,

Ancaman Illegal Logging dan Penambangan Liar Hantui Hutan Nantu

GORONTALO – Beberapa lembar kertas disematkan pada sebuah paku yang menempel di dinding lantai bawah Camp Yayasan Adudu Nantu International (YANI) di Suaka Margasatwa Nantu, Provinsi Gorontalo. Kertas-kertas itu merupakan Surat Pernyataan dari warga yang tertangkap tangan melakukan praktek illegal logging dan penambangan emas liar di kawasan Hutan Nantu yang dilindungi.

Para petambang emas liar yang terus beroperasi di pedalaman Hutan Nantu menjadi salah satu ancaman dari hutan hujan tropis terbaik di Asia Tenggara ini. “Wilayah Nantu sangat luas, bagian Utaranya berupa perbukitan terjal yang sangat sulit, tidak ada pos penjagaan di sana, sehingga para petambang bisa dengan leluasa beroperasi,” ujar James Kumolontang, salah satu staf YANI yang ditemui di Hutan Nantu beberapa waktu lalu.

Hutan Nantu resmi menjadi kawasan suaka margasatwa sejak Menteri Kehutanan RI pada tahun 1999 lewat SK Menteri Kehutanan Nomor 573/Kpts-II/1999 menetapkan areal seluas 31.125 hektar tersebut menjadi hutan yang harus dilindungi.

Adalah Dr Lynn Clayton, seorang peneliti dari Inggris yang memperjuangkan agar kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati ini terus dijaga. Lynn, menemukan tempat itu ketika pada 1989 dirinya melakukan ekspedisi di hutan-hutan Sulawesi untuk mencari habitat asli Babi Rusa untuk ditelitinya.

Pencarian Lynn berakhir di Kubangan Adudu, dimana lokasi yang kaya akan mineral tersebut menjadi tempat persinggahan mamalia karismatik Sulawesi, untuk menjilati garam di permukaan lumpurnya. Hutan Nantu, menjadi semakin penting karena ternyata di kawasan itu, bukan hanya Babirusa yang ada, tetapi berbagai flora dan fauna endemik lainnya juga masih bisa ditemui.

Ancaman akan perburuan satwa liar endemik serta ancaman akan kerusakan habitat asli flora dan fauna ini membuat Lynn bersama kolaborator lokalnya bekerja keras untuk menyelamatkan Nantu. Upaya Lynn dan rekan-rekannya dimulai sejak YANI didirikan. Dikarenakan keterbatasan personil, YANI dan BKSDA lalu bekerjasama dengan Satuan Brimob Polda Gorontalo untuk melakukan patroli rutin di Nantu.

Kini, di Camp Nantu, setiap saat satu regu Brimob Polda Gorontalo, yang terdiri dari empat anggota secara bergilir melakukan penjagaan dan patroli. “Kami setiap dua minggu sekali di rolling untuk melakukan patroli disini,” ujar Marthen, salah satu anggota Brimob yang ditemui di Nanto.

Praktek illegal loging dan penambangan emas liar yang terjadi di Hutan Nantu nampak jelas dari warna permukaan air Sungai Paguyaman yang berwarna keruh. Sungai itu yang mengalir mengitari kawasan Nantu. “Aktivitas petambang liar yang beroperasi jauh di dalam hutan Nantu, meracuni aliran sungai Paguyaman, karena penggunaan merkuri yang tidak terkendali. Padahal puluhan ribu warga menggantungkan hidupnya dari air yang ada di DAS Paguyaman,” ujar Lynn.

Patroli rutin yang dilakukan oleh YANI dan Brimob Polda Gorontalo, paling tidak sedikit meredam aktivitas perburuan liar satwa endemik. Demikian pula dengan aktivitas illegal loging. “Jika tertangkap tangan, kami langsung memproses para petambang dan perambah hutan tanpa ijin,” tambah Marthen.

Hutan Nantu adalah laboratorium hidup bagi para peneliti. Di hutan hujan tropis ini peneliti masih bisa menemukan 35 jenis burung endemik Sulawesi yang sudah teramati. Di Nantu pula, berbagai pohon berukuran raksasa masih terjaga. “Nantu kami jadikan sebagai salah satu plot penelitian kami, karena di lokasi ini keanekaragaman hayatinya masih terhitung lengkap,” ujar Kepala Laboratorium Konservasi Biodiversitas Unsrat Manado, Dr. John Tasirin, yang pekan lalu memimpin Ekspedisi Jantung Hayati Sulawesi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,