Hardi Baktiantoro, Executive Director of the Centre for Orangutan Protection.
Pastinya, ini akan bertabrakan dengan kewenangan Kementerian Kehutanan, terutama jika isunya dikaitkan dengan hewan liar. Agar tidak bertabrakan, perlu kejelasan wewenang dan tanggung jawab. Maraknya pembentukan beragam Komisi Nasional menunjukkan tidak berjalannya birokrasi yang sudah ada. Munculnya wacana ini tidak terlepas dari buruknya kinerja Kementerian Kehutanan selaku otoritas hewan liar di Indonesia. Jadi memang mesti ada kebijakan alternatif untuk menjawab persoalan. Pertanyaaanya, apakah harus membentuk Komisi Nasional?
Dalam dunia hewan, sudah jelas dan terang bahwa Indonesia masih bisa dikategorikan biadab. Mahatma Gandhi, Bapak Bangsa India menyatakan bahwa “kemajuan moral suatu bangsa dapat dinilai bagaimana bangsa itu memperlakukan hewannya. Pencetus petisi pembentukan Komnas Perlindungan Hewan telah memaparkan beberapa alasan, diantaranya: pembantaian orangutan di Kalimantan dan gajah di Aceh serta kondisi Kebun Binatang Surabaya.
Saya menilai, kondisi hewan liar di Indonesia sudah gawat, sementara itu, Kementerian Kehutanan justru disibukkan dengan beragam seremonial untuk menutupi masalah sebenarnya. Misalnya: gerakan tanam semilyar pohon. Ini tidak ada artinya jika kawasan – kawasan berhutan yang menjadi habitat satwa liar terus diobral ke perusahaan – perusahaan kelapa sawit untuk dibabat. Nota – Nota Kesepahaman untuk perlindungan satwa liar dengan perusahaan – perusahaan yang memiliki rekam jejak buruk terus dilakukan. Terlihat baik tapi dampaknya buruk sekali di lapangan. Legal but wrong. Para petugas jujur di garis depan tidak akan berani menegakkan aturan.
Ada aturan tak tertulis dalam dunia manajemen, baik buruknya sebuah organisasi tergantung bos. Jokowi dan Ahok membuktikan bahwa Jakarta yang sudah ruwet sejak dulu, satu persatu mulai terurai masalahnya. Mereka fokus kerja, menyelesaikan masalah. Di tangan Dahlan Iskan, satu persatu perusahaan milik negara kita mulai menguntungkan. Sudah tidak jamannya BUMN merugi dan jadi sapi perahan pejabat dan anggota parlemen yang korup. Jokowi – Ahok dan Dahlan Iskan tidak bekerja sendiri. Mereka pintar mengelola sumber daya manusia yang ada.
Saya bekerja di dunia perlindungan hewan liar sejak tahun 1996. Mengenal betul Kementerian Kehutanan. Banyak dan banyak sekali orang pintar dan baik, yang mestinya bisa bekerja profesional. Kementerian Kehutanan memasuki masa terbaik sewaktu Menterinya Jamaludin Suryohadikusumo, salah satu pendiri Yayasan BOS. Saya mengenal beliau sebagai seseorang yang ahli di bidangnya dan punya passion. Beda sekali dengan Menteri – Menteri sekarang yang dapat jabatan karena memenangkan lotre politik. Merembet ke bawah, jika anak buahnya salah mengambil keberpihakan politik, maka karirnya bisa tamat.
Komnas baru, meskipun semangatnya mulia, bisa saja dengan mudah terseret ke pusaran budaya pemborosan dan korupsi. Yang punya ide awal tersingkir oleh para politikus baru yang lebih pintar bicara, yang tidak jelas rekam jejaknya di dunia perlindungan hewan. Komnas baru membutuhkan kantor, mobil, pegawai dan semua itu butuh uang. Saya tidak ingin uang pajak saya dipakai untuk membayar orang – orang yang berebut mobil Toyota Camry seperti di Komnas lainnya, yang belum jelas kerja dan prestasinya.
Kesimpulan akhirnya, ganti Menteri Kehutanan. Cari yang bisa kerja dan punya passion ke hewan liar. Saya yakin, para staff Kementerian Kehutanan dan mitra kerjanya akan kembali bersemangat karena didukung oleh atasan dan system yang sehat.