PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR BERWAWASAN LINGKUNGAN DAN KEARIFAN LOKAL UNTUK MENGURANGI POTENSI BENCANA DI ACEH

Penduduk dunia terus bertambah dan sumber daya alam terus dipakai untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Ancaman perubahan iklim juga mempengaruhi kehidupan kita dan masa depan bumi. Bisnis kehutanan meskipun menguntungkan tapi juga sangat menghancurkan sumber daya alam kita. Dibutuhkan regulasi yang baik sehingga efek-efek buruk seperti bencana dapat dihindari. Selain itu, perilaku kehidupan kita juga sangat mempengaruhi tingkat deforestasi hutan yang pada akhirnya akan membawa bencana alam.
Setelah peristiwa tsunami pada 24 Desember 2004 yang lalu, Aceh mengalami proses gebrakan dalam bidang pembangunan. Semua infrastruktur diperbaiki hingga Aceh kembali hidup. Namun, proses pembangunan terlihat fokus pada pembangunan fisik saja tanpa memperdulikan keseimbangan ekosistem. Hingga kerusakan lingkungan kerap terjadi. Hal ini jika terus dibiarkan akan berdampak buruk pada kondisi alam Aceh hingga berakibat negative pula pada perkembangan ekonomi dan sosial masyarakat Aceh.
Aceh merupakan sebuah daerah yang memiliki jumlah penduduk 4,6 juta jiwa dan memiliki kawasan yang sangat kaya akan sumber daya alam (SDA). Tapi kekayaan alam Aceh tidak sesuai dengan keadaan penduduk Aceh yang 19% dari total jumlah penduduknya dalam keadaan miskin (Sumber data: BPS). Padahal, Aceh punya potensi alam seperti hutan, tambang, ikan di laut dan terumbu karang serta aneka flora dan fauna lain yang dapat menjadi sumber penghidupan juga pendapatan bagi masyarakat Aceh jika dikelola dengan baik. Namun, sayangnya sebagian besar sumber daya alam di Aceh lebih banyak dimanfaatkan oleh investor asing dan masyarakat hanya menerima dampak buruk kerusakan lingkungan akibat dari pemanfaatan sumber potensi alam di kawasan mereka.
Saat ini Aceh juga sedang mengalami darurat ekologi. Kerusakan lingkungan yang dimulai dari kerusakan hutan terus terjadi. Tercatat dari luas daratan lebih dari 5 juta hektar, Aceh memiliki kawasan hutan seluas 3,5 juta hektar, namun deforestasi terjadi disebabkan pembukaan lahan untuk pembangunan jalan dan rumah, perkebunan, pertambangan dan penebangan liar menyebabkan bencana dan kerugian yang sangat besar. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, dampak kerugian dari kerusakan hutan yaitu terjadinya banjir dan longsor yang menguras Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) menembus angka lebih dari 800 milyar. Kesalahan pengelolaan sumber daya alam juga telah menjadikan Aceh sebagai kawasan yang rawan bencana. Pembangunan Aceh yang selama ini hanya fokus pada pembangunan fisik saja dan mengesampingkan faktor kestabilan lingkungan. Padahal, faktor lingkungan sangat mempengaruhi kehidupan Masyarakat Aceh.
Padahal, sejak 2008, hingga akhir tahun 2013, Aceh telah menerima lebih dari Rp 100 triliun, yang menempatkan daerah ini sebagai salah satu daerah terkaya dengan tingkat penerimaan perkapita ke lima tertinggi di Indonesia. Proses pelaksanaan pembangunan di Aceh mengalami kendala yang serius ketika tidak ada transparansi dan akuntabilitas yang jelas dalam proses perencanaan dan pelaksanaan sampai evaluasi. Banyak kasus pembangunan yang terungkap ke permukaan, meliputi kasus perencanaan yang tidak baik, penganggaran yang tidak sesuai hingga banyaknya kasus korupsi. Hal ini tentu menjadi suatu kegagalan internal Aceh dalam mengelola pembangunan.
