Oleh: Khairunnisa Musari*
Woro-woro adanya potensi emas di Jember belakangan ini bukan kali pertama terjadi. Awal tahun 2000, sudah terdengar kabar oleh pemerhati lingkungan tentang adanya potensi emas di selatan Jember, 10 km dari pantai selatan. Jauh sebelumnya, tahun 1992, PT Hakman Group –konsorsium empat perusahaan—bahkan sudah melakukan eksplorasi di sekitar Dusun Baban Silosanen, Desa Mulyorejo, Silo. Sesuai azas otonomi daerah, perusahaan yang mengantongi izin dari Departemen Pertambangan saat itu mengajukan permohonan kontrak karya ke Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember. Dari areal 70.000 ha, dikabarkan terdapat kandungan 800 juta ton bijih emas dengan kadar dua kali lebih baik dibanding batu hijau.
Lama tak ada berita, tahun 1997, aktivis lingkungan yang tergabung dalam Mitra Meru Betiri dikabarkan mengadvokasi masyarakat atas kegiatan penambangan yang dilakukan PT Hakman Group dan juga PT Aneka Tambang lantaran melakukan eksplorasi di sekitar Silo hingga merapat ke kawasan Taman Nasional (TN) Meru Betiri. Ya, Silo adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Jember yang paling santer dikabarkan memiliki kandungan emas paling tinggi.
Setelah lama tak terdengar berita, tahun 2008, eksplorasi penambangan emas ternyata dilakukan CV Assidig Agung Putra dan Pusat Sumber Daya Geologi (PSDG) yang bernaung di bawah Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang berpusat di Bandung. Mereka melalukan eksplorasi di Dusun Curahmas, Desa Pace, Silo. Dengan lahan eksplorasi seluas 10 hektar, kabarnya saat itu kandungan yang ditemukan masih berupa bijih timah hitam, bijih seng, dan bijih tembaga. Sedangkan kandungan emas masih dalam penyelidikan. Dalam perkembangannya, Pemkab dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jember sepakat melarang eksplorasi emas lanjutan.
Awal Maret 2009, rame-rame penambangan emas di Silo kembali terdengar. Masyarakat berkonflik dengan perusahaan penambang. Tokoh masyarakat sempat kesal dengan Pemkab karena dinilai tidak tegas. Pemkab menyatakan ijin perusahaan penambang telah dicabut, namun faktanya masih terdapat aktifitas. Hal ini ditandai salah satunya dengan ledakan hebat yang terdengar masyarakat di lokasi penambangan. Selain merusak sosial budaya warga, tokoh masyarakat menolak penambangan karena akan merusak ekosistem dan lingkungan dalam jangka panjang.
Maret 2012, masyarakat kembali disuguhi aksi penambangan emas ilegal di Silo. Perhutani Jember menutup empat lokasi tambang ilegal di petak 17 karena dinilai membahayakan. Keempat lokasi tersebut rentan akan longsor mengingat keempatnya berada di kemiringan terjal di Desa Pace, Kecamatan Silo.
Tidak ada yang bisa memastikan tentang adanya kandungan emas di Silo. Namun, mengacu hasil kegiatan Subdit Konservasi TA. 2005 yang diakses pada situs PSDG Kementerian ESDM di Bandung, daerah Jember memang terletak dalam jalur orogenesa Pegunungan Selatan Jawa yang dikenal sebagai tempat kedudukan mineralisasi logam mulia dan logam dasar di ujung timur Pulau Jawa. Geologi sepanjang Kali Sanen antara Dusun Baban Timur sampai Baban Barat di Silo banyak ditemukan batuan terobosan bersifat granodioritik dan dioritik. Batuan terobosan ini menerobos satuan breksi gunung api seperti yang terdapat di pertemuan Kali Silo Sanen dengan Kali Malang Sari. Di dusun ini ditemukan urat kuarsa “gossan” yang mengandung logam dasar dan emas. Urat ini tersingkap pada beberapa tempat diperkirakan sepanjang 400 meter dengan jenis mineralisasi adalah vein type atau Volcanic Massive Sulphides.
Jika kabar yang selama ini berhembus kencang tentang adanya emas di Silo, awal Mei ini masyarakat dikejutkan dengan pemberitaan tentang adanya lokasi emas baru di Kecamatan Wuluhan. Jika di Silo masih simpang-siur kebenarannya tentang adanya kandungan emas, kali ini yang di Wuluhan tampaknya benar-benar terbukti. Sejumlah penambang mengaku memperoleh emas dan menjualnya ke pengepul atau toko emas di Ambulu.
