Kontraproduktif: RUU Pemberantasan Perusakan Hutan

oleh:

Timer Manurung.

Pendiri Yayasan SILVAGAMA. Sejak 2010 menjadi Kordinator Advokasi sekaligus Anggota Policy Working Group WWF Indonesia. Pada 2006-2008 menjadi Kordinator Kampanye TELAPAK.

Kembali, DPR (dan pemerintah) mengajukan draft rancangan undang-undang (RUU) yang tidak sesuai -atau bahkan bertentangan- dengan ekspektasi dan kebutuhan publik. Lembaga yang tahun 2012 hanya mampu menuntaskan 30 dari target total 69 undang-undang (kurang dari 50%) tersebut mengajukan Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU P2H) yang sedianya disahkan pada masa persidangan April 2013.

Melihat judulnya, seyogianyalah RUU P2H mendapat sambutan positif. Hal ini mengingat harga diri negara-bangsa Indonesia sungguh terpuruk di dunia internasional karena, salah satunya, buruknya pengelolaan sumberdaya hutan Indonesia. Kebakaran hutan tak terkendali di lahan gambut, banjir terjadi dimana-mana, termasuk yang fenomenal melanda Jakarta, tak hanya menegaskan ke-rendah-diri-an, tapi juga menyita korban, baik materi maupun jiwa. Tak tangung-tanggung, sejak tahun 1985 rerata Indonesia kehilangan 1,6 juta hektar hutan atau hampir seluas negara Kuwait setiap tahun.

The devil is in the details, itu jualah yang terjadi dengan draft RUU berjudul bagus ini. Menilik substansi sebagaimana draft terakhir yang beredar di publik, RUU P2H mengandung kelemahan-kelemahan mendasar.

AHISTORIS

Sejatinya, RUU P2H ini merupakan metamorfosa RUU Pemberantasan Illegal Logging atau dikenal juga dengan Anti Illegal Logging yang diusulkan pada pertengahan dekade 2000-an.

Illegal logging sendiri merupakan frase yang diperkenalkan karena ketiadaan terminologi yang lebih tepat saat itu. Di Indonesia, terminologi illegal logging kerap dipakai EIA/Telapak melalui serangkaian publikasinya yang kontinu mengkespose realitas penebangan hutan Indonesia secara illegal. Namun demikian, dari serangkaian publikasi tersebut jelas bahwa yang dimaksud illegal logging sejatinyalah para pelaku kelas kakap yang menyiasati lemahnya penegakan hukum Indonesia. The Final Cut (1999), Above the Law (2002), The Last Frontier (2005) merupakan serangkaian publikasi yang menegaskan bahwa illegal logging didalangi (mastermind) oleh tokoh-tokoh kelas kakap yang mengorkestrasi operasinya secara terorganisir (organized crime).

Publikasi EIA/Telapak yang kerap mengandalkan investigasi menyamar (undercover investigation) yang mempertaruhkan nyawa pun menunjukkan secara gamblang bahwa illegal logging Indonesia kerap didalangi oleh penjahat kelas internasional dan atau lintas negara. The Ramin Rackets (2004) dan Profiting From Plunder (2004) mengekspose bagaimana pengusaha nan penjahat Malaysia mengobok-obok hutan Indonesia, Singapore’s Illegal Timber Trade (2003) mengekspose pemain sejenis di Singapore, Borderlines (2008) yang mengungkap bagaimana jejaring penjahat di Vietnam hingga Thailand berlaku sama, hingga Behind the Veneer (2006) yang mengupas bagaimana pasar kayu Eropa dan Amerika menampung kayu illegal dari Indonesia.

Merajalelanya para mafia kayu (timber baron) yang menjadi dalang (mastermind) berpadu dengan lemahnya penegakan hukum Indonesia mengakibatkan perlunya aturan khusus yang menyasar para pemain kakap tersebut. Fokus inilah yang tidak terlihat di RUU P2H karena substansinya cenderung merujuk pada rantai terendah organisasi mafia kayu dan atau masyarakat lemah.

