Beberapa pertanyaan yang seringkali terlontar oleh teman-teman kala menjelang liburan adalah, “Mau liburan kemana?”, “Mau ngabisin liburan dimana?”, atau “Mau jalan-jalan kemana?”
Ada juga yang sering mengajakku bepergian, “Liburan ke Bali, yuk”, atau “Eh, jalan-jalan ke Jogja, yuk”, dan lain sebagainya.
Tiap kali mendapati pertanyaan atau ajakan seperti itu, jawabanku hampir selalu sama. “Yah, aku paling-paling berkebun saja.”
“Whaaatt? Hari gini berkebun?”
“Iya, kenapa memangnya? Namanya juga sudah hobi.”
“Gak pengin jalan-jalan memangnya?”
“Ya jalan-jalannya ke kebun itu. Nanti kalau ada sisa waktu, baru aku mau jalan-jalan ke tempat yang lain…”
***
Liburan adalah satu momen yang selalu ditunggu-tunggu oleh hampir semua orang. Liburan menjadi ajang untuk menyegarkan pikiran, menemukan inspirasi, dan mengembalikan tenaga yang sebelumnya telah terkuras oleh rutinitas, entah itu bekerja, kuliah, atau sekolah. Pada waktu-waktu liburan itu, orang-orang banyak berwisata ke berbagai tempat yang membuatnya nyaman untuk menghabiskan waktu.
Setiap orang memiliki zona nyaman, hobi, dan selera tersendiri untuk menghabiskan waktu liburnya. Ada yang berkunjung ke berbagai tempat wisata, ada yang pulang kampung untuk mengunjungi orang tua, ada juga yang memilih untuk diam di rumah bersama keluarga tercinta. Aku pun begitu. Aku juga mempunyai zona nyaman tersendiri dan mungkin berbeda dengan orang lain pada umumnya.
Tiap kali liburan tiba, satu hal yang pasti dan wajib aku lakukan adalah mengunjungi kebun, tak jauh dari rumahku di kampung sana. Berkebun adalah hobiku sejak dulu. Hobi yang aku dapati dari kedua orang tuaku. Ya maklum saja, orang tuaku itu dua-duanya petani. Aku mengenal teknik dan cara-cara berkebun dari keduanya.
Sejak kecil, aku sudah terbiasa dengan aneka tanaman yang tumbuh di kebun-kebunku. Semuanya dibudidayakan oleh bapak dan ibuku. Bagi kedua orang tuaku, berkebun mungkin tidak tepat jika disebut sebagai hobi. Bagi mereka, berkebun adalah pekerjaan. Dan dari kebun itulah ekonomi orang tuaku banyak terbantu. Bahkan untuk membesarkan dan menyekolahkan hingga perguruan tinggi.
Dahulu, aku bahkan sempat bercita-cita menjadi seorang pekebun. Sayang, nampaknya orang tuaku tak menghendaki aku meneruskan pekerjaannya. “Ah, berkebun itu gak bisa dijadikan sebagai profesi, Nak. Kamu sekolah saja yang betul. Nanti jadi pegawai saja, kerja di kantor.”
Apa boleh buat, aku tak mungkin melawan kehendak orang tua. Ya sudah, akhirnya aku memilih untuk serius sekolah hingga lulus dari sebuah perguruan tinggi. Kini aku bekerja di Jakarta sembari melanjutkan kuliah kembali.
Tapi, sejujurnya aku telah terlanjur jatuh cinta dengan dunia perkebunan. Hijaunya tetumbuhan bagiku adalah magnet penarik yang luar biasa. Aura kesegaran yang terhambur dari dedaunan yang menghijau adalah pelepas rasa penat yang sangat manjur. Kebun adalah pelarianku untuk melepas rasa lelah. Di kebun yang ditumbuhi pepohonan yang subur itulah aku biasa menghabiskan sebagian besar masa-masa liburku.
Di kebun itu orang tuaku bercocok tanam. Ada kebun yang sengaja ditanami tumbuhan yang berbuah musiman seperti kopi dan kakao. Ada juga pepohonan besar yang akan dipelihara selama beberapa tahun seperti sengon atau mahoni. Orang tuaku yang membudidayakannya.
Mungkin orang tuaku adalah sosok yang termasuk rajin dalam mengelola kebunnya. Di kampungku, hampir semua orang memiliki kebun, dari yang hanya sepetak hingga yang berpetak-petak. Tapi, ternyata tidak semua kebun itu dimanfaatkan dengan baik. Ada yang ditinggal pergi merantau ke kota, ada juga yang memang sengaja dibirkan begitu saja.
Beberapa pemuda kampung pun hanya sebagian kecil yang masih mau berkebun. Mereka lebih memilih untuk meninggalkan kampung dan mencari pekerjaan instan di kota-kota besar. Kala mereka pulang, sebagian besar diantara mereka enggan untuk memelihara kebun mereka lagi. Kebun pun dibiarkan tandus tak terawat. Pepohonan meranggas di atasnya.