Cobalah sekali waktu mengunjungi Wuluhan, tepatnya di Dusun Demangan, Desa Kesilir. Sepanjang tiga kilometer, mulai dari puncak Gunung Manggar hingga hilir aliran sungai mencapai kanal, akan banyak kita temui penambang emas dadakan. Puncak keramaian biasanya terjadi pada hari Minggu. Semua berdesakan. Mulai pagi hingga malam. Sepanjang hari. Pada hari biasa, keramaian tak begitu padat. Namun, setiap 5-7 meter masih bisa kita temui penambang yang hilir mudik. Peralatan wajib mereka umumnya adalah wajan, timba, celurit, dan karung beras. Dari pagi hingga malam, penambang terus bermunculan silih berganti.
Menurut Pak Sanggrok, seorang penambang yang merupakan warga asli Dusun Demangan, Desa Kesilir, kegiatan penambangan ini sudah berlangsung sekitar tiga bulan. Namun, pemberitaan di media baru muncul sekitar satu bulan. Pak Sanggrok sehari hanya mengumpulkan satu timba. Ia lebih memilih mengawasi para penambang agar tidak sampai menggali lubang yang dapat membuat longsor pepohonan di sekitar tanahnya yang berada di sebelah areal penambangan.
Pak Ali, seorang penambang lain yang juga merupakan warga asli Dusun Demangan, Desa Kesilir, mengatakan pihaknya juga hanya ikut-ikutan mencoba peruntungan. Selama ini, yang kebanyakan melakukan kegiatan penambangan adalah warga yang berasal dari luar Desa Kesilir. Senada dengan Pak Sanggrok, aktifitas penambangan diakui Pak Ali sudah dimulai sejak tiga bulan yang lalu. Sepengetahuannya, penambang mulai muncul setelah mendapat perintah seorang Kyai yang mengatakan ada emas di Gunung Manggar. Kabar tersebut kemudian berkembang dan terbukti. Pak Ali berharap Pemkab dan Perhutani tidak melakukan swastanisasi terhadap area penambangan tersebut agar penguasaan emas tidak hanya dimiliki oleh segelintir orang saja.
Berbeda dengan Pak Ali, sebagai sesama warga asli Dusun Demangan, Pak Sanggrok lebih senang jika Pemkab menutup areal penambangan. Kalaupun masih dibuka, cukup sebagian saja agar dapat memberi kesempatan bagi masyarakat untuk menikmati kekayaan alam Gunung Manggar. Ia lebih mengkhawatirkan kondisi desanya dalam jangka panjang. Hal ini mengingat, Dusun Demangan selalu menjadi langganan banjir setiap tahun. Banjir ini rutin terjadi sudah sejak tahun 1970-an. Selama ini, keluarganya sudah meninggikan pondasi rumah hingga tiga meter.
Jika disimak, Dusun Demangan, Desa Kesilir memang berada di wilayah Curah Macan yang dikelilingi oleh gunung dan perbukitan. Pada zaman Belanda, telah dibangun sabut gunung berupa aliran irigasi (kanal) yang menyalurkan air hujan dari puncak hingga menuju sungai atau laut di Ambulu. Saat ini, sabut gunung sudah banyak mengalami kerusakan dan penyumbatan. Setiap tahun, hulu kanal selalu dikeruk karena penuh dengan muatan batu, tanah, dan kayu. Ketika hujan terjadi, aliran deras dari puncak gunung dan perbukitan sering tak terbendung karena hutan sudah tidak selebat di waktu lalu. Inilah yang menyebabkan Dusun Demangan di Desa Kesilir selalu menjadi langganan banjir setiap tahun ketika hujan.
Selama tiga bulan sejak marak terjadi penambangan emas di Gunung Manggar, belum terjadi hujan sehingga belum dapat diketahui bagaimana dampaknya ketika hujan deras terjadi. Namun, membayangkan bagimana kondisi banjir ketika belum terjadi penambangan, maka warga sekitar semakin khawatir dengan kondisi banjir pasca penambangan. Atas dasar itu pula, warga dapat memahami mengapa aparat sampai menangkap 10 orang penambang beberapa waktu lalu karena cara penggalian mereka di puncak gunung dapat membahayakan desa mereka. Selain penggaliannya terlalu dalam bak sumur, mereka juga bekerja ala tikus yang membuat terowongan tanah mengikuti urat dari emas.
