Belajar mengembangkan komunitas energi terbarukan pada Pokja Eduwisata Poncosari, Bantul #LiburanHijau

Menarik jika kita memperhatikan pemberitaan mengenai Indonesia di media Internasional. Khususnya mengenai pergerakan pemerintah dalam menangani permasalahan lingkungan hidup. Mayoritas memang negatif. Mulai dari perburuan binatang langka, kerusakan hutan oleh perkebunan, polusi dari kebakaran hutan dll. Hampir semua lini terekspos. Tak cukup dari luar, dari dalam negri sendiri autokritik terhadap pemerintah dalam berbagai bentuk sudah dilakukan. Dari yang paling halus; memberitakan fakta di lapangan, berorasi di jalan; sampai yang benar-benar militan; mempertaruhkan nyawa.

Gerakan Earth Hour misalnya. Agenda tahunan mematikan lampu satu jam saja secara serentak di seluruh dunia ini mendapat respon positif dari publik Indonesia. Memang belum bisa dikatakan memberikan dampak yang cukup terlihat dalam hitungan angka. Namun, secara psikologis, sedikit banyak masyarakat kemudian mampu melihat sisi positif dari kampanye penghematan energi.

Selain Earth Hour, organisasi Internasional lain yang cukup sering terlihat adalah Greenpeace. Jika Earth Hour dikenal karena kampanyenya yang asik untuk menarik perhatian masyarakat, Greenpeace dikenal dengan kegiatannya yang cukup militan. Organisasi ini memang tidak tanggung-tanggung dalam menjalankan aksinya. Di tahun 2009, organisasi ini disoroti karena menyebabkan produksi minyak kelapa sawit Indonesia di Black list oleh produsen makanan multi nasional[s1]. Laporan resmi mengenai perkebunan kelapa sawit Indonesia yang menghabiskan jutaan hektar hutan hijau penyebabnya. Tak cukup dengan kelapa sawit, Greenpeace juga mengkritik perusahaan kertas yang sama-sama menghabiskan hutan. Tak heran jika kemudian pemerintah Indonesia cukup mewaspadai organisasi ini.

Laporan Greenpeace

Meskipun demikian, kegiatan Greenpeace tak melulu dilakukan dengan frontal. Di tahun 2012, penjaga garis pertahanan lingkungan hidup ini menggandeng Navicula, sebuah Band dari Bali yang terkenal dengan kritik sosial dan kritik lingkungannya dalam ekspedisi ke Kalimantan. Setahun kemudian, ketika Kapal Greenpeace, Rainbow Warrior, melepas sauh di Bali, Navicula dilibatkan dalam pembuatan video klip lagu “Busur Hujan”. Dalam video klip ini, dimasukkan berbagai rekaman kegiatan Greenpeace dan juga sejarah Rainbow Warrior yang sempat diledakkan pada tahun 1985. Pembuatan video klip ini bertujuan untuk menyebarkan semangat positif perubahan lingkungan hidup.

Navicula feat Greenpeace Borneo Tour

 

Busur Hujan

Dari dalam negri sendiri, masih ada Walhi, Kehati, Bina Desa, HUMA, AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). Organisasi non-pemerintah (ornop) ini relatif bergerak dalam green politic yang mengarah pada pembangunan berkelanjutan. Kemunculan organisasi-organisasi ini pada dekade 80-90an berbarengan dengan kejayaan pembangunan orde baru yang tersentralistis. Ukuran keberhasilan pembangunan di saat itu dihitung berdasarkan keuntungan secara materiil tanpa memperhitungkan dampak yang diterima selanjutnya oleh masyarakat. Maka tak heran jika kemudian ornop-ornop pada era tersebut (dan masih ada yang berlanjut sampai sekarang) tidak hanya concern terhadap lingkungan hidup, tetapi juga pada pembangunan yang memuliakan manusia dan seimbang dari sisi budaya, politik, dan ekonomi. Paradigma yang dianut juga tidak diarahkan kepada hidup sesederhana mungkin dan anti pembangunan, tetapi membangun dengan tetap seimbang[s2].

Kritik dan gerakan-gerakan lingkungan hidup ini sendiri bukan tidak ada tanggapan dari pemerintah. Hal ini terlihat dengan posisi Indonesia didaulat menjadi tuan rumah konferensi internasional mengenai lingkungan hidup pada tahun 2010. Konferensi yang diadakan di Nusa Dua Bali ini dihadiri oleh 192 negara. Dalam pertemuan ini, tiga hal utama yang menjadi pembahasan adalah kebijakan lingkungan internasional atauinternational environmental governancedan pembangunan berwawasan lingkungan (sustainable development), serta ekonomi hijau, ekosistem, dan keanekaragaman hayati (the green economy, biodiversity, and ecosystems).

Tapi tetap saja. Sampai hari ini kita masih bisa melihat betapa sebenarnya pemerintah sendiri sekedar menjadikan isu lingkungan hidup sebagai pencitraan belaka. Tiga tahun paska konferensi, kerusakan lingkungan bukan semakin berkurang, tapi justru semakin parah. Dengar-dengar, konferensi itu diadakan agar posisi Indonesia menjadi kuat dalam menawar bantuan yang kemudian terselip di tengah jalan.

