lahan untuk pemukiman adalah penyebab degradasi mangrove, tapi konversi mangrove menjadi tambak adalah penyebab kerusakan terbesar.

“Masyarakat di Kabupaten Takalar menyatakan bahwa hutan mangrove di daerah tersebut telah benar-benar menghilang dalam 20 tahun terakhir,” tambah Yusran.

Data dari Strategi nasional untuk Konservasi Hutan Mangrove di Indonesia tahun 2008 menunjukkan tingkat deforestasi hutan mangrove di Sulawesi Selatan mencapai 2,2% per tahun.

Berbagai upaya dilakukan untuk pelestarian mangrove sebagai perisai pantai. Berbagai upaya konservasi telah dilakukan, meskipun hasilnya tak selalu efektif. Sebuah kajian mengungkapkan bahwa efektivitas penanaman manrove di Sulawesi Selatan yang dilakukan selama ini hanya berkisar 26%, sementara secara nasional hanya sebesar 10%. Selama ini sebagian besar upaya ini memfokuskan dana, dimana perhatian dan aktifitas rehabilitasi pada upaya pembibitan dan penanaman propagule langsung di lokasi rehabilitasi dan dilakukan tanpa ada upaya penilaian kelayakan lokasi sebelumnya.

“Penyebab utama dari rendahnya efektivitas penanaman mangrove selama ini adalah minimnya upaya penilaian kelayakan lokasi yang direhabilitasi. Akibatnya banyak upaya rehabilitasi yang dilakukan justru di daerah yang bukan merupakan kawasan mangrove,” ungkap Yusran, dari Mangrove Action Project (MAP) Indonesia.

Lalu kenapa penanaman mangrove masih dilakukan di daerah yang kurang tepat itu?

Menurut Yusran penyebab utamanya adalah karena lokasi pesisir yang bisa dijadikan sebagai lokasi penanaman mangrove yang sudah semakin terbatas. Daerah yang selama ini merupakan lokasi magrove telah dialih fungsikan menjadi tambak.

Berbagai upaya dilakukan untuk mengefektifkan upaya rehabilitasi mangrove. Salah satunya melalui pembuatan sebuah situs belajar rehabilitasi mangrove secara ekologis. Inilah kemudian yang dilakukan oleh MAP melalui program RCL, yang didukung oleh OXFAM.

Dalam membangun situs belajar ini MAP menggandeng Universitas Mumahammadiyah Makassar. Lokasi situs belajar ini sendiri berada di Dusun Kuricaddi, Desa Nisombalia, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, dengan menggunakan lahan yang selama ini dikelola UNISMUH selluas 23,38 ha.

Peta citra satelit rencana kawasan situs belajar Kuricaddi di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan seluas 23,38 ha. Situs belajar ini diharapkan sudah bisa tutntas di awal 2014 mendatang. Foto: Yusran, MAP Indonesia
Peta citra satelit rencana kawasan situs belajar Kuricaddi di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan seluas 23,38 ha. Situs belajar ini diharapkan sudah bisa tutntas di awal 2014 mendatang. Foto: Yusran, MAP Indonesia

“Dengan situs belajar ini diharapkan bisa menjadi media belajar bersama para pihak untuk memahami dan mepraktekkan model rehabilitasi yang tepat, sebagai alternatif pendekatan mengurangi tingkat kegagalan penanaman mangrove,” ungkap Yusran.

Inisiatif pembangunan situs belajar ini sendiri muncul dalam sebuah pertemuan berbagai pihak pada Februari 2012 lalu. Adalah Robin Lewis, penemu metode EMR yang mengusulkan pentingnya dibangun sebuah situs belajar.

Menurut Yusran, awalnya lokasi yang dipilih adalah empang besar yang dikelola PLH Puntondo di Kabupaten Takalar. Namun karena terkendala masalah kepemilikan lahan, maka dilakukanlah penjajakan di tempat lain, termasuk di Dusun Kuricaddi yang kebetulan dikelola oleh UNISMUH.

Pihak MAP pun kemudian membangun komunikasi dengan pihak UNISMUH yang berakhir dengan kesepahaman bersama untuk mengelola kawasan tersebut menjadi situs belajar.

Pihak MAP kemudian melakukan berbagai upaya pematangan perencanaan pembangunan situs belajar ini. Termasuk upaya penyelesaian status kepemilkan status situs belajar dan membangun kesepahaman pengelolaan situs belajar jangka panjang.

