, ,

Ragam Cerita dengan Bersepeda: #LiburanHijau yang Menarik Perhatian

Bersepeda bagi sebagian orang telah lama menjadi rutinitas sehari-hari. Kadang dianggap kuno, tapi semakin dicari. Biasanya jadi hobi, tapi tak jarang justru dikasihani. Ada yang menggunakannya sebagai alternatif sarana transportasi, ada yang sekadar hiburan dan olahraga selingan, termasuk trend masa kini.

Awal tahun selalu jadi energi baru untuk memulai petualangan. Pedal dikayuh, dan cerita dimulai. Saya bersama teman saya, Septi, sepakat menggunakan tagar Bike for Life Indonesia untuk gowes Yogya – Jakarta. Memulai bersepeda, ke manapun itu, telah nyata menghasilkan pengalaman baru. Ketika bersepeda, segala yang kita saksikan terasa lebih detail, seolah berada dalam sebuah film dengan efek low motion. Pada momen-momen itulah, biasanya menemukan pemandangan baru yang di luar biasanya. Dan kita memiliki kesempatan untuk melihatnya lebih jelas, atau bahkan singgah dan mengobrol dengan berbagai jenis manusia di seputar perjalanan.

Mengapa harus bersepeda jarak jauh ya?

Seperti yang diberitakan Mongabay dalam kartun lingkungan, meraih perhatian publik dalam upaya membangun kesadaran terhadap isu lingkungan, seringkali bukanlah sebuah hal mudah. Meskipun dampak kerusakan lingkungan sudah dirasakan dalam segala aspek, namun kesadaran publik terhadap alam di sekitar belum juga tergugah. Butuh upaya ekstra yang kadangkala memeras energi untuk meraih perhatian dari masyarakat yang menjadi target kampanye.

Mengayuh ke Senggigi, kampanye sepeda tempo dulu yang malu-malu. Kini, di Mataram sudah ada jalur sepeda.
Mengayuh ke Senggigi, kampanye sepeda tempo dulu yang malu-malu. Kini, di Mataram sudah ada jalur sepeda.
khas anak muda, posternya seperti aksi demo
khas anak muda, posternya seperti aksi demo
aksi!
aksi!

 

 

 

 

 

Kartunis asal India, Rohan Chakravarty, berhasil melakukan langkah yang kreatif sehingga menarik perhatian banyak pihak dan berbagai kalangan. Kekhasan kartun green humour menjadi daya pikat dengan substansi materi yang mengedukasi, juga kontemplatif. Suatu berita bagus yang membuat kita lebih optimis akan masih adanya insan-insan kreatif yang peduli dengan lingkungan 🙂

Menyelesaikan etape Jogja-Jakarta, Bali-Lombok pada tahun sebelumnya, Jogja-Jawa Timur ketika mudik, menyisakan cerita-cerita tersendiri. Bersepeda dengan rute jarak jauh atau biasa dikenal dengan sebutan bike touring, bikepacking, adalah satu hal yang menarik perhatian massa. Hal yang biasa tidak lagi menarik. Karenanya harus berusaha keluar dari kelaziman pada umumnya. Lebih dari itu, kami memang menyukai perjalanan panjang. Ibarat kata mantan presiden AS, John F. Kennedy:

“Tak ada kesenangan sederhana yang bisa dibandingkan dengan naik sepeda.” 😀

Suatu kali dalam waktu singgah kami di Cirebon, seorang bapak bertanya, “gowes sampe Jakarta?” “Hehe, insyaAllah Pak.. Mumpung liburan, liburan sehat.” Celetuk saya membalasnya.

Apa sih yang bisa dilakukan anak muda sekarang? Kontributif dong.

Bike for Life. Sepeda untuk kehidupan. Saya tidak mengatakan ini sebuah gerakan melawan pemanasan global. Sebab urusan lingkungan tidak bisa serta merta selesai dengan gerakan bersepeda saja. Perlu ada langkah-langkah masif yang terorganisasi dengan rapi, dukungan dari pemegang kebijakan untuk menegakkan regulasi yang benar dan sehat, ilmuwan-ilmuwan, para akademisi, yaitu mereka yang lebih paham dengan ide dan teknis efisiensi energi, sumber daya, pengurangan emisi, dan sebagainya.

