#KompetisiPenulisan Rentetan Dampak Ulah Pemimpin yang Abai Lingkungan

 

Tahun 2014 bisa disebut tahun politik, karena masyarakat Indonesia akan memberikan suaranya untuk memilih pemimpinnya, baik di kursi legislatif maupun kepresidenan. 9 April lalu, seluruh masyarakat Indonesia bertaruh dalam memilih calon anggota legislatif (caleg) sebagai salah satu trias politica yang ikut serta menjalankan pemerintahan Indonesia. Masyarakat mempertaruhkan harapan pada mereka baik dari persoalan politik, sosial, ekonomi, hukum, maupun lingkungan.

Pada pemilihan tahun ini, cukup menarik kiranya jika membahas persoalan lingkungan dari ranah pemilihan caleg. Menurut Pendiri Yayasan Perspektif Baru, Wimar Witoelar, peran masyarakat dalam mencegah bertambahnya pemanasan global, dapat dilakukan dengan memilih wakil rakyat dan pimpinan yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Seperti yang dilansir pada mongabay.co.id, LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional mencatat terdapat sekitar 93% caleg merupakan calon yang sebelumnya menjabat DPR RI, sedangkan sisanya adalah wajah baru. Namun ada yang mengagetkan menurut penuturan Abetnego Tarigan, Direktur Walhi Nasional mengatakan bahwa dari calon anggota legistatif tersebut, hanya sekitar 7% yang dinilai memiliki integritas, komitmen, kepemimpinan serta kompetensi yang mencukupi, termasuk memahami persoalan di bidang lingkungan hidup.

Cukup mengherankan bahwa wakil rakyat yang akan menjadi tumpuan masyarakat menyelesaikan masalah lingkungan, hanya 7% saja yang termasuk dalam kriteria paham lingkungan. Setelah diamati kembali, ternyata memang benar adanya. Lihat saja pra pemilihan caleg tersebut. Foto beserta program kerja yang berwujud janji mereka terpampang indah di pohon-pohon. Di Padang, Sumatera Barat (Sumbar) misalnya, hampir 500-an alat peraga kampanye yang bergelantungan di pohon seputaran kota pada Senin, 15 Maret lalu ditertibkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Padang. Hal ini tidak hanya terjadi di Padang saja, di beberapa kota lainnya juga terjadi hal demikian. Pasca pemilihan pada 9 April lalu pun keadaannya tidak jauh berbeda, mereka masih setia nangkring di sana. Bagi yang terpilih mungkin mempunyai kesadaran untuk mencabutnya, tetapi entahlah bagi yang kalah.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menyatakan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Dalam UU tersebut dijelaskan defenisi apa yang disebut perusakan lingkungan. Menurut Pasal 1 ayat 16 adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Melihat UUPLLH tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa perbuatan caleg-caleg yang menempelkan foto-fotonya pada pohon merupakan perbuatan yang dikatakan perusakkan lingkungan. Ini disebabkan oleh ulah manusia yang mempunyai integritas dan pengetahuan yang cukup tapi tidak mengenai lingkungan.

Sudah bukan rahasia lagi jika Indonesia memiliki keindahan alam tersendiri dan keanekaragaman yang berbeda dari masing-masing daerahnya. Tetapi hal tersebut kerap rusak dikarenakan oleh ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Salah satunya di Padang, kota ini tidak pernah absen mengantongi permasalahan lingkungan.

Ulah manusia yang tidak bertanggung jawab menjadi pelaku perusakkan lingkungan yang memberikan dampak yang buruk untuk semua orang. Seperti halnya fenomena pohon caleg, dari situ kita dapat menyimpulkan bahwa mereka mengabaikan lingkungan. Bagaimana jadinya jika mereka masih terpilih kembali sedangkan mereka masih belum sadar lingkungan?

Masih teringat oleh penulis pada 24 Juli 2012 lalu terjadi banjir besar yang merendam ratusan rumah dan sekitar 1.200 warga mengungsi yang terjadi pada lima kecamatan di Kota Padang. Walikota Padang yang kala itu masih Fauzi Bahar menyatakan sekitar 20% dari sekitar 12.000 hektar hutan di kota Padang mengalami kerusakan parah. Lagi-lagi hal ini disebabkan oleh pembalakan liar oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Material kayu dan lumpur yang dibawa banjir menjadi bukti dampak dari pembalakan liar tersebut. Hutan yang gundul juga menjadi pemicu longsor.

Beralih ke masalah pembalakan liar yang menyebabkan banjir, kerusakan lingkungan yang terjadi menurunkan daya tahan kota terhadap pencemaran udara. Padahal, pepohonan berperan dalam menyaring gas berbahaya seperti karbondioksida dan karbonmonoksida. Sehingga ketika sekitar sebulan yang lalu Kota Padang terkena imbas kabut asap dari Provinsi Riau, kapasitas pembersihan udara dari kontaminasi gas berbahaya pun menjadi rendah. Bahkan akibat lainnya masyarakat Kota Padang menjadi rentan terkena penyakit saluran pernapasan.

Pada kondisi tersebut, pemerintah terkesan lambat mengatasinya. Ada kemungkinan, pembakaran hutan tersebut terdapat kongkalikong dengan aparat pemerintahan. Cukup aneh, bagaimana mungkin hal tersebut bisa terjadi terus menerus dan bagaimana bisa aparat tersebut tidak mengetahuinya?

