Kunjungan Terakhir Sang Panglima

“Kemana mereka? Sudah seminggu kita di sini namun tak satu pun ketemu?”.
“Sabarlah beberapa hari ke depan Panglima akan menampakkan dirinya”, Kana menjawab kerisauan Nadif sambil menyeduh kopi.
“Daripada kau risau, nikmati saja kopi ini dan kita nikmati malam-malam penantian ini”. Kana menyodorkan secangkir kopi pada Nadif.
Malam itu bulan hanya tampak seperempat. Sangat Pekat. Dengan hanya diterangi lampu kapal. Sesaat mereka larut dalam sunyinya malam dan pahitnya kopi. Tak ada lagi roti yang menemani. Perbekalan semakin menipis.
“Kalaulah ia tak jua muncul dalam tiga hari ini, kita harus keluar”. “Tak ada lagi perbekalan dan aku sudah rindu pada Ibuku”, ujar Nadif.
“Ya, aku tahu kau rindu pada siapa.”
“Kau merindukan Purnama”. Kana tersenyum dan melirik Nadif.
“Tidak. Aku hanya ingin bertemu Ibu dan membantunya berjualan.”
“Baiklah. Aku sangat percaya kau menyayangi ibumu. Tapi…..”
“Tapi kenapa!” Nadif menatap Kana.
“Aku hanya ingin kau mengakhiri masa bujanganmu.”
“Ya. Ibuku pun selalu menanyakan hal itu. Tapi…..”
“Tapi kenapa!” kali ini Kana yang menatap tajam Nadif.
“Kasih tahu ngak ya…..”
“Ahh….payah ngomong sama kau.” Kana menghirup dalam kopinya.
Nadif dengan santai menuruni anak tangga pos pengintaian mereka untuk membuang air kecil.
“Hati-hati kau. Lihat kanan kiri!” Kana mengarahkan senternya ke bawah.

Jarum jam telah menunjukkan angka dua dini hari. Kabut tipis mulai muncul. Udara dingin menusuk tulang. Suasana begitu hening tanpa simponi jangkrik ataupun tiupan serupa saxophone oleh sang kodok memikat betinanya.
“Kurasa kita sudah bisa tidur. Tampaknya dia tidak berkunjung hari ini.” Nadif memecah keheningan.
“Kita bangunkan saja Anto dan Husni, siapa tahu dua anak hutan ini bisa memancingkan kedatangannya”, jawab Kana sambil menguap.
Kana melangkah ke sudut ruangan.
Pos pengintaian mereka hanyalah bilik berbentuk kotak seukuran dua shaf shalat. Atap dan dindingnya terbuat dari terpal biru. Bilik ini disangga oleh tiang-tiang kayu setinggi enam meter di atas permukaan tanah. Ketinggian ini dibuat untuk melindungi mereka dari terkaman Panglima yang dapat melompat hingga ketinggian empat meter. Sebenarnya seekor harimau dapat menerkam mangsanya dengan lompatan sejauh sembilan meter. Mudah-mudahan saja mereka tidak menemui harimau sehebat itu.
Setelah beberapa kali mengguncangkan tubuh mereka, akhirnya Anto dan Husni terbangun. Segera saja Nadif dan Kana menenggelamkan diri dalam sleeping bag.
Nadif beserta tiga temannya adalah aktifis lingkungan khususnya binatang buas seperti Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae). Mereka mendirikan organisasi lokal dan bermitra dengan sebuah NGO Internasional. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kepedulian dan kegelisahan mereka akan nyaris punahnya Harimau Sumatera di muka bumi. Kabupaten Labuhanbatu mereka yakini sebagai salah satu rumah yang tersisa bagi Harimau Sumatera. Jumlahnya pun diperkirakan hanya tinggal 10 ekor.
Menurut beberapa sumber, di dunia ada sembilan jenis harimau. Tiga jenis harimau bahkan telah punah yaitu Harimau Jawa, Harimau Bali dan Harimau Kaspia. Enam jenis yang tersisa terancam punah. Hal inilah yang menguatkan tekad mereka untuk mendata dan melestarikan Harimau Sumatera yang ada di Labuhanbatu.
Dua jam setelah Anto dan Husni berjaga. Tiba-tiba lampu trap menyala.
Mereka memasang trap sejenis perangkap untuk mendeteksi kedatangan harimau. Alat ini sangatlah sederhana, hanya beberapa utas tali yang dihubungkan dengan patok-patok kayu dan switch lampu. Jika harimau memasuki trap maka lampu akan menyala di empat titik di sekitar pos pengintaian. Lampu ini akan menjadi alat bantu mereka melihat dan merekam kedatangan sang Panglima.
“Dia datang….. dia datang” Anto mulai panik.
“Cepat kau bangunkan Nadif dan Kana” teriak Husni.
Masih dalam keadaan panik Anto membangunkan kedua temannya.
Bagai diterkam harimau Nadif dan Kana segera melepaskan sleeping bag mereka.
Nadif dengan cekatan mengambil Kamera DLSR dari ranselnya. Matanya menyapu ke arah sorot lampu. Sepasang mata berkilauan tampak dikejauhan. Hampir saja ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Jemarinya bergetar mengatur ISO, diafragma dan kecepatan lensa untuk membidik objek.
Husni mengarahkan senter pada sepasang mata.
Kana memegang senapan untuk berjaga.
Anto duduk bergetar di sudut ruangan.
Tak ada suara. Semua mata menatap pada sepasang matanya.
Setelah beberapa saat lamanya mereka berpandangan. Sepasang mata itu menghilang dalam pandangan mereka.
“Akhirnya” Anto berkata lirih dan merebahkan tubuh di atas lantai kayu.
Nadif dan Anto meletakkan senjatan mereka dan bersujud.
Kana masih mengarahkan senter ke semak belukar di depan mereka.