Cemara, kincir angin raksasa, dan panel penangkap cahaya. Masuk jauh ke dalam dari Jalan Raya Daendels, dengan garis pasir putih pesisir, ketiganya menjadi penghias pemandangan Pantai Pandansimo, Bantul , Daerah Istimewa Yogyakarta. Di pantai ini berdiri Pembangkit Listrik Tenaga Hibrid (PLTH), gabungan dari tenaga angin dan surya. Sejak pertama kali didirikan pada Juni 2010, pembangkit listrik ini kemudian kemudian mampu berkerja dengan baik di bulan Maret tahun berikutnya.

Dengan bantuan teknis dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) bekerja sama dengan masyarakat setempat, 33 turbin angin dan panel surya 170 telah dioperasikan. Seluruh sistem ini mampu menghasilkan tenaga listrik sebesar 77 kW.

Dengan dukungan dari pemerintah daerah dan Universitas Gadjah Mada, PLTH ini diklaim sebagai yang terbesar di Indonesia digunakan untuk sektor pariwisata, pertanian, dan perikanan, yang dikembangkan oleh masyarakat.

Sebagian besar energi listrik yang dihasilkan digunakan untuk produksi es batu. Masyarakat pesisir hidup sebagai nelayan memanfaatkan es untuk menyimpan ikan segar. Adapun petani, listrik digunakan untuk daya pompa air untuk irigasi dalam bidang pertanian mereka, sebagian besar di atas pasir. Petani udang membutuhkan listrik 24 jam untuk daya blower di tambak udang. Perikanan air tawar juga menggunakan listrik untuk sirkulasi air[s3].

Dari segi pariwisata sendiri, Pembangkit listrik tenaga PLTH ini kemudian menumbuhkan kreatifitas masyarakatnya untuk menjadikannya sebagai wahana edukasi. Wahana eduwisata ini dikembangkan oleh Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM bersama pemerintah Desa Poncosari. Dalam pengembangan awal, di tahun pertama, program ini melibatkan Kelompok Tani, Kelompok Sadar wisata, Kelompok Nelayan, Karang Taruna, Perangkat Desa. Kemudian kelompok ini mengerucut kepada kelompok Karang Taruna desa sampai kemudian terbentuk kelompok kerja (Pokja).

Di tahun ketiga, kelompok kerja ini kemudian lebih fokus kepada tema penguatan nilai-nilai komunitas dan kemandirian energi. Hal ini menjadi fokus pengembangan karena memang seringkali yang menjadi masalah ketika sebuah teknologi baru dikembangkan, adalah bagaimana masyarakat mampu memanfaatkan dan juga tidak hanya berfikir sebagai pengguna listrik, tapi juga mendukung tingkat kesejahteraan lingkungan di sekitarnya. Tidak hanya tahu menyalakan lampu dan perabotan listrik, tapi juga paham mengapa kemudian PLTH dianggap perlu sebagai sumber energi yang ramah lingkungan.

Kelompok kerja eduwisata ini bukan tanpa masalah. Klasik sebenarnya, tapi benar-benar terasa. Mulai dari SDM, tingkat kesadaran masyarakat yang belum dapat mengerti, dan juga dana. Tapi memang, pada akhirnya sebuah perjuangan dengan tujuan yang baik kelak akan mendapatkan buah yang baik juga.

Photo by Hermitianta Prasetya
Photo by Hermitianta Prasetya
Photo by Hermitianta Prasetya
Photo by Hermitianta Prasetya
Photo by Hermitianta Prasetya
Photo by Hermitianta Prasetya
Photo by Hermitianta Prasetya
Photo by Hermitianta Prasetya

Di awal tahun 2013, Ketua Pokja eduwisata ini, Nu’man Rifa’i, secara kebetulan dihubungkan dengan seorang freelancer yang memang concern dengan isu lingkungan hidup, Hermitianta Prasetya. Freelancer ini menulis di blog pribadinya[s4] mengenai pembangkit listrik di daerah tempat tinggal Mbahnya, yang kebetulan juga merupakan area cakupan Kelompok Kerja Eduwisata tersebut. Setelah terhubung, mereka berdua seolah bagaikan kayu bertemu api. Permasahan klasik sebelumnya, kemudian secara perlahan terangkat.

Dengan tekad, atau bisa saja dikatakan nekad, Mas Mimit (panggilan akrab Hermitianta) kemudian mengisiasi konser musik yang benar-benar memanfaatkan energi terbarukan ini. Selain bertujuan untuk lebih mengenalkan potensi pariwisata daerah tersebut, Mas Mimit juga diam-diam ingin membuktikan bahwa sebenarnya energi terbarukan mampu menjadi sumber energi yang bukan hanya alternatif tetapi juga menjadi solusi utama di Indonesia. Berbarengan dengan itu juga, Mas Mimit kemudian melakukan kerjasama dengan pihak Earth Hour Jogja.

