Memasuki era reformasi, kerusakan hutan terjadi di berbagai tempat. Penjarahan, penebangan liar, hingga kebakaran hutan. Di Pulau Jawa, mayoritas kerusakan hutan terjadi di kawasan hutan milik Perhutani. Hutan di kawasan Gunung Lemongan, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang juga tidak luput dari aksi pembalakan liar.
Medio 1999, dari Bulan Juni hingga September, para pembalak liar memasuki kawasan hutan Gunung Lemongan. Satu per satu pohon dalam hutan ditebang dan tumbang. Hutan yang mulanya rimbun berubah gundul tanpa tegakan pohon. Hanya dalam kurun waktu empat bulan, kawasan hutan produksi dan hutan lindung seluas 1.081,85 hektar rusak. Kejadian ini menambah panjang catatan kasus kerusakan hutan yang terus terjadi di Indonesia sejak 1970-an.
Pasca pembalakan liar, bencana mulai menimpa kawasan sekitar hutan. Banjir terjadi di Desa Papringan, desa terdekat dari kawasan hutan. Fasilitas umum seperti jembatan dan jalan rusak akibat banjir. Tanaman kopi warga tertimbun tanah akibat erosi. Debit air di beberapa sumber mata air dan ranu menurun. Bahkan salah satu ranu, yakni Ranu Kembar mati, tidak lagi mengeluarkan air. Hal itu tidak terlepas dari fungsi hutan Gunung Lemongan yang merupakan penyangga ekosistem kawasan sekitarnya.
Perhutani, salah satu BUMN yang merupakan jawatan pemangku hutan bermaksud untuk memulihkan kembali kawasan hutan. Pada tahun 2000, Perhutani Klakah menanami kawasan hutan produksi dengan pohon Akasia dan Mahoni. Perhutani juga membuat sebuah program, yakni Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, bekerjasama dengan masyarakat sekitar hutan yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan. Program yang mulai dijalankan di Klakah pada tahun 2006 ini memiliki tujuan agar masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dapat turut aktif menjaga kelestarian hutan.
Pemulihan lahan hutan yang dilakukan Perhutani lebih pada pemulihan fungsi ekonomis daripada pemulihan fungsi ekologis hutan. Hal itu tidak terlepas dari status Perhutani sebagai Perusahaan Umum milik negara. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 dan UU Nomor 19 Tahun 2003 ditegaskan, bahwa tugas dan tujuan sebuah Perum yang berkaitan dengan kemanfaatan umum adalah, penyediaan barang yang bermutu tinggi dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Pemulihan fungsi ekonomis juga dapat dilihat dari kawasan hutan yang dipulihkan, yakni hanya kawasan hutan produksi. Sementara kawasan hutan lindung dibiarkan kering hanya dengan tanaman ilalang dan perdu. Perhutani beralasan bahwa tidak ditemukan jenis tanaman yang cocok dengan kondisi lahan tersebut. Gatot Kuswinaryono, Humas Perhutani KPH Probolinggo berpendapat, solusi yang dapat digunakan untuk memulihkan kawasan hutan lindung adalah suksesi alam yakni, membiarkan alam yang menentukan jenis tumbuhan yang bisa tumbuh di kawasan tersebut.
Suksesi alam yang dikemukakan pihak Perhutani dapat diartikan sebagai ketidakpedulian pemerintah terhadap kawasan hutan lindung karena, beberapa masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan menganggap lahan kering dan tandus di kawasan hutan lindung tidak bisa dibiarkan begitu saja. Perlu ada usaha penanaman secara serius untuk membuat hutan kembali hijau. Gagasan tersebut mengilhami kelahiran sebuah kelompok konservasi bernama Laskar Hijau. Gerakan yang dimotori oleh A’ak Abdullah Al-Kudus resmi berdiri pada 28 Desember 2008. Laskar Hijau memiliki anggota yang datang dari berbagai kelompok masyarakat. Mulai dari masyarakat lokal yang umumnya petani atau buruh tani, hingga anggota yang berdomisili di luar Klakah dengan berbagai macam latar belakang pendidikan dan pekerjaan.
Tujuan utama Laskar Hijau adalah mengembalikan fungsi hutan Gunung Lemongan dalam bentuk penghijauan dengan konsep hutan setaman. Untuk mencapai tujuan tersebut, Laskar Hijau memiliki program utama yakni melakukan peghijauan di kawasan hutan lindung setiap hari minggu. Usaha penghijauan dibagi menjadi dua kegiatan, yakni penanaman yang dilakukan pada musim hujan dan perawatan tanaman pada musim kemarau.