Belakangan, sembari menyelesaikan catatan ini, saya membaca Hot, Flat, and Crowded, sebuah buku serius karangan Friedman tentang menghadapi krisis lingkungan global dan sebagainya. Membaca bab 12-nya mengenai teknis-teknis efisiensi energi di berbagai bidang, yang dikerjakan oleh inovasi perusahaan juga regulasi negara, semakin meyakinkan saya di mana saya mengambil peran. Tentu bukan di situ, tempat insinyur-insinyur cerdas dan peta geopolitik yg sebenarnya masih jauh dari dunia saya.

membaca: menjaga otak untuk selalu bekerja menimba wawasan
membaca: menjaga otak untuk selalu bekerja menimba ilmu

Maka, saya mengambil posisi di sini. Bersepeda. Dan bersama teman-teman saya waktu itu menyebarluaskan gairah peduli lingkungan melalui sosial media yang strategis. Ya, melakukan satu hal lain yang lebih dijiwai, katakanlah itu passion, yang lebih dimampui, dan barangkali lebih berasa kebermanfaatannya, tentu lebih menyenangkan.

bertemu kawan lama, membagi kisah dan inspirasi
bertemu kawan lama, berbagi kisah dan inspirasi

Sebagaimana alam bebas yang tidak bosan dieksplorasi, jalanan juga selalu menyediakan ketertarikan sendiri untuk dinikmati sesuai caranya masing-masing.

Di daerah Cileungsi, Bogor, lepas dari taman Mekarsari, jalanan pada
sore hari begitu padat. Kendaraan-kendaran pribadi tampak mengular panjang dengan pergerakan yang sangat minim. Merasa beruntung, saya dan teman saya bisa berkelok-kelok menembus kemacetan tersebut. Dalam benak kami, seolah hendak menunjukkan gaya hidup sehat dengan alternatif transportasi sepeda seperti yang kami kendarai. Kadang, sembari lalu lalang, orang-orang juga memperhatikan kami. Ada yang menyapa, bahkan ada yang meneriakkan kata penyemangat.

sepeda selalu punya cara untuk menembus antrian kemacetan, di Legian, Bali
sepeda selalu punya cara untuk menembus antrian kemacetan, di Legian, Balibali kuta

Kadang, sembari lalu lalang, orang-orang juga memperhatikan kami. Ada yang menyapa, bahkan ada yang meneriakkan kata penyemangat.

semangat melambaikan tangan di jalur pantura
semangat melambaikan tangan di jalur pantura

Sebelum itu, di jalanan jelang terminal Tegal yang kami lalui, tampak TPA sampah yang tumpah ruah. Lazim, tapi memprihatinkan. Air lindi yang menggenangi sampah akibat hujan terus-menerus menambah tercemarnya udara oleh polusi bau yang menyengat. Hal ini sedikit mengingatkan kita pada komitmen untuk melaksanakan prinsip 3 R (reduce, reuse, recycle) terhadap sampah. Salah satunya diwujudkan dengan mengurangi penggunaan sampah plastik dan menggunakan barang daur ulang.

tas daur ulang produk kemasan, awet, dan unik :)
tas daur ulang produk kemasan, awet, dan unik 🙂tas recycle

selalu dibawa ke mana-mana 🙂

tas sampah yg setia

 

Pernah suatu ketika saya dan teman-teman bersepeda ke Bali. Selepas dari Gilimanuk, terus mengayuh menuju Melaya, membelah hutan di Taman Nasional Bali Barat. Tampak pepohonan dan semak-belukar yang cukup rapat di sebelah kiri. Sementara sebelah kanan jalan, terdapat beberapa spot yang biasanya digunakan untuk perkemahan. Apalagi, udara pagi di situ sangat sejuk. Kiranya tumbuhan hijau sedang aktif berfotosintesis dan menyumbangkan banyak oksigen yang kita hirup dalam-dalam. Yang menarik lagi, di seputar hutan itu terdapat pula pura-pura kecil tempat meletakkan sesajen. Sangat khas Bali, suatu pemandangan langka yang tidak mudah dijumpai di hutan atau taman lain tentunya. Bisa jadi, hal ini mengacu pada pengelolaan taman nasional berdasarkan sistem zonasi yang diterapkan di TNBB, yaitu adanya zona budaya, religi, dan sejarah.

selepas dari Taman Nasional Bali Barat
selepas dari Taman Nasional Bali Barat

 

Oh ya, baru-baru ini, saya berkesempatan ekspedisi di Banggai, Sulawesi Tengah selama empat bulan. Menyaksikan sabana dan hutan-hutan di sana menghadirkan kesan tersendiri yang membuncah. Di sana, saya terpaksa menahan dahaga saya terhadap hobi bersepeda karena kontur topografinya yang berkelok-kelok dan penuh tanjakan. Masyarakat juga jarang yang mempunyai sepeda. Hanya sesekali saya bisa bersepeda dan mencari daerah yang cenderung landai.