ENERGI-BARU_2204_web_small-2

Di akhir April tahun 2013, Konser musik yang berjudul “Energi baru, Suara Baru” ini akhirnya berhasil dilakukan. Sebagai bintang utama band dari bali, Nosstress yang memang dikenal dengan kepeduliannya terhadap isu lingkungan. Pada hari itu, daerah Pantai Baru (bagian dari deretan pantai Pandansimo, Bantul), dimana PLTH ini berdiri mendadak menjadi ramai[s5].

Pokja Eduwisata Poncosari mungkin bukan apa-apa dibandingkan dengan LSM, NGO dan juga kelompok komunitas lain yang perhatian terhadap isu lingkungan hidup. Masih sederhana bentuknya, dan juga kecil aksinya. Terlebih penggiatnya hanya sekelompok pemuda desa. Namun ada satu kelebihan yang dimiliki oleh kelompok kerja ini dibandingkan dengan yang lainnya. Hal itu adalah tingkat keterlibatan masyarakat dalam mengembangkan pembangunan yang berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan di Indonesia, dimana posisi masyarakat sebagai inti dari prosesnya seringkali berjalan tidak seimbang. Argumen ini yang kemudian dilontarkan oleh para penebang pohon, penambang liar dan juga pengelola perkebunan di Kalimantan sana. Mereka tahu jika mereka merusak hutan. Tapi jika mereka tak melakukannya, mereka tak bisa makan. Terlebih lagi, mereka melihat perusahaan-perusahaan swasta besar dibiarkan ketika merusak hutan. Kecemburuan ini kemudian menjadi pembenaran ketika pemerintah juga diam saja melihatnya. Karena bagi mereka sendiri, merusak atau tidak, hutan mereka kelak juga akan lenyap. Tak heran jika kemudian hutan semakin cepat habis. Paradoks. Harus memilih apakah yang hilang lingkungan atau manusia yang hidup di atasnya.

Pokja eduwisata Poncosari sendiri menjawab kekhawatiran penulis secara pribadi terhadap ketidakpedulian masyarakat kepada isu lingkungan hidup. Mereka, dengan sedikit pengetahuan mengenai Renewable energy, Environtmental Development, Green Economic, mau dan mampu melihat sisi lain teknologi dan menyelaraskannya dengan kehidupan mereka.

Bagaimana kemudian PLTH yang digadang-gadang sebagai yang terbesar di Asia Tenggara, tidak mampu menyuplai listrik sesuai dengan harapan, tidak membuat masyarakat sekitar kemudian kembali menyalahkan pemerintah. Mereka tidak ikut menyalahkan ketika keberadaan PLTH ini terkonsentrasi pada daerah tertentu saja (meski keberadaannya memakan lahan sekitarnya) lalu sulit untuk dicontoh di daerah lain yang pada awalnya berniat mengembangkan energi terbarukan, tapi ujung-ujungnya mundur.

Apa yang mereka lakukan, sebenarnya menunjukkan inti permasalahan isu lingkungan hidup yang sering terdengar di media Indonesia. Kita sudah sering melihat isu lingkungan hidup disuarakan. Kita juga sudah sering melihat masyarakat yang putus asa, kemudian tersulut emosi untuk memunculkan konflik. Apalagi pemberitaan mengenai kebrobokan dan juga kekerasan secara terstruktur yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kedua elemen yang disebutkan sebelumnya. Masyarakat sendiri masih merasa bingung terhadap pemerintah, kelompok pendukung lingkungan hidup, dan juga apa yang harus mereka lakukan ketika melihat hal-hal tersebut.

Jika dirunut, pemerintah memiliki kekuatan untuk mengorganisir. Kelompok pendukung lingkungan hidup sendiri, memiliki kekuatan untuk mengadvokasi dalam skala global guna mengawasi pemerintah. Satu-satunya yang membuat keduanya tidak terhubung adalah putusnya pemahaman kepada masyarakat.

Kedua hal yang disebutkan sebelumnya seringkali sulit dipahami oleh akar rumput. Selain itu, cakupan wilayah Indonesia yang cukup luas, pada akhirnya cenderung membuat kampanye isu lingkungan hidup cenderung terpusat di daerah tertentu, dan kemudian terkesan eksklusif. Pada akhirnya, kampanye-kampanye ini menjadi tren semata. Masyarakat Indonesia, yang tingkat kesejahteraan hidupnya mayoritas masih dibawah rata-rata, menjadi apatis terhadap kampanye-kampanye ini.

Memang sekilas terkesan hanya melempar tanggung jawab dan menyalahkan, namun kritik terhadap kelompok pendukung lingkungan hidup dan pemerintah ini dirasa perlu, karena sayang jika potensi yang ada, tak memunculkan hasilnya (baik terhadap masyarakat dan juga lingkungan). Butuh waktu yang tidak sebentar, satu hal yang menjadi persoalan ketika pendanaan dan SDM yang ada tidak cukup. Maka disini diperlukan edukasi, dan berbagi posisi dalam organisasi dan juga advokasi. Semuanya dilakukan di akar rumput, bersama-sama masyarakat. Tidak harus menunggu konflik, melihat dan sekedar menjadikannya komoditas tontonan dan bahan untuk saling menyalahkan.

Artikel yang diterbitkan oleh