Oleh : Destya Maya Putri
Elaeis guineensis alias kelapa sawit merupakan tumbuhan industri yang dapat menghasilkan banyak jenis produk pangan maupun dalam bentuk lainnya. Jenis palma berakar serabut ini menjanjikan banyak keuntungan dan pada akhirnya banyak pihak yang mengkonversikan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Indonesia merupakan negara penghasil minyak sawit terbesar didunia, industri minyak terbesar Indonesia berada di provinsi Riau. Suatu potensi yang membanggakan bila dilihat dari kekayaan yang dimiliki. Provinsi ini juga merupakan roda perekonomian Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) Riau mencatat, jumlah lahan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2012 mencapai 2.372.402 hektare atau seperempat dari luas wilayah Riau. Jumlah tersebut mungkin telah bertambah pada 2014 (Liputan6.com). data ini mengungkapkan bahwa dibalik kebanggaan itu sendiri terdapat kekhawatiran yang semakin terkuak. Rencana ekspansi tersebut akan terus ditingkatkan hingga 28 juta hektar pada tahun 2020. Semakin besar lahan yang diperlukan, maka lingkungan di provinsi Riau akan semakin terancam.
Gelar penghasil minyak sawit terbesar itulah mungkin yang menjadi motivasi bagi pengusaha untuk tetap melakukan perluasan lahan perkebunan sawit. Lebih dari 50 persen perkebunan sawit dimiliki oleh perusahaan besar. Ancaman deforestasi pun tidak hanya menjadi rumor belaka. Semakin hari, hutan dan keanekaragaman hayati didalamnya berangsur punah. Pembakaran hutan terus dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Izin yang diberikan kepada perusahaan yang kebanyakan perusahaan asing ini nampaknya dimanfaatkan secara berlebihan. Izin membuka perkebunan dalam skala besar kemudian dilaksanakan benar-benar besar. Potensi alam Riau yang masih tergolong beraneka ragam pun berubah menjadi homogen. Dari hutan menjadi ‘taman’ sawit.
Hal ini jelas membutuhkan tindak lanjut yang tegas, mengingat dampaknya tidak hanya terasa pada penyusutan hutan tetapi juga dampak perluasan lahan dengan pembakaran seperti kabut asap yang belum lama ini telah melanda Riau. Sedangkan secara ekologi, perkebunan kelapa sawit juga memiliki dampak seperti homogenitas tanaman. Tidak adanya keanekaragaman hayati menimbulkan menurunnya kualitas unsur hara pada lahan.
Kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit cukup besar. Dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter (hasil peneliti lingkungan dari Universitas Riau) T. Ariful Amri MSc Pekanbaru/ Riau Online).Hal ini dapat memicu kekeringan yang terjadi pada musim kemarau. Cadangan air tanah yang tersimpan diserap oleh akar tanaman sawit. Belum lagi efek deforestasi yang dapat mengakibatkan berkurangnya kapabilitas pepohonan dalam menyerap karbon.
Seperti yang dapat diketahui dari bencana asap baru-baru ini, dalam aspek pencemaran udara, menunjukkan fakta betapa dampak yang ditimbulkan merugikan bagi kesehatan. Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) saat itu terus meningkat hingga kepada tingkat berbahaya. Keadaan ini membuat aktivitas pendidikan di provinsi Riau dihentikan untuk sementara. Mau tidak mau kebanyakan masyarakat tidak punya pilihan selain tetap menetap pada keadaan tersebut dan melakukan upaya semaksimal mungkin untuk menjaga kesehatan tubuh dari berbagai penyakit yang dapat menyerang pernapasan. Meski kebanyakan pembakaran lahan bertujuan untuk membuka lahan baru tetapi kebakaran yang termasuk kedalam kategori Kejadian Luar Biasa itu menjadi sebuah pelajaran bahwa mereka juga mendapatkan dampaknya. Kerugian dari sektor sawit juga dirasakan saat kabut asap melanda.
Permasalahan deforestasi untuk pembukaan lahan kelapa sawit bukanlah hal baru yang terjadi di Indonesia, sudah bertahun-tahun Indonesia menghadapi permasalahan ini. Semakin lama, hal ini menjadi ancaman utama. Alih-alih terselesaikan, persoalan pun ternyata semakin runyam. Dibuktikan dengan pembakaran lahan yang menjadi faktor terjadinya kabut asap pada tahun 2014 malah menjadi bencana terparah sepanjang sejarah. Dalam 20 tahun, lebih dari 12 juta hektar hutan di Sumatera terdegradasi. Hal ini menjadikan Sumatera sebagai pulau yang mengalami deforestasi hutan tercepat di dunia.