menjajal sepeda di Banggai, Sulteng
menjajal sepeda di Banggai, Sulteng

sabana

Namun, menikmati keelokan tanah air, sayangnya juga menyisakan keprihatinan. Habitat di hutan terancam terdesak oleh ekspansi lahan. Apalagi, di

daerah yang memiliki kekayaan tambang seperti Sulawesi. Pulau yang bentuknya menyerupai huruf K ini dikenal dengan kekayaan nikelnya yang mencapai 80% dari seluruh total yang dihasilkan di Indonesia. Tidak heran jika rawan dengan konflik agraria dan memunculkan permasalahan sosial yang kompleks. Beberapa kali saya mendengar cerita warga di sana tentang ditutupnya perusahaan tambang emas yang memakan korban jiwa karena konflik rebutan antar-warga. Atau demonstrasi sampai pemboikotan jalan di perusahaan. Pun terbitnya moratorium hutan. Belum lagi cerita tentang ekspansi lahan sawit yang belasan ribu hektar. Sebuah keluarga di daerah transmigran di sudut Banggai, terpaksa hidup nomaden. Mereka pindah dari rumahnya karena sudah tidak bisa lagi berkebun dengan leluasa. Pasalnya, menurut keterangan mereka lahan sudah tidak bagus akibat eksplorasi migas dan terdesak perluasan perkebunan sawit milik perusahaan. Kini mereka tinggal di gubuk kecil di kecamatan lain, berjarak lima jam dari rumahnya semula. Di sana, mereka tekun menyambung hidup dengan berkebun di lahan pinjaman.

Lain daripada itu, satu hal yang menarik saya jumpai pada suku Bajo yang dikenal sebagai masyarakat pelaut yang tinggal di pesisir. Mereka berada di perkampungan padat, desa Jaya Bakti, di tepian Teluk Tomini. Saat mengobrol dengan mereka untuk menggali informasi mengenai kearifan lokal, anak-anak tiba-tiba menunjuk sesuatu dari kejauhan. Apa gerangan di sana? Tampak di seberang di bukit yang tinggi, hutan gundul yang merah akibat nikel yang belum direklamasi. Asumsi saya, mereka seolah sedang menunjukkan bahwa mereka prihatin dan tidak sepakat dgn hal tersebut. Bisa jadi, hal-hal seperti itulah yang menurut keyakinan orang Bajo bahwa di daratan banyak setan yang jahat. Ya, saya mencoba memahami logikanya yakni ‘setan’ (dalam tanda kutip).

pemandangan lahan dan aktivitas penambangan nikel
pemandangan lahan dan aktivitas penambangan nikel (foto diambil dari sini)
sebagian anak suku Bajo yang menunjukkan tanah perbukitan tambang nikel di belakangnya
sebagian anak suku Bajo yang menunjukkan tanah perbukitan tambang nikel di belakangnya

Pada akhirnya, tiap #liburanhijau dan sehat saya ini hanyalah pemantik yang diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran-kesadaran selanjutnya. ‘Sepeda untuk kehidupan’, rasanya terlalu utopis. Tapi tidak. Dengan bersepeda, merupakan satu langkah awal, stimulan, untuk memunculkan kepekaan akan masalah lingkungan yang dapat diagendakan solusinya, baik secara individu, kelompok masyarakat, bahkan gerakan yang lebih luas. Bersepeda, mengamini ujar teman saya, Ajeng, bahwasanya merupakan kegiatan yang dengannya semua akan melambat. Terdapat beragam aktivitas manusia sekaligus benda mati apa pun yang kita lihat di sepanjang perjalanan yang membentuk deretan fenomena. Pada momen-momen seperti itu biasanya kita bisa berpikir lebih dalam, lebih menghargai alam dan kemanusiaan.

Hal-hal semacam itulah, yang menurut saya tidak lagi hanya didapat dari gunung, dari pengasingan dan kontemplasi panjang dan perjuangan heroik yang semakin langka dan mahal untuk dilakukan. Sementara bersepeda, bisa dilakukan lebih fleksibel, sekaligus menjadi gaya hidup sehat yang mengakrabkan satu sama lain.

menjaga konsistensi dengan bersepeda di jogja
menjaga konsistensi dengan bersepeda di jogja

Gerakan liburan sehat demi merasai kehidupan yang lain, yang memang tak senyaman di rumah, tapi menghangatkan jiwa-jiwa yang haus akan petualangan dan kearifan.
Menyaksikan fenomena di sepanjang perjalanan, mengecap keterbatasan, iba hati dan mengasah kompromi dengan kawan. Tiap etape perjalanan adalah hal menemui kebaikan hati manusia, menyambung silaturahim, juga memelihara harapan hingga keterwujudan.
Di mana ada diri yang tak lelah mencari, di sanalah sejumput pengalaman selalu tak habis untuk dibagi.

Ah, senangnya. Liburan hijau berarti menerapkan go green, di antara waktu kita menyenangkan diri dengan tetap menjaga kepekaan indera terhadap lingkungan hidup dan sosial. Tuntas, tapi terus dahaga. Mau pergi lagi ke mana?

 

Referensi:
http://www.mongabay.co.id/2013/07/30/kartun-lingkungan-upaya-meraih-perhatian-publik-lewat-gambar-lucu/

http://www.mongabay.co.id/2013/07/28/nasib-miris-hutan-mangrove-disulap-jadi-tambak-hingga-kebun-sawit/

http://www.mongabay.co.id/2013/06/20/pertambangan-liar-menabur-racun-sosial-dan-lingkungan-di-indonesia/

http://www.tnbalibarat.com/

Artikel yang diterbitkan oleh
,