Pekanbaru (16/4/2014), Kisah pembantaian Gajah Sumatra seakan menjadi topik yang tidak habis-habisnya dibicarakan dikalangan pemerhati lingkungan. Bagaimana tidak, rentetan kisah pembantaian mamalia bertubuh besar ini seakan terus berlangsung sejalan dengan penghancuran ‘rumahnya’ di Riau. Pada tanggal 14 Maret 2014 yang lalu, Mongabay melalui situs resminya menerbitkan sebuah berita pilu tentang kembali ditemukannya Gajah Sumatra yang telah menjadi tulang belulang di area konsesi perkebunan salah satu perusahaan pulp & paper. Ironisnya, gajah tersebut merupakan gajah yang dipasangi kalung pemantau (GPS Radio Collar) untuk kepentingan penelitian pola pergerakan, penggunaan habitat dan wilayah jelajahnya oleh WWF Indonesia. Hal ini menambah rentetan panjang catatan pilu konservasi hewan bertubuh bongsor ini di Riau.
Berdasarkan data WWF Indonesia, selama kurun waktu 2006 hingga maret 2014 telah ditemukan 114 kasus kematian Gajah Sumatra di Riau. Angka tersebut bukanlah angka yang sedikit mengingat status populasinya yang kian menyusut. “Berdasarkan hasil penelitian kita pada tahun 2009 populasi Gajah Sumatra di Riau berjumlah sekitar 300-330 individu”, terang Syamsidar humas WWF-Indonesia Program Riau. Tingkat mortalitas yang tidak sebanding dengan natalitas mengakibatkan ancaman kepunahan semakin dekat dengan hewan yang kini telah berstatus critically endangered.
Pengalih fungsian lahan merupakan salah satu penyebab meningkatnya kasus kematian gajah di Riau, perubahan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan mengakibatkan tumpang tindihnya kebutuhan habitat gajah di Riau. Kebutuhan habitat yang cukup besar memaksa Gajah Sumatra untuk memasuki lahan perkebunan yang menjadi pemicu konflik antara manusia dan gajah. Ekspansi perkebunan pada hutan alam seakan tidak terbendung dengan aturan-aturan yang berlaku. Dalam catatan akhir tahun Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), tercatat bahwa telah terjadi pengalih fungsian hutan alam di Riau seluas 0,5 juta hektar selama kurun waktu 3 tahun (2009-2012). Hal ini tentu menjadi catatan buruk konservasi gajah di Riau, mengingat daerah jelajahnya yang cukup besar. Sebagian besar hutan alam di Riau telah menjelma menjadi pemukiman maupun lahan-lahan perkebunan, baik itu Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun perkebunan sawit.
Terdapat sembilan kantong gajah yang tersebar dibeberapa kabupaten di Provinsi Riau, diantaranya Pelalawan, Kampar, Indragiri Hulu, Bengkalis, Rokan Hulu dan Kuantan Singingi. Taman Nasional Tesso Nilo yang terletak pada dua kabupaten, yaitu Pelalawan dan Indragiri Hulu merupakan salah satu habitat Gajah Sumatra di Riau yang dinilai paling baik dan cocok untuk konservasi Gajah Sumatra pun kini diambang kehancuran. Dengan statusnya sebagai Taman Nasional dan telah ditetapkan sebagai Pusat Konservasi Gajah (PKG) oleh menteri kehutanan Zulkifli Hasan pun kini kondisinya semakin memprihatinkan, sepanjang tahun 2013 WWF Indonesia mencatat 13 kasus kematian gajah di sekitar Tesso Nilo. Hal ini harusnya semakin menguatkan upaya-upaya konservasi Gajah Sumatra disertai dengan penegakkan hukumnya ,“Hasil survei serta prediksi kita, wilayah Tesso Nilo kini hanya menyisakan 100-150 individu Gajah Sumatra”, tutur Wishnu Sukmantoro ahli konservasi dan habitat WWF Indonesia Program Riau.
Kasus kematian gajah di Riau diprediksi akan semakin meningkat. Begitu juga dengan blok hutan Libo yang terdiri dari Suaka Margasatwa Balai Raja, kawasan ini menduduki peringkat kedua sebagai kawasan yang memiliki individu gajah terbanyak setelah Tesso Nilo. Akan tetapi, kondisinya tidak sebaik dengan Tesso Nilo, hutan alam yang tersisa di Suaka Margasatwa Balai Raja ini tidak sebanding dengan jumlah individu gajah yang harusnya ada, “Dengan jumlah individu sekitar 35-40 individu menjadikan Suaka Margasatwa Balai Raja sebagai kawasan yang memiliki jumlah gajah cukup banyak setelah blok Hutan Tesso Nilo, akan tetapi kondisi ini tidak sebanding dengan tutupan hutan alam yang tersisa, kawasan ini hanya menyisakan sekitar 120 hektar dari luasnya yang mencapai 18.000 hektar. Saking sempitnya hutan di Balai Raja gajah-gajah tersebut kerap kali masuk ke pemukiman-pemukiman masyarakat”, tutur Syamsidar.