“Setelah sarapan sebaiknya kita berkemas dan membenahi semua perlengkapan. Pengamatan kita sudah cukup.” Ujar Kana usai menuntaskan butir nasi terakhir. Piringnya bersih dan sepertinya tidak perlu dicuci. Ia selalu mengingatkan mereka untuk makan dengan bersih.
Sebetulnya Kana baru-baru saja melakukan kebiasaan ini setelah membaca poster sebuah NGO kemanusiaan yang mengingatkan begitu berharganya sebutir nasi bagi saudara-saudara kita yang kelaparan di berbagai belahan bumi.
“Jangan lupa Kau posting foto-foto Panglima di Situs kita. Kau tag jugalah di facebook dan Twitter biar kawan-kawan tahu”, ujar Kana sambil membereskan piring dan mangkuk mereka.
“Iya. Aman itu.”
“Oh ya. Coba kau telusuri lagi jejak-jejak Panglima. Dokumentasikan biar mantap”, teriak Kana sambil menaiki tangga.
“Ya. Aku mau telusuri jejak-jejaknya. Siapa tahu kita menemukan petunjuk yang lain”. Nadif lalu mengambil kamera DLSR. Dilepasnya lensa tele EF 75-300 mm yang merekam peristiwa malam tadi. Lensa kit segera dipasang. Bagaikan kijang dia melesat menyusuri belukar dengan menenteng kamera.

“Mana Nadif?” teriak Husni dan pada Kana.
“Dia memotret jejak Panglima” jawab Kana tak kalah keras sambil terus membenahi peralatan.
“Ayo kita lihat jejaknya.” Husni menarik tangan Anto yang sedari tadi hanya diam dan larut dalam kenikmatan mie instan.
Beberapa saat melangkah ke Barat, Husni menunjukkan jejak-jejak Sang Panglima.
“Subhanallah. Gagah kali Panglima ini. Kakinya menapak dengan tegas di balik pepohonan perdu. Tak sia-sia kita bertahan seminggu di hutan Panai ini.” Husni mengamati dengan serius.

‘Aih, ternyata ada dua tapak harimau.’ Seru Nadif dalam hati setelah beberapa ratus meter menelusuri jejak.
‘Mungkin ini betinanya, tapaknya lebih kecil,’ katanya dalam hati. Dengan sigap dibidiknya kamera pada tapak-tapak tersebut. Kali ini ia akan membuat exposure tinggi. ‘Ini perjalanan yang berbuah hasil’ gumannya.
Setelah puas memotret jejak-jejak tersebut, Nadif kembali memutar arah dan siap melangkahkan kakinya menuju basecamp.
“Astaghfirullah. Mau putus jantungku.” Teriak Nadif sesaat setelah membalikkan badan. Tiba-tiba saja Husni dan Anto berdiri di hadapannya.
“Santai Bro”. Husni tersenyum.
“Kau lihat tapak-tapak ini.” Nadif kemudian mengarahkan telunjukkan pada tapak-tapak kaki di depannya.
“Subhanallah. Panglima ditemani she tiger” Husni berseru kagum.
“Ya. Aku juga berpikir demikian.”, ujar Nadif sambil sekali lagi mengatur komposisi dan membidikkan kamera.
“Aku rasa dia sengaja menemui kita” ujar Nadif setengah berbisik.
***

“Kalian baca ini!” ujar Anto sambil meletakkan Koran Pos Ranto di meja.
Husni segera menyambar koran.
Kepolisian Labuhanbatu, Sumatera Utara, Rabu (20/5), menyita dua lembar kulit harimau yang dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dari rumah Suparno (60), warga di kawasan Sei Berombang, disita dua buah kulit Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae). Suparno adalah pengrajin kulit yang biasa menerima kulit satwa untuk hiasan dinding atau dalam bentuk offset (cetak dasar). Sebagian konsumennya adalah pejabat di Jakarta.
Bagi Nadif dan aktifis lingkungan, penyitaan dua lembar kulit harimau itu menjadi tanda matinya dua ekor hewan langka yang masih tersisa di pulau ini.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun”.
“Benar firasatku kemarin,” ujar Nadif lirih.
“Mereka memang sengaja menampakkan diri dan menyapa kita.”
“Kita harus bertindak kawan. Jangan lagi ada pembantaian demi uang dan kesenangan semata”. Kali ini Husni berteriak keras.
“Sabar Bro! Kita harus menyusun strategi dan menjalin kerjasama dengan kawan-kawan di Medan dan Jakarta.” Nadif menenangkan.
“Kawan-kawan di Rantauprapat juga kita libatkan.” Tambah Anto.
“Pemerintah harus tegas dan segera menertibkan perambahan dan alih fungsi hutan.” Nadif segera memainkan jemarinya di atas keyboard mengetikkan pesan singkat. Sejumlah nama di phonebook diceklist dan sent.
Suasana pagi yang cerah di Kedai Kopi Akur, sebuah kedai kopi tempat tongkrongan favorit mereka kini berubah muram. Nadif larut dalam hening dan meneteskan air mata.
Kana yang biasanya tertawa kini membisu sambil meremas-remas tangan.
Anto tampak semakin pucat dan berkeringat.
Husni masih menatap barisan kata di koran, kosong…..

Rantauprapat, April-Juni 2013

Tatang Hidayat
FLP Cabang Labuhanbatu

Artikel yang diterbitkan oleh
,