Guguk, merupakan sebuah nama desa yang terletak nun jauh di sana tepatnya di Kecamatan Ranah Pembarap Kabupaten Merangin, Jambi. Desa Guguk merupakan desa tua yang sudah berdiri sejak sebelum kedatangan Belanda ke Indonesia. Menurut keterangan para tetua adat nenek moyang mereka berasal dari Mataram dan Minang Kabau. Awalnya perkampungan berada di selatan Batang Merangin yang disebut Pelangai Panjang. Disinilah berdiri pemukiman yang terdiri dari gubuk-gubuk yang disebut dengan Guguk.
Pada waktu itu Guguk merupakan pusat pemerintahan dari Marga Pembarap (artinya yang tua). Wilayah Marga Pembarap tersebut sekarang sudah terbagi menjadi 4 desa yaitu : Desa guguk, Desa Air batu, Desa Markeh dan Desa Parit. Sejak itu secara perlahan peran Pasirah/kepala adat yang berkedudukan di Guguk perlahan mulai meluntur. Tetapi di Guguk beberapa aturan yang masih berakar dapat bertahan sampai sekarang yaitu aturan adat tentang pengelolaan hutan. Aturan-aturan adat inilah yang membuat Guguk berbeda dengan desa lainnya. Guguk memiliki hutan adat yang memiliki beragam keanekaragaman flora dan fauna yang langka.
Hutan adat Guguk seluas 690 hektar, adalah pilihan tepat untuk liburan bernuansa alam yang kamu impikan. Untuk sampai ke hutan ini, melakukan perjalanan darat memakan waktu sekitar lima jam dari ibukota Provinsi Jambi menuju ibu kota Kabupaten (Bangko) sejauh 30 kilo meter atau dapat ditempuh selama 30-45 menit. Setibanya di pinggir desa, kita akan melakukan perjalanan kaki dengan melewati jembatan gantung ke tepi Hutan Adat Guguk.Udara segar akan langsung memenuhi kantung paru-parumu, sesaat menginjakkan kaki di tepi hutan adat ini. Ratusan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, bagaikan kanopi yang melindungi perjalanan kita menyusuri setiap jengkal demi jengkal Hutan Adat Guguk.
Perjalanan yang dilalui melalui jalan setapak dengan zona bervariasi, mulai dari landai, terjal hingga mengantarkan kita ke puncak hutan adat ini atau disebut dengan Bukit Tepanggang. Dari Bukit Tepanggang ini, kita dapat menikmati pemandangan yang sangat asri. Mulai dari pemukiman masyarakat, hingga vegetasi hutan yang tertutup rapat membuat mata takjub. Bagi kamu yang tertarik dengan pengamatan satwa liar, hutan ini merupakan surga untuk memuaskan keinginan itu. Selain itu, di sini juga lokasi yang tepat mengasah kemampuan fotografi yang kamu miliki. Dari survei yang dilakukan diketahui oleh tim Warsi dan Masyarakat guguk diketahui bahwa Hutan Adat guguk memiliki kekayaan sebanyak 89 jenis burung,37 Jenis diantarnya dilindungi seperti Rangkong Gading ( Baceros vigil), Kuau Raja (Argusianus argus) dsb. 22 Jenis Mamalia Yang dilindungi seperti Tapir (Tapirus indikus), Beruang (Helarctos malayanus) dsb. Dari survei tersebut juga diketahui terdapat 84 jenis kayu. Beberapa jenis kayu seperti Meranti ,Balam, Marsawa dsb mempunyai diameter diatas 55 cm.