Penandantangan kesepahaman ini sendiri dilaksanakan pada 3 Juli 2013 di Hotel Grand Town. Pihak MAP Indonesia diwakili oleh Benyamin Brown, sementara pihak Unismuh diwakili oleh Ketua Jurusan Perikanan, Ir Murniati, Msi. Sejumlah pihak yang hadir dalam penandantangan ini antara lain dari Konsorsium Mitra Bahari Sulsel, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten, akademisi dan NGO.

Situs belajar ini nantinya akan ditanami mangrove serta pembuatan tambak dengan persentase 80% untuk mangrove dan 20% untuk tambak.

Menurut Yusran, untuk tahap awal telah dilakukan upaya konservasi seluas 2 ha, yang dilakukan MAP beserta warga yang berada di sekitar lokasi. Sisanya, sebanyak 20,28 ha akan dikerjakan secara bersama serta menggunakan peralatan berat.

Workshop Rehabilitasi Man grove secara Ekologis (Berbagi pengalaman dan pembelajaran rehabilitasi mangrove di Sulawesi Selatan diikuti dengan Kunjungan lapangan ke Situs tambak UNISMUH, 19 – 21 Februari 2013. Foto: Yusran, MAP Indonesia
Workshop Rehabilitasi Man grove secara Ekologis (Berbagi pengalaman dan pembelajaran rehabilitasi mangrove di Sulawesi Selatan diikuti dengan Kunjungan lapangan ke Situs tambak UNISMUH, 19 – 21 Februari 2013. Foto: Yusran, MAP Indonesia

Untuk upaya konservasi berbasis warga yang telah dilakukan, MAP memberdayakan warga melalui sekolah lapang, khususnya yang terkait dengan metode EMR.

Dalam setiap upaya rehabilitasi kawasan mangrove, MAP-Indonesia memang menggunakan metode Ecological Mangrove Rehabilitation (EMR), yaitu sebuah metode yang tidak mengutamakan penanaman bibit secara langsung pada kawasan yang direhabilitasi, namun terlebih dahulu melakukan beberapa penilaian dan perencanaan yang mendukung terjadinya pertumbuhan mangrove secara alami. Metode ini terdiri dari proses 6 tahap yang dilakukan secara kolaborasi dengan berbagai pihak seperti masyarakat lokal, pemerintah lokal, akademisi dan organisasi masyarakat setempat.

Sekolah Lapang EMR di Dusun Kurricaddi, Desa Nisombalia, Januari – Maret 2013. Foto: Yusran, MAO Indonesia
Sekolah Lapang EMR di Dusun Kurricaddi, Desa Nisombalia, Januari – Maret 2013. Foto: Yusran, MAO Indonesia

Penggunaan metode EMR ini dilakukan dengan asumsi bahwa hutan mangrove pada dasarnya mempunyai kapasitas untuk meregenerasi dirinya dengan syarat hidrologi normal pasang surutnya tidak terganggu dan benih (propagule) yang tersedia dari hutan sekitar tidak terganggu jalannya.

Untuk memantapkan pelaksanaan pembangunan situs belajar ini, dalam pertemuan di Hotel Grand Town tanggal 3 Juli tersebut juga dilakukan pembentukan kelompok kerja serta pembangian kerja untuk masing-masing pihak. Sejumlah aktivitas yang akan dilakukan nantinya antara lain identifikasi masyarakat dan CSO yang berada di sekitar lokasi situs belajar, persiapan sosial, termasuk survey dan sejumlah aktivitas lainnya.

Proyek situs belajar ini diharapkan sudah bisa digunakan pada awal 2014 mendatang.

“Berbagai aktivitas yang melibatkan banyak pihak sudah dan akan dilakukan. Semoga sudah bisa digunakan awal 2014 mendatang,” ungkap Yusran.

Yusran berharap selain bernilai ekologis, atau bermanfaat bagi upaya pelestarian mangrove situs belajar ini juga bisa memberi nilai ekonomis bagi warga sekitar situs belajar.

 

Sumber:

  1. Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisyam, dan A. Whitten. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatra. Gadjah Mada Univ. Press. Yogyakarta.
  1. Irwanto, Hutan mangrove dan Manfaatnya
  2. MAP Indonesia, data dan wawancara dengan Yusran
  3. Wikipedia
  1. Noor, Y.R., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor.
  2. Tomlinson, P. B., 1986: The Botany of Mangroves, Cambridge University Press.

 

Sumber Foto: Yusran, MAP Indonesia

Artikel yang diterbitkan oleh