MUBAZIR

Tidak banyak hal baru yang genuine dalam draft RUU P2H, kebanyakan telah diatur dalam undang-undang yang telah berlaku sebelumnya, terutama UU 41/1999 tentang Kehutanan dan UU 5/1990 tentang Konservasi. Sementara itu, hal-hal baru yang dimasukkan, seperti pidana minimal, pidana korporasi, pelembagaan pemberantasan perusakan hutan, pun mengandung segepok kelemahan substansial.

Selain itu, hadirnya RUU P2H akan menambah kusut karena substansinya yang ingin mengatur juga kementerian terkait dan pemerintah daerah. Padahal, Prof. Maria S. Sumardjono et al (2009) secara bagus menyajikan betapa regulasi sumber daya alam Indonesia saling bertabrakan (conflicting).

Terdapat setidaknya 12 Undang-Undang yang tumpang-tindih sehingga perlu di-sinkronisasi. Semuanya adalah UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU 41/1999 tengan Kehutanan, UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU 27/2003 tentang Panas Bumi, UU 7/2004 tentang Sumberdaya Air, UU 31/2004 tentang Perikanan, UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, dan UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Akan tampak semakin runyam bila di-overlay dengan UU Otonomi Daerah.

Kenyataan inilah yang mendasari Nota Kesepakatan Bersama (NKB) 12 Kementerian terkait sumberdaya alam -dipelopori Komisi Pemberantasan Korupsi- hingga mengedepankan keharusan harmonisasi regulasi kehutanan dalam rangka mendorong percepatan pengukuhan kawasan hutan Indonesia. NKB ini ditandatangani pada 11 Maret 2013 dengan disaksikan langsung Presiden dan Wakil Presiden RI.

KETINGGALAN JAMAN

Ketika RUU Pemberantasan Illegal Logging diusulkan satu dekade lalu, kejahatan illegal logging sedang merajalela berpadu dengan lemahnya penegakan hukum. Terjadi illegal logging di kawasan-kawasan hutan dari Aceh hingga Papua. Bahkan, kawasan konservasi pun tak luput dari jarahan sebagaimana The Final Cut (EIA/Telapak, 1999) mengungkap praktek tersebut di Taman Nasional (TN) Leuser dan TN Tanjung Puting.

Tingginya illegal logging saat itu dipicu oleh kapasitas terpasang industri kayu yang melebihi kemampuan hutan memproduksi kayu. Laporan Greenpeace berjudul Partners in Crime (2003) bahkan menyebut setidaknya 88% kayu Indonesia dipanen secara illegal.

Namun demikian, berbagai mekanisme pengaturan pasar kayu berpadu dengan stok kayu hutan alam yang semakin menipis mengakibatkan volume illegal logging cenderung menurun. Salah satu milestone penting pengetatan mekanisme pasar adalah Bali Declaration mengenai Forest Law Enforcement and Governance (FLEG) pada 2001. Sebagai buahnya, bila illegal logging Indonesia pada 2001 diprediksi 80% dari total kayu yang beredar, maka tahun 2006 “hanya” tersisa 40% (Sam Lawson and Larry MacFaul, 2010). Dari tahun ke tahun kecenderungan ini diyakini menurun, yang secara gamblang terlihat dari berkurangnya HPH aktif di Indonesia, dari sekitar 600 HPH pada tahun 2000 menjadi 115 unit pada tahun 2012.

Di sisi lain, kehilangan hutan Indonesia meski mengalami penurunan tetap berlangsung pada luasan yang sangat besar. Berbagai kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi mengindikasikan berubahnya pola kejahatan kehutanan Indonesia. Kasus Azmun Ja’far hingga Hartati Murdaya mengindikasikan bahwa fokus kejahatan kehutanan sedang bergeser dari pemenuhan kayu menjadi penguasaan lahan hutan untuk dikonversi menjadi perkebunan dan atau pertambangan.

SALAH FOKUS

Tak sulit membuktikan bahwa RUU P2H sejatilah mengenai penebangan dan peredaran kayu illegal. Dari total 58 jenis perbuatan pidana yang diatur di dalamnya, hanya 9 jenis perbuatan yang menyangkut perbuatan pidana pertambangan dan atau perkebunan yang merusak hutan. Artinya, 85 persen RUU P2H mengatur pidana penebangan dan peredaran kayu illegal.