Menjelang senja, kita akan melintasi jalan setapak menuju sisi lain pesona wisata alam hutan adat guguk ini. Gemericik air dan sungai yang dipenuhi batu-batu besar sungguh sore yang menyegarkan.Yap, kita sudah tiba di Muara Sungai Betung. Mandi di air sungai yang bening, layaknya membantu menghilangkan kepenatan setelah berjalan seharian. Tentu saja bukan sekedar sejuknya air, ada yang lebih special di sungai ini. Sungai ini memiliki ikan khas yang dikenal dengan nama ikan semah. Ikan di sungai ini biasanya diambil dengan menjala atau memancing. Dua teknik ini mungkin terdengar biasa saja, namun pernahkah kalian membayangkan berburu ikan dengan cara menembak. Yang pasti senjata yang digunakan bukan senapan yang berisi mesiu, tapi hanyalah sebuah kayu yang ujungnya diberi besi runcing. Untuk melepaskan besi runcing tersebut biasanya menggunakan karet ban bekas sebagai pelatuk. Cara menembak, atau menumbak bahasa lokal penduduk setempat adalah dengan menyelam. Penembak ikan harus menyelam ke bawah batu-batu dasar sungai. Waktu yang tepat menumbak ikan adalah malam hari, ayo siapa yang mau menyelam di malam hari berburu ikan semah?
Jangan ragukan lagi soal rasanya, ikan semah memiliki kelezatan yang membuat siapa saja tak ragu menyantapnya. Cukup dibubuhi garam dan dibakar, ikan semah adalah menu makan malam yang luar biasa. Makan merawang, demikian istilah lokal untuk makan bersama menggunakan daun pisang berjejer bersama dengan anggota tim penjelajah lainnya. Tapi kita harus sedikit hati-hati memakan ikan ini, karena diantara gurih dagingnya terselip duri-duri ikan yang cukup merepotkan.
Jika mau beranjak sedikit saja dari Sungai Betung, kita akan melihat pemandangan lain yang tak kalah menarik. Apalagi kalau bukan air terjun Sungai Betung. Yang unik dari air terjun ini, napal melingkupi dasar dan pinggir sekitar air terjun. Kalian pasti bisa membayangkan betapa jernihnya air yang mengalir di atas napal bertabur batu alam laksana kolam renang buatan.
Kita bisa membuat tenda bermalam di tepi Sungai Betung ini. Melewati malam ditemani purnama berada di pinggir sungai dan bercengkerama menghayati pesona alam yang memakau. Membuat malam terasa amat singkat, dan disambut pagi dengan kicauan burung membangunkan kita dari mimpi tentang keindahan alam yang mempesona.
Perjalanan kita tampaknya akan berakhir pagi ini. Tapi ada satu kesempatan lagi yang akan memicu adrenalin sebagai penutup sempurnanya perjalanan. Perjalanan pulang akan melewati sungai dengan menggunakan rakit bambu. Arus Sungai Nilo yang cukup deras akan kita telusuri mengantarkan kita ke Batang Merangin. Pak Anshori, anggota kelompok pengelola hutan adat yang kali inni menemani perjalanan kami menyusuri rangkaian keindahan hutan adat guguk. Lelaki berusia sekitar empat puluh tahun ini, telah terbiasa bertindak sebagai guide lokal bagi para tamu yang berkunjung.
Bahkan menurutnya, kelompok pengelola hutan adat guguk, membuat beberapa paket wisata. “Ada tiga paket yang kita tawarkan, yaitu Paket 1 makan merawang, selama 2 hari 1 malam, paket 2 Ngalau Kambing hutan selama 3 hari 2 malam, dan paket 3 halaman Kuawaw selama 2 hari 1 malam,” jelasnya.
Untuk info lebih lanjut kamu bisa klik link ini http://www.hutanadatguguk.com/2013/04/paket-wisata-hutan-adat-guguk_13.html
Beruntung lagi, perjalanan yang kamu lakukan bertepatan dengan musim buah. Karena, pada musim buah, Desa Guguk juga menghasilkan beberapa jenis buah seperti durian, manggis, Bedaro (semacam buah kelengkeng dengan ukuran lebih kecil) dan Duku. Bermacam buah lokal ini akan menjadi buah tangan untuk dibawa pulang.Sangat baik, jika kamu bisa datang ke sini saat tradisi makan jantung diselenggarakan. Tetiaradisi makan jantung digelar setiap tanggal 2 Syawal (hari kedua Idul Fitri) setiap tahunnya. Acara ini merupakan pewarisan budaya dari generasi tua ke generasi muda. Pada kesempatan ini, para tengganai adat akan membacakan kembali Piagam Lantak Sepadan, yang merupakan dasar pengelolaan sumber daya alam di Desa Guguk. Ritual ini ditandai dengan ritual pemotongan kerbau dan makan bersama daging kerbau.