Konsep hutan setaman yang dimaksud adalah menanami kawasan hutan dengan berbagai jenis tanaman, seperti tanaman buah-buahan dan bambu petung. Pemilihan jenis tanaman tersebut bukan tanpa alasan, tanaman buah-buahan dipilih karena tidak akan menarik minat orang untuk menebang kayu dari dalam hutan. Hal tersebut tidak lepas dari keinginan Laskar Hijau yang menginginkan agar pembalakan hutan yang pernah terjadi pada pertengahan 1999 tidak terulang kembali. Selain itu, buahnya juga dapat dikonsumsi oleh masyarakat sekitar hutan atau para pendaki.
Bambu petung dipilih karena di kawasan hutan lindung banyak ditumbuhi ilalang. Bambu adalah jenis tanaman yang sama dengan ilalang. Sehingga, kemungkinan bambu untuk tumbuh lebih besar dari tanaman lain. Alasan lainnya karena bambu petung merupakan jenis bambu yang memiliki kemampuan menyimpan air lebih tinggi serta dapat menghasilkan oksigen lebih besar dari jenis bambu lainnya. Bibit tanaman diperoleh Laskar Hijau secara mandiri, yakni dengan mengumpulkan biji buah-buhan dari hasil memulung di pasar.
Usaha konservasi yang dilakukan Laskar Hijau tidak berjalan mulus tanpa gangguan. Kehadiran Laskar Hijau menimbulkan kecurigaan, seperti anggapan bahwa Laskar Hijau adalah kelompok teroris. Aktivitas Laskar Hijau dicurigai sebagai kelompok yang menanam ganja di kawasan hutan. Kebakaran hutan yang merusak tanaman konservasi juga merupakan tantangan yang harus dihadapi Laskar Hijau setiap tahun. Namun, kejadian tersebut tidak menghentikan langkah Laskar Hijau untuk menghijaukan Lemongan. Setiap kali terjadi kebakaran hutan, relawan Laskar Hijau berusaha untuk memadamkan api dan di kemudian hari, mereka menanami kembali lahan bekas kebakaran.
Laskar Hijau mendapat perhatian dari pemangku hutan setempat yakni pihak Perhutani. Perhatian tersebut berlanjut dengan adanya perjanjian kerjasama secara tertulis antara Perhutani dan Laskar Hijau pada tahun 2011. Isi perjanjian tersebut adalah pelimpahan hak konservasi dari Perhutani pada Laskar Hijau dengan kegiatan pengayaan tegakan pohon di kawasan hutan lindung dengan tanaman buah-buahan. Sementara, pihak Perhutani bertanggungjawab pada pengadaan sumber daya rehabilitasi.
Namun, sebelum perjanjian tersebut ditandangani oleh pihak Perhutani, pada Oktober 2013, sejumlah tanaman konservasi rusak akibat penebangan pohon Akasia yang dilakukan oleh Perhutani. Pembakaran pada sisa tebangan juga banyak merusak tanaman konservasi. Kejadian tersebut memicu kemarahan relawan Laskar Hijau yang kemudian melakukan aksi demonstrasi pada pihak Perhutani di Lumajang. Selain melakukan aksi protes, pada 10 November 2013, bertepatan dengan Hari Pahlawan, Laskar Hijau bersama 250 orang siswa dan anggota pecinta alam di Lumajang melakukan penghijauan di lahan-lahan bekas tanaman yang terbakar.
Kebakaran hutan dan kerusakan tanaman konservasi yang terus menerus terjadi tidak menyurutkan langkah Laskar Hijau menghijaukan Lemongan. Bahkan, kebakaran terbesar dalam satu dekade, pada September 2014, yang membakar 500 hektar kawasan hutan dan merusak hampir 50 persen tanaman Laskar Hijau tidak dijadikan penghalang untuk terus menanam. Bagi Laskar Hijau, menjaga hutan Lemongan berarti menjaga hutan Indonesia. Seperti yang sering ditegaskan oleh A’ak, jika tidak bisa menjaga Indonesia yang besar, jaga saja Indonesia yang kecil, meski hanya seluas Gunung Lemongan.
Sumber Rujukan:
A. Habibullah. Kebijakan Privatisasi BUMN. Malang: Averrous, 2009
Herman Hidayat. Politik Lingkungan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011.
“Penghijauan Perhutani Selalu Gagal.” Radar Jember. 24 Juli 2010.
“Pecinta Alam Demo Perhutani.” Radar Jember. 8 Oktober 2013.
“Peringati Hari Pahlawan, Tanam Pohon.” Radar Jember. 12 November 2013.