Selain itu, persoalan serius lainnya muncul ketika pembangunan telah dijalankan. Kerusakan lingkungan terus terjadi akibat dari pembangunan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Seperti pembangunan jalan Ladia Galaska yang melintasi Kawasan Ekosistem Gunung Leuser. Banyak kasus yang tidak bisa diungkapkan karena kekuatan perlindungan dan korupsi yang terjadi antar pihak yang terlibat. Bahkan AMDAL saja bisa dibuat dengan tidak benar. Fenomena ini harus sama-sama kita putuskan!
Faktor Penyebab Timbulnya Permasalahan dalam Pembangunan di Aceh
Pembangunan di Aceh sering menjadi proyek mengeruk keuntungan bagi sebagian orang. Padahal, berbagai peraturan tentang pembangunan telah diatur dengan baik oleh pemerintah Aceh dengan visi “Aceh yang bermartabat, sejahtera, berkeadilan, dan mandiri berlandaskan undang-undang pemerintahan aceh sebagai wujud mou helsinki” dan memiliki misi : (1) memperbaiki tata kelola Pemerintahan Aceh yang amanah melalui Implementasi dan penyelesaian turunan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) untuk menjaga perdamaian yang abadi. (2) menerapkan nilai-nilai budaya Aceh dan Nilai-Nilai Dinul Islam di semua sektor kehidupan masyarakat. (3) memperkuat struktur ekonomi dan kualitas sumber daya manusia. (4) melaksanakan pembangunan Aceh yang proporsional, terintegrasi dan berkelanjutan. (5) mewujudkan peningkatan nilai tambah produksi masyarakat dan optimalisasi pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA).
Namun, keadaan di lapangan berkata lain, pada penerapannya, banyak yang tidak berjalan dengan baik. Faktor yang sangat berpengaruh adalah tidak baiknya perencanaan pembangunan yang dilakukan oleh pelaksana pembangunan di Aceh. Terkait perencanaan, banyak hal yang perlu diperhatikan. Pembangunan yang baik yaitu adanya keterlibatan dan hubungan yang sinergis antara pemerintah dan seluruh stake holder sebagai pelaksana. Namun, realisasi dana otsus pada setiap kegiatan prioritas pembangunan justru menuai beragam masalah mulai tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, sehingga mengancam kesejahteraan.
Pemanfaatan dana otsus dalam pembangunan Aceh tidak memprioritaskan kesejahteraan masyarakat. Buktinya, masyarakat sampai saat ini masih dianggap menjadi beban bagi pemerintah. Masyarakat Aceh hanya pintar mengemis! Itu dibuktikan dengan kejadian demo besar-besaran yang dilakukan oleh masyarakat Aceh yang terdiri dari ibu-ibu yang membawa anak-anak mereka dan datang dari seluruh kabupaten/kota di Aceh. Mereka mempertanyakan janji dan hak mereka untuk mendapatkan uang 1 juta/kk seperti yang dijanjikan. Ini mengindikasikan bahwa masyarakat Aceh menjadi beban dan tidak mandiri. Pemerintah seharusnya memakai dana otsus untuk membangun perekonomian masyarakat Aceh dengan mengembangkan ekonomi kreatif yang bersifat berkelanjutan. Misalnya setiap desa dibekali ilmu kewirausahaan dan ekonomi kreatif untuk dapat mengolah potensi daerah masing-masing yang dapat dipasarkan. Aceh merupakan potensi yang sangat potensial jika dikembangkan. Sumber daya alam Aceh dapat menjadi sumber kesejahteraan masyarakat Aceh jika dikelola dengan baik. Tentu dibutuhkan peran dari pemerintah, stakeholder, akademisi dan masyarakat Aceh sendiri untuk sama-sama memikirkan pembangunan di Aceh yang berperspektif lingkungan dan berorientasi pada pengembangan masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat.