Oknum yang terlibat pun ‘itu-itu’ saja. Pembakaran tersebut dilakukan oleh perusahaan yang memang merupakan perusahaan yang lama berkecimpung di ranah plantation. Namun sepertinya track record perusahaan yang panjang tidak menjamin perusahaan tersebut semakin menyadari penerapan UU No. 12 tahun 1992 tentang perkebunan yang menegaskan bahwa sistem perkebunan harus didasarkan pada pemanfaatan berkelanjutan dan mencegah kerusakan. Belum lagi industri pengolah minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dinilai tidak memberikan pendapatan bagi pemerintah daerah. Para gubernur di Sumatra berencana melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar daerah mendapatkan pembagian yang jelas dari hasil penjualan minyak mentah kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO). Persentase lahan yang digunakan untuk lahan perkebunan dengan pendapatan yang tidak sesuai mendorong mereka untuk menggugat UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Tetapi tentu saja bukan berarti bahwa kelapa sawit harus disingkirkan dari komoditas ekspor atau dari aspek ekonomi. Karena masyarakat juga menggantungkan perekonomian mereka pada perkebunan sawit. Sudah seharusnya izin perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) kembali dievaluasi.
Selain faktor lingkungan yang menghampiri, konflik vertikal dan horizontal yang disebabkan ekspansi lahan juga perlu diperhatikan. Meski kelapa sawit menjadi komoditas primadona, masih banyak pihak-pihak yang belum tersentuh dengan kekayaan yang diperoleh dari tanaman ini. Sebut saja masyarakat adat yang notabene lingkungan sekitarnya saat ini sudah diterkam perlahan untuk perluasan HTI. Masyarakat adat semakin tersudut dan kehilangan pegangan.
Hutan yang turun temurun diwariskan oleh leluhur perlahan menjadi lahan kepentingan perusahaan. Pengambilan lahan terus saja dilakukan. Padahal jika masyarakat adat dipercaya, diakui dan dilindungi haknya oleh pemerintah maka sesungguhnya masyarakat adat merupakan pahlawan yang terbaik bagi kelestarian alam Indonesia. Kesadaran terhadap wilayah adat merupakan sebuah gaya hidup baik yang dimiliki oleh masyarakat adat. Kesadaran ini memberikan banyak manfaat. Mereka mempunyai cara yang arif untuk berbagi kekayaan alam kepada generasi mereka selanjutnya.
Sesungguhnya penggunaan lahan bagi perkebunan masih bisa dipilah-pilih. Tanpa mengusik wilayah hutan adat yang masih menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat daerah dan masyarakat adat itu sendiri. Perluasan lahan dapat dilakukan pada lahan terlantar atau tergradasi.
Ini merupakan tugas besar kita sebagai warga Negara Indonesia, kita perlu melakukan upaya agar deforestasi akibat perluasan lahan besar-besaran bisa segera diatasi. Upaya dari masyarakat dan pemerintah harus bersinergi. Menyadari nilai-nilai moral ekologis, bertindak tegas dengan peraturan, sigap dalam penyelidikan oknum pembakaran lahan yang dilakukan oleh perusahaan besar. Tidak hanya itu, masyarakat yang memiliki perkebunan hendaknya mendapatkan sosialisasi lebih lanjut tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Keberadaan kebijakan moratorium hutan, yaitu penghentian perizinan penebangan hutan juga menjadi salah satu upaya pemerintah yang mencerminkan jalan keluar yang harus diapresiasi secara positif.
Penyelamatan hutan Indonesia bukan hanya menjadi tugas Negara Indonesia tetapi juga dunia agar dapat mengurangi dampak perubahan iklim. Maka sepatutnya kita sebagai warga Negara yang bersangkutan lah yang harus turun tangan terlebih dahulu dalam mengatasinya. Kemauan yang kuat akan menjadi kunci utama terwujudnya harapan ini. Bayangkan jika saat ini kita dapat melindungi hutan, maka generasi kita selanjutnya tentu masih bisa dijamin kemakmurannya.
email : [email protected]
twitter : @destya_dz
Penulis merupakan Mahasiswi
Universitas Riau Pekanbaru
Referensi : http://www.mongabay.co.id/2014/02/12/musnahkan-hutan-riau-demi-kelapa-sawit-malaysia-dituntut-minta-maaf/