Berbeda dengan Pak Sanggrok, Pak Salman seorang penambang asal Puger Kulon justru berharap Pemkab membiarkan masyarakat menambang. Menurutnya, sudah selayaknya kekayaan alam dinikmati oleh masyarakat sekitar. Hal senada juga disampaikan Pak Solihin dari Ambulu yang berharap Pemkab dan Perhutani tidak menutup areal penambangan.
Jika disimak, penambang yang bukan merupakan warga setempat umumnya mengharapkan Pemkab dan Perhutani membebaskan mereka untuk menambang. Namun, mereka yang merupakan warga asli memiliki kekhawatiran akan terjadinya kerusakan lingkungan di desa mereka. Kekhawatiran ini semakin menjadi lantaran geografi desa mereka memang tidak kondusif. Bayangkan bila terjadi penambangan dan penggalian di lereng dan sabut gunung, maka diyakini dampak banjirnya akan semakin besar bagi masyarakat setempat. Tidak mustahil banjir bandang di Kecamatan Panti akan berulang di Kecamatan Wuluhan.
Potensi sekaligus Masalah
Kegiatan penambangan liar bukannya tak mengandung masalah. Penambang umumnya tidak memperhatikan aspek keselamatan kerja dan dampak buruk bagi lingkungan sekitar. Kegiatan penggalian lubang di puncak gunung atau bukit dapat membuat tanah menjadi keropos dan mudah longsor. Selain membahayakan diri mereka sendiri, juga membahayakan masyarakat yang berdiam di bawah kaki gunung atau bukit.
Tidak hanya itu, proses pemurnian emas juga dapat mencemari sungai. Setelah penambang menemukan tanah yang terdapat endapan, mereka kemudian memproses pemisahan dengan menggunakan air raksa atau merkuri. Teknik tradisional ini biasanya disebut teknik amalgamasi, yaitu dengan mencampur bijih dengan merkuri untuk membentuk amalgam dengan media air. Selanjutnya, emas dipisahkan dengan proses penggarangan sampai didapatkan logam paduan emas (bullion). Produk akhir ini dijual dalam bentuk bullion dengan memperkirakan kandungan emas pada bullion tersebut.
Nah, merkuri itu jika dibuang ke tanah tentu akan mencemari sumber-sumber air tanah. Jika air raksa dibuang ke sungai, maka akan mencemari saluran irigasi persawahan. Berdasarkan angka yang tertera di kanal buatan Belanda di Desa Kesilir, saluran irigasi sepanjang hulu hingga hilir tersebut dibangun untuk mengairi lahan seluas 2.542 ha. Mobilitas merkuri akan semakin tinggi bila debit air besar. Bayangkan potensi dari merkuri hasil pemisahan emas tersebut dalam meracuni lahan seluas itu! Siapa yang selama ini mengawasi dan menjamin bahwa penambang tidak membuang merkuri pada tanah atau sungai?
Jelas, lingkungan yang terkontaminasi oleh merkuri dapat membahayakan kehidupan manusia karena adanya rantai makanan dalam ekosistem. Merkuri adalah unsur kimia sangat beracun dan dapat bercampur dengan enzim dalam tubuh manusia yang bertindak sebagai katalisator untuk fungsi tubuh yang penting. Merkuri ini dapat terserap tubuh melalui saluran pencernaan dan kulit. Karena sifat beracun dan cukup volatil, maka uap merkuri sangat berbahaya jika terhisap, meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Racun merkuri bersifat komulatif. Dalam jangka waktu tertentu akan menimbulkan bahaya penyakit.
Selain potensi kerusakan lingkungan dan kesehatan, penambangan emas juga dapat menuai konflik antar sesama penambang. Terdapat hukum tak tertulis yang dibuat penambang warga asli terhadap penambang warga pendatang untuk tidak boleh melakukan penggalian pada lubang yang sudah ditemukan sumber yang kaya endapan emas oleh penambang warga asli, terutama yang berada di sekitar puncak Gunung Manggar. Hal ini tentu saja dapat memicu kekerasan verbal dan fisik antara sesama penambang jika dihadapkan pada muatan massa yang padat di sepanjang sabut gunung hingga hilir kanal. Secara otomatis, penambang lain akan melakukan penggalian pada area yang berdekatan dengan lokasi tanah yang kaya kandungan endapan emas.