Aceh memiliki sumber dana yang sangat banyak untuk pembangunan. Namun sangat disayangkan ketika tidak adanya transparansi dan akuntabilitas yang mengiringi pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pada pembangunan selama ini. Harus ada pihak atau lembaga pemeriksa keuangan yang bekerja dengan baik untuk dilibatkan dalam setiap proses perencanaan, monitoring dan evaluasi proses pembangunan di Aceh. Pemerintah khususnya pihak Anggota Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang membidangi pembangunan dan perhubungan Aceh harus mengontrol dan bekerja dengan baik dan transparan hingga berbagai kasus korupsi dapat diatasi. Begitu juga dengan lembaga lain seperti BPKP, BPK, dan lembaga seperti Peucapp Aceh dan MaTA.
Pembangunan yang Berwawasan Lingkungan dan Kearifan Lokal
Pembangunan di Aceh sudah diiatur dalam peraturan pemerintah Aceh (UUPA dan Qanun), disebutkan bahwa pembangunan di Aceh akan dilaksanakan sesuai mengoptimalkan pelayanan publik, menjaga kelangsungan pembangunan yang berkelanjutan melalui terciptanya supremasi hukum dan penegakan hak asasi manusia. Disebutkan juga bahwa pembangunan terintegrasi dengan berbagai sektor pembangunan secara berkelanjutan melalui berbagai komitmen terhadap pemanfaatan tataruang dan dokumen perencanaan yang telah ditetapkan; pembangunan infrastruktur diseimbangkan
antara RTRWA, RPJPA dan Dokumen lainnya secara merata dan proporsional sesuai dengan kebutuhan dan kemanfaatan masyarakat dengan tetap memperhatikan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan dalam mengantisipasi dampak resiko bencana secara seimbang hingga terwujudnya pembangunan berkelanjutan dengan memperbaiki mutu lingkungan dan meningkatkan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Di Aceh, tata kelola hutan sebenarnya sudah diatur dengan baik kepada imum mukim dan wakil masyarakat lain dari mukim-mukim yang berbatasan dengan hutan. Tapi pada qanun RTRWA tahun 2013, hal tersebut dihilangkan., tidak ada kejelasan peran mukim dalam pengelolaan hutan Aceh. Bahkan tidak terteranya Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam qanun RTRWA sebagai situs warisan dunia yang harus dilindungi mengindikasikan bahwa Pemerintah Aceh tidak mengindahkan visi misi pembangunan Aceh seperti yang telah dibuat sebelumnya. Ini sungguh sangat disayangkan! Berbagai peristiwa bencana yang telah terjadi tidak bisa menjadi pelajaran bagi pemerintah aceh untuk belajar.
Aceh juga punya tantangan untuk mengembalikan kearifan lokal menjaga lingkungan, musyawarah dan mufakat serta rasa gotong royong yang mulai berkurang setelah tsunami. Saat ini massyarakat baru mau berbuat ketika mereka mendapat imbalan. Hal ini terjadi karena faktor pembiasaan yang diterapkan dalam sistem bantuan-bantuan yang datang untuk korban tsunami dan pasca tsunami di Aceh. Masyarakat Aceh telah terbiasa menerima uang atau upah untuk bekerja bahkan membangun desanya sendiri, misalnya dalam program menanam pohon. Masyarakat diberi upah yang lumayan besar untuk menanam pohon di rumahnya sendiri atau di tanah desa. Jika sekarang ada program dari komunitas lingkungan untuk pengembangan desa, maka masyarakat acuh tak acuh untuk bergabung dan ikut andil jika tak dikasih uang. Bahkan untuk menanam pohon di desanya sendiri untuk kemajuan dan penyelamatan dirinya sendiri, mereka tidak mau dan menganggap bahwa mereka hanya disuruh-suruh dan komunitas ini sebenarnya punya uang banyak yang tidak mereka bagikan, seperti contohnya NGO yang pernah masuk ke desa mereka dulu.