Selain mengelola hutan adat, masyarakat desa Guguk juga memiliki lubuk larangan. Lubuk larangan merupakan merupakan bentuk perlindungan masyarakat terhadap ekosistem air, dengan prosesi panen lubuk larangan setahun sekali.
Hutan Adat, Harapan yang Tersisa
Jambi terkenal karena hutannya. Hal ini tidak dapat dipungkiri, sebagian besar wilayah provinsi Jambi sebagaimana tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah 1994, disebutkan kawasan hutan di Jambi masih melebihi angka 40 persen. Tapi kini, hutan Jambi menghilang secara cepat, seiring dengan aksi-aksi destructive logging yang terjadi di Jambi. Berdasarkan kajian analisis peta citra satelit yang dilakukan KKI Warsi 1990-2000, tutupan hutan di Jambi dalam jangka 10 tahun hilang 1 juta hektar. Sampai 2005 tutupan hutan di Jambi tinggal 1,2 juta hektar saja.
Hilangnya hutan di Jambi dipicu oleh hadirnya HPH yang dibarengi dengan aksi illegal logging, serta konversi lahan menjadi perkebunan. Pemberian izin HPH oleh pemerintah pusat tidak jarang juga menyebabkan hak-hak masyarakat adat tercabik-cabik. Seperti yang pernah dirasakan oleh masyarakat Desa Guguk Kecamatan Ranah Pembarap Kabupaten Merangin Provinsi Jambi.
Berawal dari sinilah, Desa Guguk yang selama ini mengelola sumber daya alam yang ada di daerah mereka berdasarkan piagam Lantak Sepadan. Namun ketenangan mereka, tiba-tiba terusik dengan kehadiran HPH PT Injabsin sekitar akhir tahun 1990-an. Sebagian kawasan hutan yang dijaga kelestariannya oleh masyarakat untuk diwariskan ke anak cucu, dicaplok dan masuk ke wilayah kerja HPH.
Dari sinilah timbul perlawanan dari masyarakat. Masyarakat meminta supaya perusahaan mengembalikan wilayah hutan yang berada di desa mereka menjadi milik masyarakat dan keluar dari HPH. Perjuangan ini tidaklah mudah. Perusahaan bersikukuh kalau mereka telah mengantongi izin, sementara masyarakat berkeyakinan kawasan kerja Injabsin telah melanggar batas wilayah yang termuat di dalam Piagam Lantak Sepadan dan juga dikuatkan dengan adanya peta wilayah Marga Pembarap yang dibuat pada zaman penjajahan Belanda.PT Injabsin terus bergerak mengambil kayu dalam jumlah besar, masyarakat semakin merasa terkibiri dengan keadaan itu. Masyarakat juga mulai cemas jika hutan mereka terus diambil kayunya oleh perusahaan, bagaimana nasib anak cucu mereka nanti, bagaimana anak cucu mereka memenuhi kebutuhan kayu untuk perumahan atau juga di lahan mana mereka akan berladang dan berkebun.Berdasarkan kondisi tersebut dan melihat masih adanya hutan sisa yang dekat dengan lokasi pemukiman dan belum diekploitasi oleh perusahan, membuat beberapa tokoh masyarakat mempunyai pemikiran untuk menyelamatkannya. KKI Warsi sebagai NGO yang peduli dengan penyelamatan lingkungan melakukan serangkaian advokasi dan menjembatani masyarakat untuk pertemuan-pertemun dengan aparatur pemerintahan untuk mengembalikan hak masyarakat Desa Guguk. Gagasan-gagasan masyarakat kemudian difasilitasi dan diwujudkan. Pada rapat tanggal 15 Februari 1999, disepakati bahwa hutan tersisa di daerah Bukit Tapanggang sebagai calon Hutan Adat Desa yang akan dikelola secara bijaksana untuk dijadikan penyangga kehidupan mereka saat ini dan untuk anak cucu mereka nanti.Serangkaian kegiatan dilakukan untuk mengadvokasi kembalinya hak masyarakat, diantaranya adalah merebut areal hutan Guguk dari HPH PT. Injapsin, penyelesaian tata batas hutan adat. Selanjutnya didorong adanya pengakuan hukum dari pemerintah daerah terhadap kawasan hutan adat tersebut. Melalui perjalanan panjang dan melelahkan akhirnya Bupati Merangin melalui SK Nomor 287 Tahun 2003 tentang pengukuhan kawasan Bukit Tapanggang sebagai hutan adat masyarakat hukum adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin pada 2 Juni 2003 lalu.