Menanti Intervensi Pemkab
Jika menyimak milestones dari eksplorasi emas di Jember, muncul pertanyaaan ‘Benarkah tidak ada emas di Silo?’. Mengapa status yang diberikan Pemkab selama lebih dari 20 tahun terhadap sejumlah perusahaan penambang selalu berupa izin eksplorasi? Manfaat apa yang diperoleh Pemkab dari status izin tersebut? Mengapa untuk menyatakan validitas tentang adanya kandungan emas di Silo memakan waktu puluhan tahun? Mengapa eksplorasi emas liar oleh masyarakat di Wuluhan yang baru berlangsung sekitar 3 bulan justru mengindikasikan kebenaran tentang adanya kandungan emas di wilayah tersebut meski Administratur Perhutani telah menegaskan bahwa hasil uji laboratorium menunjukkan tidak adanya kandungan emas di Gunung Manggar?
Ah, itu pertanyaan klasik yang mengundang terbukanya ruang debatable. Namun demikian, hal ini patut mendapat perhatian karena yang lazim terjadi bila perusahaan tambang emas memperoleh izin melakukan eksplorasi maka mereka hanya membayar sewa (landrent) per tahun berdasarkan luas lahan kelola. Pemasukan itu tidak menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD), melainkan menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2003, landrent dibayar oleh perusahaan dihitung per hektar dan per tahun. Perusahaan penambang membayar sendiri setoran kepada pemerintah daerah (Pemda) via bank yang ditunjuk. Lalu, Pemda menyetorkannya ke pusat. Namun, mulai 2012, terdapat perubahan perhitungan sewa yang diatur oleh PP Nomor 9 Tahun 2012 tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku di Kementerian ESDM.
Secara keseluruhan, hal paling mendesak saat ini yang perlu dilakukan Pemkab adalah menertibkan penambangan emas di Wuluhan. Tentu ada opsi yang dapat dilakukan Pemkab untuk tetap dapat mengelola kekayaan emas di Gunung Manggar bagi masyarakat Jember, khususnya masyarakat Wuluhan, tanpa mengabaikan kerusakan lingkungan. Namun, selama sejarah penambangan di Indonesia, belum pernah kita menemukan kisah sukses di mana kegiatan penambangan dapat memakmurkan masyarakat setempat. Yang ada, mereka malah menderita akibat kerusakan lingkungan. Sedangkan yang menikmati kekayaan adalah korporasi yang di-back up oleh oknum aparat dan Pemda.
Untuk itu, tentu dibutuhkan ketegasan dan komitmen serta kekuatan hati Pemkab untuk tidak tergiur oleh iming-iming perusahaan penambang emas yang nanti akan bermunculan. Tidak mustahil, perusahaan penambang akan menawarkan investasi dengan dalih pengajuan izin eksplorasi seperti yang terjadi di Silo. Jika tidak ada pengawasan atau sanksi hukum yang tegas atas validitas hasil eksplorasi, maka Gunung Manggar akan menjadi bulan-bulanan penambang liar dan korporasi yang bermental kapitalis. Dan bila terbukti valid terdapat kandungan emas di wilayah ini, maka izin eksploitasi dari Pemkab akan semakin memperpuruknya. Ancaman kerusakan lingkungan akan semakin nyata di depan mata. Semoga sebelum memasuki musim hujan, Pemkab bersama Perhutani sudah dapat menertibkan kegiatan penambangan emas Wuluhan. Sosialisasi dan edukasi harus terus digencarkan agar masyarakat paham bahwa kebijakan itu adalah untuk menyelamatkan masyarakat sendiri. Emas memang manis, tetapi nikmatnya hanya sesaat. Dampak kegiatan penambangan di Gunung Manggar, Wuluhan, tampaknya akan lebih banyak memberikan potensi kerusakan alam dan lingkungan yang jauh lebih besar yang nantinya harus ditanggung masyarakat sekitar. Wallahu a’lam bish showab.
*Sekretaris Tamkin Institute
Catatan: Sebagian dari tulisan ini sudah dimuat di Harian Radar Jember, Senin, 17 Juni 2013, dan merupakan fieldreport dari Tamkin Institute.