Sebelum itu banyak kasus-kasus yang terjadi, seperti yang ditemukan Walhi, Kepala Departemen Keorganisasian Walhi Pusat, Ahmad melalui jpnn.com mengatakan bahwa ada pembakaran lahan yang dilakukan oleh 7 warga. Setelah di usut, ternyata pembakaran tersebut untuk pembukaan lahan sebuah perusahaan besar. Tetapi mirisnya, malah masyarakat yang ditindak, sedangkan pengelola atau perusahaan yang menjadi otaknya terlepas dari pantauan hukum. Dilihat dari kenyataannya, pemerintah nampaknya setengah-setengah mengambil tindakan dan tidak memburu otak di balik perusakan tersebut. Alih-alih, masyarakat yang kena imbasnya.

Pencemaran pada udara yang dihirup manusia juga dirasakan oleh warga Kelurahan Banuaran, Kecamatan Lubuk Begalung. Namun, kali ini penyebabnya bukan karena pembakaran hutan, melainkan pencemaran udara akibat limbah pabrik. Daerah tersebut telah bertahun-tahun menerima limbah pabrik karett dan sejumlah warga yang menetap di sekitar pabrik harus menghirup bau busuk yang menyengat dari dua pabrik yang mengapit kelurahan.

Tidak hanya di Lubuk Begalung, warga Indarung juga memiliki nasib yang sama. Mereka terpaksa menghirup udara yang tidak bersih dari pabrik semen. Asap dan debunya merupakan limbah gas yang dikeluarkan pabrik ke lingkungan. Sebenarnya tidak menjadi soal jika pabrik berada di kawasan yang jauh dari pemukiman warga. Tetapi ini tidak, bahkan berada ditengah-tengah pemukiman walaupun tidak berada di pusat kota.

Ditambah lagi, pada kedua tempat tersebut, pepohonan juga semakin jarang ditemukan. Padahal pemerintah maupun perusahaan terkait dapat melakukan penghijauan area sekitar untuk mengurangi kontaminasi limbahnya. Masyarakat setempat juga terkesan pasrah saja menerima udara yang mengandung gas berbahaya tersebut.

Jika dicermati kembali, Indonesia sebagian lahan dan wilayahnya telah dikuasai perusahaan berskala besar. Dari data dan pengamatan Walhi, kabut asap yang sempat menyambangi kota Padang dipicu oleh hak konvensi wilayah-wilayah perusahaan berskala besar. Seperti yang dilansir dari jpnn.com, Khalid Syaifullah, Direktur Walhi Sumbar mengatakan bahwa hak konvensi perusahaan-perusahaan tersebut berdiri dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Pemerintah harusnya jangan asal memberikan izin tanpa memperhatikan dampak negatifnya bagi masyarakat. Fakta tersebut, kata Khalid membuktikan pejabat eksekutif dan legislatif telah menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberikan masyarakat. Penyelenggara negara tidak becus mengemban amanat yang diberikan masyarakat.

Sebuah dampak yang konkret mulai bermunculan dari satu ulah, lalu berlanjut ke dampak-dampak selanjutnya. Seperti hadirnya pohon caleg yang membuktikan ketidakpedulian calon-calon aparat pemerintah. Setelah itu pemerintah seperti memberikan akses pada sebuah perusahaan untuk melakukan pembalakan liar yang menyebabkan banjir, lalu pembakaran hutan yang menyebabkan pencemaran udara, dan lemahnya pengawasan dari aparat pemerintahan dalam memburu oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut. Terlebih calon anggota legislatif ini 93% merupakan orang yang sama yang menduduki parlemen. Apa jadinya mereka terpilih kembali dan melakukan hal yang itu-itu lagi? Biarlah hanya 7% saja yang paham isu lingkungan, tapi benar-benar menjaganya.

Masyarakat juga tidak boleh menyalahkan pemerintah saja, karena pengelolaan dan perlindungan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama. Jika masyarakat dan pemerintah dapat bekerja sama, kerusakan lingkungan dapat dikurangi. Tentunya jika tidak ada lagi yang namanya kongkalikong.

Oleh Fikri Azardy

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas

Padang, Sumatera Barat

Email : [email protected]

Twitter : @ardyyfikri

 

 

Referensi:

  1. http://www.mongabay.co.id/2012/07/26/pembalakan-liar-dan-ekspansi-perumahan-tenggelamkan-padang/
  2. http://www.mongabay.co.id/2014/03/21/hanya-7-calon-anggota-legislatif-dpr-ri-paham-isu-lingkungan/
  3. http://www.mongabay.co.id/2014/03/06/caleg-berkomitmen-lingkungan-minim-berintegritas-rendah-tinggi/
  4. http://www.mongabay.co.id/2013/07/08/pemilu-2014-pilih-kandidat-pro-lingkungan/
  5. http://www.mongabay.co.id/2014/0fikri mongabay2/15/wawancara-dalam-pemilu-2014-banyak-calon-wakil-rakyat-yang-tidak-peduli-isu-lingkungan-hidup/
Artikel yang diterbitkan oleh