Tantangan Mewujudkan Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Aceh terletak di kawasan geografis yang sangat menguntungkan, tapi juga dapat membawa bencana besar jika pengelolaannya tidak baik. Ketahanan pesisir dan penghijauan setelah peristiwa tsunami masih minim. Sedangkan sebagian besar penduduk Aceh bermatapencaharian sebagai nelayan. Kita harus melihat kembali rekonstruksi Aceh setelah tsunami, agar lebih menekankan pada prinsip-prinsip pembangunan yang ramah lingkungan. Selamai ini Aceh sering mengalami bencana karena tidak seimbangnya porsi pembangunan fisik dan pembangunan hijau.
Pembangunan berwawasan lingkungan dapat diterapkan dengan perencanaan pembangunan yang matang. Hal ini harus sinergis dan disesuaikan dengan RTRWA, RPJPA serta keterlibatan semua pihak antara lain pemerintah, akademisi, dan stakeholder sebagai pelaksana pembangunan di Aceh. Selama ini, setiap pembangunan di Aceh fokus pada pembangunan fisik dan seringkali tidak mengedepankan kestabilan ekologi sebagai hal penting yang sangat mempengaruhi kehidupan manusia.
Transparansi dan Akuntabel Diperlukan dalam Pelaksanaan Pembangunan
Proses pembangunan di Aceh belum bersifat terbuka (transparan) dan akuntabel dalam pelaksanaannya dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Banyak kekeliruan yang terjadi hingga akhirnya berdampak pada hasil pembangunan yang telah dijalankan. Pembangunan jalan dan drainase serta jaringan komunikasi sering terjadi tumpang tindih. Akhirnya masyarakat mengeluh karena seringnya macet atau mendapati badan jalan yang tidak rata dan banyak lubang karena sedang dalam proses pembangunan drainase atau jaringan telekomunikasi. Sebenarnya pembangunan tersebut bisa berjalan beriringan hingga bisa irit dana dan meminimalisasi permasalahan dan kekecewaan masyarakat sebagai pengguna jalan.
Proses evaluasi pembangunan dan pelaporan keuangan juga seringkali tidak valid. Hal ini mengindikasikan adanya praktek korupsi dalam pelaksanaan pembangunan. Sangat disayangkan ketika Aceh memiliki dana otsus yang sangat tinggi namun pelaksanaan pembangunan di Aceh tidak berjalan secara adil dan merata.
Amdal yang Rancu dalam Proses Perizinan Pembangunan
Setiap pembangunan harus memiliki izin dan dianalisis melalui AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) untuk memperkirakan dampak terhadap lingkungan oleh adanya atau oleh rencana kegiatan proyek yang bertujuan memastikan adanya masalah dampak lingkungan yang perlu dianalisis pada tahap awal perencanaan dan perancangan proyek sebagai bahan pertimbangan bagi pembuat keputusan. Hal ini dilakukan karena setiap kegiatan pembangunan selalu menggunakan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup, sehingga secara langsung akan terjadi perubahan lingkungan. Dengan demikian perlu pengaturan pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta cara mengurangi dampak, supaya pembangunan-pembangunan berikutnya dapat tetap dilakukan. Selama ini pembangunan di Aceh tidak mengutamakan kesejahteraan masyarakat. Yang lebih parah lagi, AMDAL untuk pembangunan juga seringkali rancu dan data yang dihasilkan tidak sesuai dengan fakta sebenarnya. Hal ini terjadi karena adanya keberpihakan pembuat amdal dengan pihak pelaksana pembangunan atau perusahaan. Setelah proses pembangunan selesai dan kemudian terjadi persoalan yang menyangkut keselamatan dan ancaman bagi masyarakat, terjadilah konflik antara masyarakat dengan pihak pelaksana pembangunan di Aceh.
Maraknya bencana di Aceh diharapkan menjadi acuan bagi kita untuk belajar memperbaiki kondisi Aceh yang merupakan rentan bencana. Kami berharap modul ini bisa menjadi konsep pembelajaran hingga bisa dituangkan dalam berbagai peraturan pemerintah dalam hal rekonstruksi hijau pasca tsunami. Pendekatan rekonstruksi dalam modul ini mengutamakan pendekatan proses rekonstruksi yang green concept untuk melindungi keanekaragaman hayati dan sumber daya alam.

Artikel yang diterbitkan oleh