Kala melihat ada kebun yang terhampar tak terpelihara, hasratku untuk menghijaukannya segera muncul dalam hatiku. Bagiku, sungguh sayang jika ada kebun yang menganggur dan tak terawat. Apalagi tak ada pepohonan tumbuh di atasnya.
Aku tak mau ketinggalan dengan orang tuaku. Di salah satu kebun, aku pun ingin meninggalkan jejak dengan menanam beberapa pohon. Aku tanami pohon jati. Aku membeli bibit sendiri, menanamnya, dan memeliharanya sejak tujuh bulan yang lalu. Kini pepohonan itu pun sudah meninggi dua hingga empat kali lipat lebih tinggi dari tubuhku.
***
Sebagaimana tanah di pulau Jawa lainnya, tanah di Kabupaten Batang memang terkenal akan kesuburannya. Banyak aneka produk pertanian dihasilkan dari tanah-tanah para petani disana.
Kawasan pertanian di daerah ini terbelah menjadi dua bagian. Bagian selatan adalah kawasan perbukitan yang terkenal dingin, sementara kawasan utara adalah kawasan pantai yang terkenal panas. Kedua kawasan ini menghasilkan produk pertanian yang sedikit berbeda. Di sebelah utara, masyarakat lebih banyak bertanam karet, padi, jagung, dan sayuran. Beberapa warga juga banyak yang menjadi nelayan.
Di sepanjang jalur pantura terhampar hutan jati milik Perhutani yang masih luas dan lebat dengan pohonnya yang besar-besar dan berusia ratusan tahun. Mungkin Anda pernah mendengar mengenai Alas Roban. Sebagian besar wilayah Alas Roban yang terkenal seram itu berada di kawasan ini.
Kawasan utara ini juga terkenal dengan hasil buah duriannya yang lezat dan melimpah. Jika Anda pernah melintas di jalur pantura, mungkin Anda seringkali mendapati buah durian yang tertata rapi di tepian jalan dan dijual dengan harga relatif murah oleh para pemiliknya.
Kebunku berada di kawasan selatan yang cukup dingin. Hasil pertaniannya sedikit berbeda. Disana banyak terhampar pohon kopi, cengkeh, dan kakao yang terlindungi dengan pepohonan besar seperti sengon, jati, atau kayu afrika. Beberapa yang lain juga ditanami melinjo berusia tua. Ada juga tanaman buah seperti mangga, pisang, dan rambutan. Di sawah, petani banyak bertanam padi, jagung, atau sayuran sebagaimana di kawasan utara. Meski masih ada juga tanah yang dibiarkan menganggur oleh pemiliknya.
Kawasan selatan adalah salah satu penghasil emping melinjo terbesar di Indonesia. Bahkan disana terdapat sebuah kecamatan yang dikenal dengan sebutan kota emping. Emping itu didistribusikan ke kota-kota besar di Indonesia, bahkan di ekspor ke negara tetangga.
***
Setiap kali liburan, baju yang aku pakai bukannya baju necis nan santai sebagaimana orang-orang yang tengah berlibur pada umumnya. Aku lebih banyak memakai pakaian lusuh yang biasa dipakai petani. Sepatuku adalah sepatu boot yang aku pinjam dari bapakku. Aku jalan kaki menuju kebun-kebunku sembari memegang parang di tangan kananku. Parang itu aku gunakan untuk memangkas tanaman yang tak perlu, mengurangi gulma, atau memetik kakao dan tanaman lain peliharaan orang tuaku.
Di sakuku terselip kamera kecil yang akan kugunakan untuk memfoto aneka tanaman atau apapun yang menarik. Tanaman-tanaman itu aku foto untuk mengetahui tingkat pertumbuhannya dari waktu ke waktu. Beberapa yang lain aku foto karena memang sepertinya bagus dijadikan objek foto.
Terkadang gulma telah terlalu meninggi di kebunku, aku biasa menerjangnya. Sesekali ada hewan-hewan berbahaya disana. Ada ular, ada ulat, ada juga hewan-hewan kecil lainnya.
Suatu waktu aku pernah hampir menginjak ular kobra disana. Tiba-tiba kepala ular itu tegak berdiri di depan kakiku dan bersiap menyerang. Beruntung aku memakai sepatu boot setinggi dengkul sehingga tak begitu khawatir kalau-kalau ular itu benar-benar menggigit. Tapi, tetap saja aku bukan “Panji Sang Penakluk” yang biasa aku lihat di TV. Tetap saja bulu kudukku merinding hingga aku pun segera lari menjauhi ular itu.
