,

CSR: Hak Masyarakat yang Terabaikan?

peta sebaran tambang samarinda- jatam

Iseng-iseng saya menghitung, dalam minggu ini terdapat tiga peminta sumbangan yang datang ke rumah. Satu mengaku dari takmir masjid, dua dari penyandang cacat. Dalam satu bulan (Juni 2013) terhitung enam peminta sumbangan, tidak termasuk ketika saya sedang keluar rumah. Sementara di jalan raya yang biasa saya lalui sekitar Lempake menuju Jl. Juanda- Samarinda, terdapat dua titik pos pencari sumbangan, berlangsung setiap hari pukul 07.00- 17.00 WITA yang uniknya telah berjalan selama setengah tahun hingga satu tahun ini. Saya belum menghitung berapa jumlah pengemis di pasar-pasar dan jumlah anak-anak jalanan yang mengamen di lampu merah.

Samarinda, salah satu kota di Kalimantan Timur. Belakangan issunya yang menarik adalah bahaya banjir yang siap merendam beberapa ruas jalan dan kawasan pemukiman bahkan sebagian areal kampus Universitas Mulawarman. Penyebab banjir, konon dari budaya buruk perilaku masyakat setempat yang membuang sampah sembarangan sehingga menyumbat saluran air. Namun beberapa LSM dan komunitas lingkungan hidup di Samarinda menuding hal ini sebagai dampak operasional perusahaan tambang batubara yang saat ini telah menguasai tak kurang 70 persen wilayah kota Samarinda.

Banjir tentu menimbulkan beberapa persoalan bagi masyarakat, dari penyakit hingga rusaknya sarana prasarana dan kerugian ekonomi. Anak-anak sekolah pun terganggu, mereka terpaksa libur sekolah ketika kelas mereka terendam atau akses menuju sekolah mereka terputus oleh genangan air. Ada tampak kesenjangan disini, perusahaan tambang yang terus mengeksploitasi alam dengan berbagai dampak kerusakan ekologi, sementara masyarakat menanggung akibat dari rusaknya lingkungan. Semestinya adakah kompensasi bagi masyarakat?

UU Nomor 40 tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, pada Bab V mengatur tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini diperkuat oleh PP Nomor 47 tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas.

Tanggungjawab sosial dan lingkungan Perseroan Terbatas, pada prinsipnya sama dengan Coorporate Social Responbility (CSR). Konsep CSR dipopulerkan pada tahun 1953 dengan diterbitkan buku yangbertajuk “Social Responsibilities of the Businessman” karya Howard R.Bowen yang kemudian dikenal dengan Bapak CSR. Gema CSR mulai berkembang pada tahun 1960 dimana persoalan-persoalan kemiskinan dan keterbelakangan mulai mendapat perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. KTT Bumi (Earth Summit), tahun 1992 di Rio De Janeiro menegaskan konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) yang didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal yang mesti dilakukan. (dari: http://www.infokursus.net/download/1511101152Paparan_BUMN.pdf)

Pertimbangan perusahaan untuk memenuhi kewajibanya (CSR) selain untuk memenuhi regulasi, hukum dan aturan yg mengaturnya, juga sebagai investasi sosial perusahaan untuk mendapatkan image yang positif, bagian dari strategi bisnis perusahaan, untuk memperolehlicence to operatedari masyarakat setempat serta bagian daririsk managementperusahaan untuk meredam atau menghindarikonflik sosial.

Penerapan dana CSR bisa berbentuk kredit lunak untuk usaha masyarakat. Agar berjalan baik dan berkelanjutan dalam hal ini perusahaan wajib memberikan penbinaan dan pengawasan dalam penerapan CSR tersebut. Pembinaan dan pengawasan bisa dilakukan langsung oleh manajemen perusahaan, bisa pula melalui elemen masyarakat, misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Penerapan CSR ini jika secara jujur dapat dilaksanakan, diharapkan terjadi keseimbangan pertumbuhan ekonomi perusahaan dan masyarakat. Warga di sekitar beroperasinya perusahaan akan diuntungkan dengan program-program ekonomi dari dana CSR. Akses dana dapat dilakukan melalui kelompok-kelompok masyarakat, ormas bahkan LSM dalam konteks pembangunan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan. Regulasi tentang CSR diharapkan dapat mengendalikan kesenjangan sosial dalam masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan.

Para remaja yang tergabung dalam Karang Taruna misalnya, mereka bisa mengakses dana CSR untuk kegiatan ekonomi kelompok, yang hasilnya selain meningkatkan taraf hidup juga sebagian dapat disumbangkan untuk pembangunan sarana ibadah atau membantu percepatan perbaikan jalan desa. Selain lebih kreatif tentu akan lebih menyenangkan daripada mencari sumbangan di jalan raya atau ke rumah-rumah.

Perusahaan pun dapat memulai inisiatif tanpa harus menunggu proposal permohonan dana CSR. Sesuai dengan PP No 47 tahun 2012 bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan . Perusahaan dapat membuat Balai Latihan Kerja (BLK) bagi para penyandang cacat, pelatihan keterampilan bagi anak-anak di panti asuhan, pembinaan kelompok-kelompok tani, industri kecil rumah tangga dan sebagainya.

Namun persoalannya, sudahkah CSR diterapkan secara jujur? Khususnya di Samarinda, sudahkah para penambang batubara secara serius mengalokasikan waktu dan dananya untuk turut membangun perekonomian masyarakat berkelanjutan melalui program CSR? Dan apakah hak akses masyarakat terhadap CSR ini sudah disosialisasikan oleh Pemerintah secara serius sehingga dapat diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat?

Kembali kepada iseng-iseng saya menghitung jumlah pencari sumbangan di kota Samarinda. Saya mencoba berdialog dengan beberapa diantara pencari sumbangan. Hasilnya, semua tidak tahu dan baru mendengar tentang CSR. Saya pun mencoba menyampaikan, dapat membantu mengarahkan mekanisme mengakses dana CSR. Hasilnya, mereka mengangguk-angguk. Entah apa artinya, yang pasti mereka tak pernah lagi kembali.

Apapun alasannya, Pemerintah dalam hal ini sebagai penanggungjawab regulasi, wajib mensosialisikan hak akses terhadap CSR hingga sampai ke segala lapisan masyarakat. Pemerintah pun wajib mengontrol agar CSR dapat secara jujur diberikan kepada masyarakat hingga menindak dan memaksa perusahaan yang bandel. Tanpa hal ini, CSR merupakan hak masyarakat yang terabaikan, indikasinya masyarakat tak tahu tentang hal ini.

Tak hanya dari kepahaman masyarakat tentang CSR, aksi-aksi protes dari kalangan masyarakat dan mahasiswa yang makin marak belakangan ini, yang lahir dari kesenjangan sosial pun dapat menjadi tolok ukur keseriusan serta komitmen pemerintah dan perusahaan dalam menjalani regulasi ini.

Artikel yang diterbitkan oleh