Mungkinkah Sertifikasi Udang dapat Mendorong Pelestarian Lingkungan?

Siaran Pers. BOGOR (27 Januari 2014). Industri budidaya udang di pertambakan sering dihadapkan pada berbagai permasalahan lingkungan dan social ekonomi, diantaranya : kualitas air, penyakit, isu (konflik) sosial antara perusahan dengan pekerja yang akhirnya menyebabkan terhentinya produksi, hingga isu pemenuhan tuntutan pasar akan jaminan mutu, keamanan pangan dan keterlacakan (traceability).

Berbagai permasalahan tersebut, ditambah dengan kepedulian konsumen yang semakin meningkat akan pelestarian lingkungan, menyebabkan negara pengimpor udang terutama Eropa, Amerika dan Jepang menambahkan kriteria pelestarian lingkungan dan aspek sosial sebagai syarat produk udang untuk dibeli. Kesemua kriteria tersebut dituangkan dalam bentuk sertifikasi.

Kriteria yang disyaratkan pembeli udang internasional tersebut harus diperhatikan oleh produsen, mengingat tingginya nilai ekonomis ekspor udang. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan pada semester 1 tahun 2013, udang menyumbang nilai ekspor US$ 723,6 juta atau sebesar 36,7 % dari total nilai ekspor dari sektor perikanan dan kelautan.

Tentunya Indonesia tidak mau kehilangan peluang tersebut karena direbut oleh Negara produsen udang lainnya yaitu Cina, Thailand dan Vietnam, walaupun saat ini Thailand, Malaysia dan Vietnam sedang bermasalah dengan wabah penyakitEarly Mortality Syndrome(EMS).

FAO juga telah memberikan himbauan agar sertifikasi perikanan budidaya minimal mensyaratkan tentang kesehatan dan kesejahteraan hewan, keamanan pangan, kelestarian lingkungan dan aspek sosial. Saat ini banyak bentuk sertifikasi udang, baik yang dibuat langsung oleh pembeli (retailer) misalnya sertifikat dariBritish Retailers Consortium(BRC) danCarrefour Quality Line (CQL), juga sertifikasi udang yang dibakukan oleh produsen, misalnya Indonesia dengan standar CBIB (Cara Budidaya Ikan yang Baik) yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta sertifikat udang internasionalyang umumnya dimiliki petambak Indonesia yaituGlobalGAP (dulu bernama Euro GAP) yang umumnya disyaratkan oleh negara-negara Uni Eropa danAquaculture Certification Council(ACC) oleh negara-negara Amerika. Tidak jarang setiap petambak memiliki lebih dari satu sertifikat udang karena setiap pembeli pada umumnya mensyaratkan sertifikat yang berbeda pula.

Sertifikasi hadir sebagai salah satu bentuk hasil edukasi pasar oleh penggiat lingkungan dan perlindungan sosial atas kekhawatiran akan isu sosial dan lingkungan melalui mekanisme “labeling”. Namun demikian, terdapat pandangan-pandangan yang berbeda akan keberadaan sertifikasi udang, menyangkut isu ekslusivitas terhadap petambak kecil, dampak terhadap ekosistem dan kehidupan masyarakat di sekitar area pertambakan.

Udang windu. Foto: IPB

 

Nyoman Suryadiputra, Direktur Wetlands International Indonesia Program (WIIP) menyatakan bahwa “penerapan sertifikasi internasional terhadap proses produksi udang agaknya hanya relevant atau dapat dicapai/dipenuhi oleh petambak skala besar yang berkomitment terhadap berbagai aspek lingkungan, pengelolaan limbah dan pencatatan berbagai bahan-bahan kimia, pakan dan pupuk yang digunakan, termasuk pelaksanaan study AMDAL. Padahal sebagian besar petambak Indonesia adalah petambak kecil/ tradisional yang memiliki modal terbatas dan dengan skala usaha relative sangat kecil, sehingga perlu suatu langkah inovatif dari berbagai pihak untuk menjembatani kesenjangan pencapaian standar tersebut

WIIP menekankan agar sertifikasi (khusunya yang menambahkan aspek lingkungan) tidak dilihat dari keuntungan jangka pendek semata, misalnya “janji harga premium”, tapi mari kita lihat keuntungan penerapan sertifikasi dalam jangka panjang baik untuk lingkungan, keberlanjutan usaha dan resiliensi terhadap dampak perubahan iklim.

Beberapa sertifikasi yang telah menambahkan aspek pelestarian lingkungan memasukkan pelestarian mangrove sebagai kriteria dengan mensyaratkan aktivitas pertambakan tidak dilakukan pada area konservasi, merehabilitasi 50% luasan lahan basah alami (misal mangrove) yang telah terlanjur dikonversi untuk ditanami kembali dengan vegetasi asli /mangrove, termasuk juga pelestarian sabuk hijau yang memang juga diatur dalam peraturan perundangan Indonesia, sehingga sertifikasi juga turut mendorong kepatuhan pengusaha/petambak terhadap peraturan pemerintah Indonesia.

Manfaat keberadaan sabuk hijau di area pertambakan, baik sebagai sempadan pantai maupun sempadan sungai dapat berkontribusi dalam penyerapan karbon dan memberikan fungsi perlindungan dari dampak kenaikan muka laut. Terkait hal di atas, para pihak diharapkan dapat memberikan masukan-masukan secara aktif dalam penyusunan suatu standar untuk memperbaiki lingkungan, meminimalisir dampak lingkungan dan sosial guna menuju produksi udang yang sehat dan berkelanjutan.

Kontak untuk wawancara: Ita Sualia, Wetlands Management Officer (Email:itasualia[at]wetlands.or.id,Mobile+6281310914205)

Permintaan foto dan video: Leoni Rahmawati, Communication and Media Spesialist (Email:leonirahmawati[at]gmail.com,Mobile+6282124382000)

Catatan Editor:

1.Wetlands International Indonesia Programme merupakan jaringan dari Wetlands International, LSM nirlaba global yang bergerak di bidang konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem lahan basah baik yang berada di pesisir maupun teresterial. Sasaran yang ingin dicapai melalui restorasi dan pemanfaatan secara bijaksana ekosistem lahan basah adalah meningkatkan kesejahteraan manusia dan mata pencaharian masyarakat, konservasi keanekaragaman hayati, mempertahankan siklus air dan memitigasi dan mengurangi dampak perubahan iklim.

2.Sejak pertengahan 2013, Global GAP, ACC dan ASC tergabung dalam satu mekanisme sertifikasi bersama. Negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN, berinisiasi menyamakan standar udang bagi negara-negara anggota ASEAN. ASEANShrimpGAPmerupakan mekanisme standard yang sukarela. Setiap negara anggota ASEAN didorong untuk mengembangkan dan mengoperasikan pertambakan mengacu pada standard ini. Review regional akan dilakukan setiap tahun untuk memberikan rekomendasi teknis untuk memperbaiki implementasi. Kedepan, semua negara anggota ASEAN akan menyelaraskan standar udang nasional dengan ASEAN Shrimp GAP, sehingga dapat memastikan konsumen bahwa udang yang diproduksi negara Anggota ASEAN memiliki kualitas yang baik, aman dikonsumsi ramahlingkungan dan sosial.

 

Artikel yang diterbitkan oleh