Kebunku ada beberapa. Terpisah oleh kebun-kebun milik warga kampung lain juga saudara-saudara orang tuaku. Maklum saja, dulunya kebun-kebun itu adalah peninggalan dari nenek moyang yang dibagi-bagi kepada kakek-nenek hingga dibagi-bagi lagi untuk kedua orang tuaku dan saudara-saudaranya yang lain.
Untuk menyambangi semua kebun, paling tidak aku mesti berjalan sejuah empat kilometer. Jalannya memutar, terkadang menanjak, terkadang menurun. Ada satu jalan utama yang cukup lebar dan telah diperkeras dengan bebatuan, ada juga jalan sempit yang ditumbuhi semak belukar.
Di kebun-kebun itu aku memangkas tetumbuhan pengganggu, memetik kopi atau kakao, menyiangi gulma, menaman dan memupuk aneka tumbuhan. Disana lah aku biasa menghabiskan sebagian besar waktu liburku. Aku hanya akan berlibur ke tempat lain jika dan hanya jika telah puas bermain-main di kebunku.
Bagiku, berkebun adalah sesuatu yang sangat mengasyikkan. Ketika teman-teman seumuran di kampung sana telah mulai enggan untuk berkebun dan memilih merantau di kota-kota besar, aku yang telah beberapa tahun tinggal di Jakarta justru seringkali merindukan kebun-kebun itu. Disana ada tanaman-tanamanku. Disana lah aku mendapatkan kembali sebuah ketenteraman hati. Jiwaku seolah menyerap kesegaran dan kesejukan dari setiap pepohonan yang tumbuh menghijau di kebun-kebun itu.
Terkadang ada teman yang menganggap aneh hobiku itu. Wajar saja, mereka mungkin belum pernah merasakan betapa asyiknya berkebun, sedang aku telah biasa bermain-main disana sejak kecil dulu. Mungkin juga mereka mempunyai hobi lain yang juga tak bisa tergantikan sebagaimana hobi berkebunku.
Ah, biarkan saja. Aku bertekad untuk terus menghijaukan kebunku itu dan akan berkunjung kesana tiap kali liburan tiba.
***
Aku cukup beruntung karena kebunku berada di kawasan selatan. Di kawasan utara, petani dan pekebun disana kini tengah terancam dengan dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang konon kabarnya akan menjadi PLTU terbesar di Asia Tenggara. Pembangunan itu akan mengubah lahan pertanian warga dan kawasan konservasi perairan laut daerah (KKLD).
PLTU itu akan dibangun di lahan seluas 700 hektare dengan kapasitas 2.000 mega watt (MW). Pembangunnya investor dari Jepang. Oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), proyek ini diperkirakan akan mengubah lahan pertanian produktif dan KKLD menjadi kawasan proyek.
Petani di kawasan utara itu kini tengah menjerit lantaran lahan pertaniannya akan dicaplok oleh PLTU. Mereka pun berulangkali mengajukan protes kepada pemerintah. Senin 22 Juli 2013 lalu, beberapa perwakilan dari mereka bersama dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Semarang, dan Greenpeace Indonesia, melakukan aksi protes di depan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta. Mereka menyampaikan penolakan mereka terhadap rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara Batang.
Sebagai sesama warga Batang, tentu aku prihatin dengan peristiwa itu. Apabila benar bahwa pembangunan PLTU itu mencaplok hak-hak warga dan membahayakan ekosistem disana, tentu aku maklum dengan langkah protes yang dilakukan warga.
Aku telah dianugerahi tanah yang subur. Maka, adalah sebuah dosa jika aku tak mengelolanya dengan baik. Aku beruntung tanahku tak tergusur pembangunan PLTU sebagaimana di kawasan utara sana. Maka, cara terbaik mensyukuri nikmat itu adalah dengan menghijaukan kebun yang ada sembari berharap ada solusi terbaik buat saudara-saudaraku di kawasan utara sana.
Bagiku, berkebun itu ada banyak manfaatnya. Pertama, hobiku akan tersalurkan sehingga menyegarkan pikiran. Kedua, hasilnya lumayan. Dan ketiga, turut berkontribusi dalam menjaga keseimbangan lingkungan.
*****
Sumber data pendukung:
Petani dan Nelayan Batang Gelar Aksi Protes di Kedubes Jepang Tolak Pembangunan PLTU, http://www.mongabay.co.id/2013/07/23/petani-dan-nelayan-batang-gelar-aksi-protes-di-kedubes-jepang-tolak-pembangunan-pltu/
Kala Puluhan Ribu Warga sampai Kawasan Konservasi Laut “Dikorbankan” Demi PLTU Batang, http://www.mongabay.co.id/2013/06/09/kala-puluhan-ribu-warga-sampai-kawasan-konservasi-laut-dikorbankan-demi-pltu-batang/
Semua foto hasil koleksi pribadi.