Tingginya angka kematian gajah yang selama ini diidentikkan dengan perburuan gading seakan di dukung dengan tingkat deforestasi hutan yang kian meningkat. Pemburu-pemburu gading memanfaatkaan momen deforestasi sebagai ‘kambing hitam’ untuk memuluskan usaha-usaha perburuan ini. Mongabay dengan menggunakan data WWF Indonesia merilis bahwa 59% kasus kematian gajah di Riau terjadi akibat diracun, 19% diduga diracun, 5% ditembak, dan hanya 1% yang mati akibat faktor alam (mati tua) selama tahun 2004 hingga Mei 2013. Angka tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar kematian gajah disebabkan oleh racun. “Pemburu-pemburu oportunis diduga memanfaatkan isu konflik untuk melancarkan usahanya memburu gajah, sehingga pemburu tidak lagi menggunakan senjata api untuk membunuh gajah, melainkan menggunakan racun, dan kemungkinan menggunakan isu konflik gajah dengan masyarakat”, terang Syamsidar. Hal ini tentu menjadi catatan penting sebagai langkah penanganan kasus kematian gajah di Riau. Praktik perburuan yang tersusun secara sistemastis menyulitkan penelusuran siapa mafia dibalik kisah pembantaian Gajah Sumatra di ‘rumah’ nya sendiri ini.
Deforestasi seakan semakin memuluskan kerja-kerja pemburu gajah, dengan berdalih ‘konflik’, pemburu gading memanfaatkannya untuk membuat pandangan masyarakat terhadap gajah semakin memburuk, kini masyarakat yang memiliki lahan perkebunan disekitar daerah jelajah gajah menganggap gajah adalah hama bagi sawit-sawit mereka. Ironisnya, selama ini belum ada tindakan tegas dari aparat untuk menangani kasus kematian gajah. Dari ratusan kasus kematian gajah, tidak ada satupun kasus yang berhasil diungkap. Hal ini tentu semakin membuat para mafia gading terus melancarkan aksinya. Aparat seakan tutup mata dengan kasus-kasus kematian gajah. “Sejak tahun 2006 hingga kini belum ada satu kasuspun yang berhasil diungkap pelakunya, ini semakin menguatkan anggapan masyarakat bahwa membunuh gajah itu gak apa-apa, toh gak ada yang dihukum, toh gak merugikan kita. Prestasi terbaik dalam upaya mengungkap pelaku pembunuhan gajah hanya sampai ke penyidikan P19, itupun berkas nya dikembalikan kepada pihak PPNS karena tidak lengkapnya berkas-berkas tersebut”, lanjut Syamsidar.
WWF Indonesia telah melakukan langkah konkret dengan menurunkan tim pada periode tertentu untuk terus memantau populasi gajah di Tesso Nilo yang masih menyisakan harapan hidup Gajah Sumatra lebih lama lagi, tim terus memonitoring gajah dan mencatat temuan-temuan yang ditemukan di lapangan. Selain itu, tim ini juga mensosialisasikan tentang pentingnya keberadaan gajah khususnya dikalangan masyarakat yang memiliki kebun sawit disekitar daerah jelajah gajah, yang harus kita sadari adalah menyelamatkan gajah bukan hanya menyelamatkan hidupnya saja, tetapi lebih dari itu. Menyelamatkan gajah tentu harus dibarengi dengan penyelamatan hutan sebagai ‘rumahnya’. Mengingat fungsi hutan yang tidak hanya sebagai tempat tinggal gajah dan makhluk hidup lainnya, tetapi lebih dari itu. Penyelamatan hutan akan menjadi poros pembangunan negara yang mencakup aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya.
Kerjasama multipihak merupakan keharusan dalam upaya konservasi gajah, karena upaya konservasi gajah tidak akan berjalan hanya dari satu pihak. Urgensi konservasi gajah harusnya juga disadari oleh semua pihak. Memandang gajah bukan hanya dari segi ‘gading’ dan ‘hama’ tapi lebih baik dari itu. Tidak ada yang patut disalahkan dalam hal ini, hanya saja semua harus memiliki mindset bahwa ‘harmonisasi’ alam itu harus dicapai. Selamatkan Gajah Sumatra selamatkan hutan Sumatra ! (D.A.Nugraha)