Pemangsa yang Menjadi Mangsa: Kondisi Hiu dan Pari di Perairan Indo-Pasifik

 

 

Hiu dan pari merupakan jenis ikan dalam kelas Chondrichthyes (bertulang rawan). Termasuk di dalamnya Chimaera yang lebih dikenal sebagai Ghost Shark. Kelas ini memiliki keanekaragaman yang sangat tinggi (~1150) hampir per 2 minggu ditemukan spesies baru.

Adalah perairan Coral Triangle sebagai satu spot biodiveristas Chondrichthyes yang sangat tinggi (51 – 140 spesies). Penuturan tersebut disampaikan Prof. Colin Simpredofer dalam kunjungannya ke Indonesia, dalam rangka kerja sama penelitian sekaligus memberikan kuliah umum bertajuk “Status dan Konservasi Elasmobranch di Perairan Indo-Pasifik.”

Perhatian global terhadap hiu dan pari meningkat dari ancaman nyata akan kepunahannya. IUCN (International Union for Conservation of Nature) yakni otoritas global yang menetapkan status konservasi sumberdaya hayati memasukkan 249 spesies Chondrichthyes dalam kategori terancam. Sekitar 25 persen dari total spesies Chondrichthyes, 68 spesies tidak memiliki data yang cukup untuk dikaji statusnya. Hal yang menarik adalah, lebih banyak pari yang terancam punah ketimbang hiu (59%). Sebut saja sawfish atau ikan gergaji.

Ancaman kepunahan ini bervariasi berdasarkan ekosistem dan letak geografis. Hal mengejutkan lain adalah perairan Indonesia dan negara tetangga yang tinggi biodiveritasnya harus menerima fakta bahwa tingkat kepunahan spesies ini sangat tinggi. Ditambah lagi, Indonesia masuk dalam salah satu negara pengekpor utama produk hiu.

Dr. Toni Ruchimat, Kepala Pusat Riset Perikanan, BRSDMKP menjelaskan konservasi hiu dan pari di Indonesia yang menghadapi masalah utama yakni tingginya tangkapan. Hal ini disebabkan masih terbatasnya mata-pencaharian alternatif nelayan yang memanfaatkan sumber daya hiu dan pari.

“Kondisi geografis Indonesia yang didominasi perairan, kerusakan habitat, kepadatan penduduk, keterbatasan anggaran, serta pendataan yang belum sistematis berdampak signifikan terhadap pengelolaan dan konservasi sumber daya hiu dan pari,” tuturnya.

Colin Lebih lanjut menyampai, dalam konservasi hiu dan pari, pemahaman aspek sosial-ekonomi dibutuhkan untuk memberikan gambaran utuh latar belakang pemanfaatan sumber daya tersebut. Apakah dilatari keuntungan pasar, mata pencaharian atau ketahanan pangan.

“Hampir setengah lebih hiu dan pari yang terancam punah dikarenakan data yang sangat terbatas,” ujarnya yang juga Direktur Centre for Sustainable Tropical Fisheries and Aquaculture, James Cook University.

 

Tiger shark. Foto: Global FinPrint Project
Tiger shark. Foto: Global FinPrint Project

 

Oleh karena itu, Global FinPrint Project, yakni inisiasi global yang didanai oleh Vulcan Foundation bertujuan untuk mengumpulkan data hiu dan pari yang berasosiasi dengan terumbu karang.

Project ini menggunakan metode Baited Remote Under Water Video (BRUV), yakni penggunaan pendekatan video berumpan untuk mempelajari populasi dan tingkah laku pemangsa di ekosistem terumbu karang. Hal ini tengah dikerja-samakan antara Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Puriskan, BRSDMKP dalam waktu 2 tahun.

Selain BRUV, environmental DNA (eDNA) juga digunakan untuk mempelajari spesies-spesies langka. Bermodal sampel air, keberadaan spesies langka dapat diketahui seperti sawfish yang sangat sulit ditemukan. Idenya adalah setiap makhluk hidup akan meninggalkan DNA baik dari mucus, ekskresi, atau sekresi yang dilakukan. Metode PCR yang berkembang pesat memudahkan analisis DNAuntuk keperluan pencocokan..

Colin yang juga Co-chair IUCN Shark Specialist Group menjelaskan pemanfaatan teknologi telemetri untuk mempelajari pola distribusi dan migrasi ikan bertulang rawan ini. Hasil kajian menunjukkan, beberapa jenis hiu di Perairan Indonesia dan Australia merupakan satu stock yang sama. Sehingga perlu kolaborasi untuk pengelolaannya.

“Informasi tersebut juga penting dalam penyusunan Non Detrimental Findings (NDF), yakni kajian untuk mengujikan perdagangkan spesies yang masuk dalam list Appendix II CITES dengan syarat manajemen dan konservasi yang baik bagi spesies tersebut,” tuturnya di Jakarta, 18 Mei 2017.

Colin berharap, para generasi muda berkontribusi positif bagi pengelolaan dan konservasi hiu dan pari di Indonesia. “Masih banyak yang belum dimengerti dari spesies ini bukan berarti kita tidak dapat melakukan sesuatu. Masih banyak peluang bagi kita untuk berkontribusi,” tandasnya.

 

Foto bersama usai kuliah umum "Status dan Konservasi Elasmobranch di Perairan Indo-Pasifik." Foto: Rudy Masuswo Purwoko & Ofan Bosman
Foto bersama usai kuliah umum “Status dan Konservasi Elasmobranch di Perairan Indo-Pasifik.” Kredit foto: Rudy Masuswo Purwoko & Ofan Bosman

 

Andhika Prima Prasetyo/Peneliti pada Pusat Riset Perikanan AMFRAHR-MMAF

Email:[email protected] | [email protected]

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,