Usulan perlunya RUU Pemberantasan Illegal Logging pada dekade 2000-an salah satunya dipicu oleh lemahnya penegakan hukum. Meski illegal logging sedemikian tinggi, namun tidak ada dalang (mastermind), seperti cukong (financier), penyokong (backing), dan aktor intelektual lainnya yang dikenai pedang hukum setimpal. Melenggangnya Abdul Rasyid (Kalteng), Buntia dan Apeng (Kalbar), Ali Jambi dan Ahi alias Sudiman (Jambi), Marthen Renouw dan Tan Eng Kwee (Papua), hingga penerbitan SP3 14 perusahaan di Riau adalah realitas betapa penegakan hukum tak menjangkau mastermind illegal logging.

Indonesia Corruption Watch(ICW) mengamati bahwa pada periode 2005-2008, dari 205 pelaku utama pembalakan liar kelas kakap, yang diadili hanya 19,51 persen. Sisanya, 80,48 persen, adalah pelaku kelas teri (sopir, operator, dan petani). Dari pelaku kelas kakap yang diadili, 82 persen divonis bebas. Untuk pelaku kelas teri, sekitar 66 persen divonis bebas, 21 persen divonis di bawah setahun, 7 persen divonis 1-2 tahun, dan 5 persen divonis di atas 2 tahun.

Akan tetapi, RUU P2H tak hirau dengan situasi ini. Dari total 12 pasal yang mengatur ketentuan pidananya, 2 pasal di antaranya hanya menambahkan mekanisme pemidanaan, 2 pasal mengatur pidana yang dilakukan pejabat negara, 1 pasal mengenai kejahatan korporasi, dan 7 pasal mengatur pidana-pidana perbuatan langsung. Terlihat jelas bahwa lagi-lagi, RUU P2H tidak diperuntukkan untuk mastermind, tapi hanya bagi pelaku-pelaku langsung yang secara umum adalah rantai terendah dalam kejahatan terorganisir (organized crime) atau pelaku tunggal yang biasanya adalah masyarakat lokal yang miskin tak berdaya.

Adanya 1 pasal mengenai kejahatan korporasi di dalam RUU P2H pun tak sesuai dengan harapan karena sanksinya diwakilkan ke pengurus serta tiadanya sanksi kompensasi pemulihan ekosistem yang terlanjur rusak karena pidana yang dilakukan korporasi.

LEMBAGA PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN YANG BIAS

Kejahatan sumberdaya alam (natural resources crime) sudah lama menjadi momok global dan dianggap sebagai kejahatan terorganisis. Menurut United Nations on Drugs and Crime (UNODC) setiap tahun besaran nominal kejahatan sumberdaya alam sebesar Rp 36 trilyun setiap tahun, keempat terbesar di bawah perdagangan obat terlarang, perdagangan manusia, dan pembajakan & cybercrime. Dalam jumlah tersebut, terdapat nominal kejahatan perdagangan satwa liar dilindungi (wildlife crime) berupa perdagangan bagian tubuh gajah, harimau, dan badak yang totalnya mencapai Rp 750 milyar setiap tahun (UNODC, 2010).

Di Indonesia, kerugian akibat pertambangan dalam kawasan hutan karena tanpa ijin pinjam pakai saja mencapai Rp 15,9 trilyun per tahun (KPK, 2010). Kerugian tak langsung akibat kejahatan kehutanan juga luar biasa, terutama terhadap masyarakat lokal dan atau terdampak lainnya. Kerugian akibat banjir Jakarta pada 2013, sebagai misal, mencapai Rp 20 trilyun (Jokowi, 2013).

Kasus-kasus kejahatan kehutanan yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan kompleksitas dan mata rantai yang panjang dalam operasional kejahatan kehutanan, seperti Kasus Surya Dumai Grup dan Azmun Ja’far.

Kredibilitas dan efektivitas penanganan oleh KPK merupakan faktor kunci kasus tersebut dapat ditangani. Hal inilah yang membedakannya dengan penanganan yang ditangani oleh lembaga penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Padahal, tidak semua kejahatan kehutanan memiliki unsur korupsi sehingga tidak menjadi domain KPK.