Dikukuhkannya hutan adat Desa Guguk bukan berarti perjuangan berakhir. Untuk mengelola Hutan Adat Desa Guguk juga dibutuhkan adanya kelembagaan dan aturan pengelolaan. KKI Warsi bersama masyarakat secara musyawarah dan demokratis telah membentuk Kelompok Pengelola Hutan Adat yang dikukuhkan oleh pemerintah desa. KKI Warsi juga mendampingi masyarakat untuk pengaturan pengelolaan dibuat payung hukum lokal berupa Peraturan Desa tentang hutan adat, kebun kas desa, pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat. Dalam pemanfaatan hasil hutan baik kayu maupun non kayu masyarakat mempunyai aturan yang telah disepakati bersama. Pengambilan kayu dikawasan hutan adat hanya boleh untuk kepentingan umum seperti membangun rumah ibadah, sekolah dan yang bersifat untuk kepentingan publik. Sedangkan untuk kepentingan pribadi hanya diperbolehkan dengan syarat harus mendapatkan izin dari kepala desa melalui kelompok pengelola hutan adat. Pelanggaran terhadap ketentuan yang telah ditetapkan itu, akan dikenakan sanksi yang cukup berat. Baca juga http://readersblog.wpengine.com/rb/2013/06/19/buah-manis-penjaga-hutan/
Untuk menjaga penerapan aturan yang telah dibuat, kelompok pengelola secara rutin melakukan pengecekan dengan berkeliling hutan adat, disamping itu masyarakat juga aktif terlibat dengan secara cepat memberikan laporan kepada kelompok pengelola jika menemukan hal-hal yang mencurigakan atau ada indikasi kegiatan penebangan.
Cadangan karbon hutan adat
Sedari awal masyarakat menjaga hutannya tanpa berharap hutan itu akan bernilai financial. Namun kini ketika perdagangan karbon sudah mulai diperbincangkan dan Guguk yang memiliki kearifan local dalam menjaga hutannya, juga mulai tertarik untuk terlibat langsung dalam perdagangan karbon. Langkah awal yang dilakukan adalah peningkatan kapasitas Warga untuk bisa menghitung karbon cadangan karbon yang terdapat di hutan adat. Dengan difasilitasi KKI warsi dan ICRAF, masyarakat Guguk kini sudah mulai memahami cara penghitungan cadangan karbon yang terdapat di hutan adat mereka. Dengan kemampuan ini, nantinya masyarakat Guguk bisa langsung bernegosiasi dengan para pembeli karbon.Dari penghitungan dengan metoda RaCSA (Rapid Carbon Stock Assessment) atau Kaji Cepat Cadangan Karbon. Dari studi yang dilakukan diketahui cadangan karbon hutan adat guguk sebesar 261,25 ton /ha. Jika karbon ini dijual dengan asumsi perton karbon 10 USD dengan luas hutan adat guguk 690 ha, maka pertahun bisa menghasilkan 1,8 juta USD, jika dirupiahkan dengan kurs Rp 11,000, maka hutan adat Guguk akan menghasilkan Rp 19,8 milyar.
All Foto : By Heriyadi Asyari/KKI Warsi
Referensi
http://www.mongabay.co.id/2013/07/05/menanti-langkah-nyata-sby-untuk-pengakuan-hutan-adat/
http://www.mongabay.co.id/2012/06/15/indonesia-mengelola-hutan-mengelola-aset-berharga/
http://www.mongabay.co.id/2012/06/01/hak-masyarakat-asli-dipahami-negara-namun-tetap-diabaikan/