GORONTALO — Hutan Nantu merupakan bagian dari Suaka Margasatwa Nantu yang meliputi areal seluas 31.125 hektar di Provinsi Gorontalo. Hutan ini layak disebut sebagai laboratorium alam yang lengkap dan kaya dengan keanekaragaman hayati. Kepala Laboratorium Konservasi Biodiversitas Program Studi Ilmu Kehutanan, Universitas Sam Ratulangi, Dr. John Tasirin mengatakan bahwa Nantu memegang peran penting karena kawasan ini merupakan satu dari sedikit hutan yang masih utuh di Sulawesi.
“Nantu juga berada dalam kawasan Wallacea, sebuah zona transisi dan campuran khas fauna Asia dan Australasia, dimana hidup berbagai jenis endemik khas Sulawesi yang tidak bisa ditemui di belahan dunia lainnya,” ujar Tasirin, beberapa waktu lalu.
Di Nantu masih bisa dijumpai berbagai satwa endemik yang hidup di habitat aslinya dan liar, seperti Babirusa (Babyrousa babyrussa), Anoa (Bubalus depressicornis), Monyet Sulawesi (Macaca heckii), Tarsius (Tarsius spectrum), Babi Hutan (Sus celebensis).
“Di hutan ini juga bisa dijumpai sekitar 90 jenis burung yang 35 jenis diantaranya merupakan endemik Sulawesi. Ini tempat surga bagi pehobby foto satwa liar,” ujar Rosyid Azhar seorang penggiat lingkungan dan Ketua Masyarakat Fotografi Gorontalo.
Berbagai jenis burung endemik Sulawesi dengan mudah bisa ditemui di pepohonan raksasa yang ada di Nantu. sebut saja seperti Julang Sulawesi (Rhyticeros cassidix) atau Srigunting Sulawesi (Dicrurus montanus).
Ketika merasakan keaslian hutan yang ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 573/Kpts-II/1999 ini bulan lalu, kami mengambil jalur dengan berperahu menyusuri Sungai Paguyaman dari Desa Mohiolo, Kecamatan Asparaga, Kabupaten Gorontalo, di kiri kanan sungai disuguhkan dengan berbagai jenis fauna yang jarang ditemui di tempat lain.
Begitu memasuki hutan Nantu lewat pintu masuk Camp yang didirikan oleh Yayasan Adudu Nantu International (YANI), kerapatan vegetasi Nantu sudah sangat terasa. Padatnya kanopi pephonan hutan hujan tropis ini, membuat lantai hutan terlihat lembab. “Kelembaban disini bisa mencapai 98 persen,” ujar Tasirin.
Di lantai hutan yang lembab tersebut, hidup berbagai jenis serangga unik dan juga lintah yang tersamar dari warna tanah dan daun pohon yang membusuk. Diantara pepohonan yang tumbuh meraksasa tersebut, duri dari rotan menyulur secara bebas tanpa ada gangguan sedikitpun.
Nama hutan Nantu diambil dari pohon Nantu (Palaquium sp) yang tumbuh banyak disini. Tetapi selain Nantu, terlihat pohon Rao (Dracontomelom dao) dengan ukuran raksasa juga mendominasi, demikian pula dengan pohon Inggris (Eucalyptus Deglupta), serta pohon Beringin (Ficus benyamina) berukuran raksasa.
Di pohon-pohon itulah hidup secara bebas monyet Sulawesi (Macaca heckii) yang setiap saat melengkingkang suara khasnya. Demikian pula kus-kus (Phalanger spp) serta tupai menjadikan pohon-pohon itu sebagai rumah mereka.
Jika malam hari tiba, berbagai satwa liar nokturnal keluar mencari makan. Saking masih terjaganya hutan Nantu dari keaslian habitatnya, di Camp YANI saja, bisa dijumpai Musang (Viverra tangalunga) yang berkeliaran bebas di malam hari. Begitu pula, suara lengkingan khas Tarsius masih jelas terdengar, yang ditimpali dengan bunyi berbagai jenis serangga malam.
Laboratorium Alam Nantu menjadi terkenal sejak Dr. Ir. Lynn Clayton, seorang peneliti dari Inggris menemukan Kolam Adudu, ketika mencari lokasi paling tepat untuk meneliti Babi Rusa, pada tahun 1989. Sebuah kubangan yang berukuran 20 kali 60 meter tersebut menyimpan misteri alam paling unik. Di kubangan itulah, Babi Rusa, Anoa dan berbagai hewan liar lainnya datang menjilati mineral berupa garam. Padahal kubangan Adudu berjarak puluhan kilometer dari laut.
“Harus ada yang menjaga Nantu dari ancaman kerusakannya. Hutan itu telah banyak berubah sejak saya datang kesana pada tahun 1989. Air sungainya dulu jernih, tetapi kini sudah berwarna coklat,” ujar Lynn ketika ditemui di Gorontalo bulan lalu.
Kekhawatiran Lynn beralasan, karena di sekitar hutan Nantu, praktek ilegal loging masih terus berlangsung. Keruhnya sungai Paguyaman yang dikeluhkan oleh Lynn, akibat dari aktivitas penambang liar yang hingga kini masih sulit dihentikan oleh pemerintah setempat.
Anggota Brimob Polda Gorontalo yang berpatroli di Hutan Nantu ketika ditemui di Camp, mengakui bahwa pihak mereka hampir setiap saat menangkap para perambah hutan yang tidak memiliki ijin. Demikian pula dengan warga yang terus merusak lingkungan dengan menambang secara tidak beraturan.
“Nantu adalah sebuah laboratorium alam yang harus terus dijaga dan dipertahankan keasliannya. Disini koleksi keanekaragaman hayati sangat kaya, oleh karenanya Ekspedisi Jantung Hayati Sulawesi, menjadikan Nantu sebagai salah satu lokasi tempat dibangunnya plot ukur permanen Program Studi Ilmu Kehutanan, Universitas Sam Ratulangi,” tutup Tasirin.