Demikianlah, muncul kebutuhan perlunya lembaga spesifik yang menangani kejahatan kehutanan. Namun demikian, perlu ditegaskan kembali bahwa fokusnya adalah sang mastermind. Kebutuhan inilah yang tampaknya ingin dijawab oleh RUU P2H denga mengusulkan Lembaga Pemberantasan Perusakan Hutan (LP2H).

Akan tetapi, alih-alih menjadi jawaban, lembaga yang diusulkan RUU P2H justru berpeluang menambah kerumitan yang ada. Dimasukkannya fungsi pencegahan di dalamnya menjadikan lembaga ini tumpang tindih peran dengan Kementerian Kehutanan, dibatasinya peran LP2H hanya sebatas penyidikan membuatnya tak lebih dari PPNS Kemenhut yang saat ini eksis. Padahal, kendala terbesar selama ini adalah peran penuntutan yang tidak maksimal serta PPNS yang kerap terhalang oleh Penyidik Polri.

ALAT KRIMINALISASI

Tak diragukan, Indonesia luar biasa kaya sehubungan dengan potensi sumberdaya hutan. Namun, kekayaan ini tak tercermin dalam keseharian penduduk di dan sekitar hutan. CESS-ODI (2005) bahkan menunjukkan korelasi kawasan hutan dengan kemiskinan di Indonesia. Kemiskinan melingkupi kawasan hutan. Rich Forest Poor People, demikian gambaran Nancy Peluso (1992) terhadap masyarakat dan hutan sekitarnya yang dikelola Perhutani di Jawa. Berpadu dengan tingginya konflik agraria, kekayaan ini justru menjadi kutukan bagi masyarakat di dan sekitarnya (Kutukan Komoditas, Gelder et al, 2005).

RUU P2H berpotensi memperparah situasi ini. Selain konstruksi pasal demi pasal yang cenderung mengatur pelaku langsung, akan sangat mudah dipelintir untuk mengkriminalisasi masyarakat di dan sekitar hutan yang keseharian dan pencahariannya bergantung pada hutan.

Lihatlah, misalnya, Pasal 84 RUU ini. Disebut bahwa barangsiapa yang membawa alat-alat yang lazim dipakai untuk menebang, memotong, atau membelah pohon dalam kawasan hutan akan dipidana 2-15 tahun penjara dan denda Rp 1-7,5 M. Bila yang membawanya penduduk di atau sekitar hutan, akan dipidana penjara 3 bulan sampai 10 tahun dan denda Rp 0,5 – 5 M.

Mari melihat tiga illustrasi berikut. Pertama, seorang anggota pecinta alam menjelajah hutan di luar propinsinya. Biasa, toh, pecinta alam melakukan penjelajahan membawa golok. Dia lantas masuk kawasan hutan dengan seperangkat equipment standar (baca: bawa golok). Dia dapat dipidana penjara 2-15 tahun dan pidana denda Rp 1-7,5 milyar.

Kedua, seorang penduduk pinggiran atau dalam kawasan hutan yang penghidupannya adalah hasil madu hutan. Dia tentu masuk hutan akan selalu bawa golok. Dia pun dapat dipidana penjara 3 bulan sampai dengan 10 tahun dan pidana denda Rp 500 juta sampai 5 milyar.

Illustrasi ketiga berikut sungguh mengerikan. Di Indonesia, sekitar 32.000 desa berkonflik batas dengan kawasan hutan. Artinya, di kawasan-kawasan konflik batas itu terdapat penduduk yang “tinggal dalam kawasan hutan”. Maka, seturut Pasal 84 RUU P2H, setiap saat orang/penduduk di kawasan ini pegang parang, dengan sendirinya dapat dipidana penjara 3 bulan sampai dengan 10 tahun dan pidana denda Rp 500 juta sampai 5 milyar.

TARIK DAN REVISI MENYELURUH

Maka, jelas sudah bahwa RUU P2H yang akan diajukan dalam sidang paripurna DPR tersebut harus ditarik, ditunda pengundangannya, serta dirombak total. Revisinya kelak harus mengatur hal-hal yang belum diatur, merupakan kebutuhan, serta membangun dan menjamin rasa keadilan masyarakat.

Artikel yang diterbitkan oleh