#KompetisiFotoEssay Melestarikan Tuntung Laut Yang Terancam Punah

Tuntung Laut (Batagur borneoensis) adalah salah satu spesies kura-kura air tawar yang paling terancam punah. Bahkan, Turtle Conservation Coalition menempatkannya di urutan ke-25 kura-kura yang paling terancam punah di dunia (lihat laporannya di sini).

Pada musim kawin – April hingga September – jantan akan berubah warna dari kecoklatan menjadi abu-abu kemudian putih dengan corak 3 garis hitam di tempurung. Sedangkan betina tetap berwarna coklat. Hanya betina yang bermigrasi ke pantai sekitar 3-8 km untuk bertelur. Sedangkan jantan menghabiskan hidupnya di perairan payau dan bakau dengan salinitas rendah.

Tuntung Laut betina sesaat setelah bertelur di pantai. Foto: Joko Guntoro
Tuntung Laut betina sesaat setelah bertelur di pantai. Foto: Joko Guntoro

Menurut sejarahnya, spesies ini tersebar di pantai timur Pulau Sumatera, Kalimantan dan Semenanjung Malaysia. Namun, studi beberapa tahun terakhir mengkonfirmasi terjadinya kepunahan lokal. Faktor yang menyebabkannya adalah perburuan telur untuk konsumsi dan perdagangan yang masih berlangsung hingga saat ini, massifnya perburuan individu dewasa untuk pasar konsumsi di dekade 1980-an hingga 1990-an akhir, kerusakan habitat.

Yusriono, anggota tim patroli pantai Yayasan Satucita, mengukur kedalaman sarang bertelur. Foto: Joko Guntoro
Yusriono, anggota tim patroli pantai Yayasan Satucita, mengukur kedalaman sarang bertelur. Foto: Joko Guntoro

Upaya pelestarian telah mulai dilakukan melalui menyelamatkan telur di pantai dari aktivitas pengambilan oleh masyarakat. Biasanya, tiap sarang berisi 12 hingga 24 butir. Telur dipindahkan ke kotak gabus berisi pasir dengan kedalaman sekitar 15 cm. Satu kotak untuk satu sarang. Telur akan menetas dalam 72 hingga 118 hari. Waktu penetasan ini sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Sebagaimana umumnya pada chelonian, kelamin tukik akan bergantung kepada tinggi rendahnya suhu (temperature sex determination), diduga demikian pula pada Tuntung laut. Pada suhu 22,5 hingga 27 derajat celcius akan menghasilkan tukik jantan, sementara melebihi 30 derajat melahirkan betina. Sedang dilakukan studi untuk membuktikan hipotesa ini. Jika terbukti, maka dipastikan bahwa perubahan iklim akan berdampak negatif terhadap spesies ini.

Tukik Tuntung laut menetas. Foto: Joko Guntoro
Tukik Tuntung laut menetas. Foto: Joko Guntoro

Setelah menetas, tukik dibesarkan di kolam pembesaran sekitar 6 bulan sebelum dilepaskan ke habitat. Untuk menjaga perilaku alami tukik agar ia dapat bertahan hidup di alamnya, selama di kolam tukik diberi pakan sealami mungkin. Buah berembang (Sonneratia sp.) dan cincangan udang adalah prioritas, sedangkan kangkung (Ipomoea sp.) dan pelet merupakan selingan. Selama dibesarkan, rata-rata pertumbuhan panjang tempurung adalah 5,6 cm, sementara lebar dan beratnya mencapai 4,7 cm dan 180 gram. Pada Oktober 2013, sebanyak 77 tukik yang memiliki rata-rata panjang tempurung 11,3 cm dilepaskan kembali ke habitatnya.

Tukik Tuntung Laut di kolam pembesaran. Foto: Joko Guntoro
Tukik Tuntung Laut di kolam pembesaran. Foto: Joko Guntoro

Pada musim bertelur November 2013 hingga Januari 2014 berhasil diselamatkan sebanyak 328 telur dari 20 sarang. Banyak pula sarang yang terlebih dahulu dipanen oleh nelayan. Kini, telah menetas sebanyak 18 tukik. Namun, dikarenakan penetasan tidak menggunakan inkubator listrik, tahun ini diliputi kehati-hatian. Suhu rata-rata yang tercatat sekitar 33 derajat menyebabkan banyak telur mengalami dehidrasi dan gagal menetas. Efek negatif meningkatnya suhu telah (mulai) terasa bagi kelestarian Tuntung laut (?).

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,