Ini adalah Bukit Jlegongan di Dusun Jlegongan, perbatasan Seyegan dan Minggir, Sleman, Yogyakarta. Bukit ini mengandung tanah liat. Di atas bukit, terdapat hutan yang masih ada habitat burung Elang Jawanya.
Karena ada kandungan tanah liatnya, bukit ini dikeruk untuk bahan genteng dan bata. Sebelum ada pick-up, orang mengangkut tanah dengan gerobak sapi.
Untuk mengisi satu pick-up penuh, tukang keruk tanah diupah Rp.20.000,00. Upah itu tidak sebanding dengan bahaya yang dihadapi tukang keruk tanah.
Sawah ini dulunya juga bukit, tapi terkeruk habis untuk bahan bangunan. Kalau bukit Jlegongan rata tanah, bagaimana dengan burung elang yang ada?
Inilah cetakan genteng SOKKA JGN. Tulisan di belakang genteng adalah ciri khas tiap pabrik genteng. SOKKA JGN milik Pak Suparman. JGN artinya Jlegongan, nama desa pabrik genteng tersebut.
Alat cetak genteng ini sudah berumur 23 tahun, lho! Duapuluh tiga tahun lalu harganya masih 400 ribu rupiah. Sekarang sudah mencapai 2 juta.
Sehari Pak Suparman bisa mencetak 150-200 buah genteng. Sebelum ada mesin pres, Pak Suparman hanya bisa membuat kurang dari 100 genteng per hari. Setelah genteng dicetak, lalu didiamkan selama 2 hari.
Setelah 2 hari, pinggir genteng yang tidak rata dikerik. Inilah tugas Bu Suparman.
Setelah dikerik, genteng dijemur. Simbah ini membantu suami istri Suparman menjemurkan genteng mereka.
Genteng-genteng ini sedang dibakar matahari sebelum dibakar di tungku.
Bu Suparman sedang menyusun genteng kering untuk dimasukan ke tungku pembakaran. Anak-anak ini bukanlah anak atau cucunya. Mereka anak-anak yang dititipkan orang tuanya. Asyik, ya, kalau dititipkan di pabrik genteng karena bisa ambil tanah liat yang terbuang untuk dibuat mainan.
Ini rumah pembakaran genteng. Sekali bakar bisa memuat 5000 genteng. Jika bukitnya habis, apakah rumah pembakaran itu masih bisa berasap?
Ign.Satrio K