#KompetisiPenulisan Goodbye Sungai Deli, Goodbye Sungai Bersih?

Menyusuri pemukiman yang berada dibelakang gedung pencakar langit tepatnya di Kampung Aur, Jalan Brigadir Jenderal Katamso, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun, Medan bukanlah menjadi hal yang luar biasa. Pemandangan yang ditawarkan sudah menjadi buah bibir warga Kota Medan sejak lama. Hangat diperbincangkan sampai akhirnya saya juga ingin mengetahui seperti apa dan bagaimana perkembangannya.
Saya mulai melangkahkan kedua kaki untuk melihat dengan kacamata saya sendiri. Saya ditemani oleh teman saya yang juga tergabung dalam sebuah komunitas pemerhati lingkungan dan masyarakat. Dua pasang kaki melewati gang yang tidak seberapa besar selama 20 menit. Tak lama saya dan rekan saya mendapati pemandangan itu. Sebuah pemandangan dengan kondisi yang bisa dikatakan tidak aman dan sangat memperihatinkan. Ialah Sungai Deli, bantaran dan dengan segala jenis cerita didalamnya.
Sungai Deli sangat jauh berbeda, kali ini ia menghadirkan suasana yang tidak menyenangkan. Jorok. Walaupun demikian, sampai tahun 2014 masih juga banyak bahkan bertambah banyak warga yang menyempiti wilayah tersebut dan menggantungkan hidupnya dengan bertempat tinggal di bantaran Sungai Deli yang dengar-dengar sudah tak layak lagi.
Siang terik kala itu, 2 April 2014, mentari tepat berada di ubun-ubun. Tampaknya panas Kota Medan tak membuat warga bantaran Sungai Deli meninggalkan aktivitasnya. Mereka masih tetap memanfaatkan Sungai Deli untuk mencuci pakaian, alat-alat rumah tangga serta untuk dikonsumsi setiap harinya. Walaupun secara kasat mata, air Sungai Deli sudah keruh, menguning dan sedikit berbau.
Pyuuuurr.. jyuurr.. tampak pula segerombolan anak-anak yang menjatuhkan badannya ke dalam sungai dari pinggir sungai yang agak sedikit tinggi. Mereka tampak menikmatinya, tertawa kegirangan tanpa memperdulikan seberapa kotor Sungai Deli saat ini. Mereka tetap “mandi”.
Bantaran Sungai Deli yang memiliki panjang 76 kilometer (km) dengan tiga wilayah Daerah Alisan Sungai (DAS), yakni Kabupaten Karo dan Simalungun di hulu, Deliserdang dan Sergai di tengah serta Kota Medan di hilir hingga bermuara ke laut Belawan memang sudah tidak layak dikonsumsi lagi. Namun apalah daya, masih banyak warga yang tetap berteman baik dengan-Nya.
Saat ini saja, tak terhitung berapa lembar sampah yang hanyut bersamaan dalam setiap harinya. Bau busuk yang sedikit demi sedikit menusuk indra penciuman siapa saja yang berada di kawasan ini sudah mulai terasa. Pinggiran Sungai Deli juga tampak menyempit. Limbah padat dan cair yang berasal dari industri, domestik serta peternakan menambah cepat proses say to goodbye kepada bersihnya Sungai Deli.
Selain itu, saat ini luas hutan di hulu Sungai Deli hanya 3.655 hektare atau sekitar 7,59 persen dari 48.162 hektare. Setidaknya DAS deli harus memiliki hutan alam untuk kawasan resapan air sedikitnya seluas 140 hektare atau 30 persen dari luas DAS.
Saya juga melihat di tengah dan di hilir sungai sudah dipenuhi limbah industri dan rumah tangga yang menambah kadar kerusakan ekosistem air sungai. Kadar BOD (Biological Oxygen Demand atau Kebutuhan Oksigen Biologis/ KOB) dan COD (Chemical Oxygen Demand atau Kebutuhan Oksigen Kimiawi/ KOK) sungai, yakni dua indikator pengukuran kualitas air, bahkan diyakini sudah jauh melampaui ambang batas yang ditentukan.
Rendahnya kesadaran lingkungan dan kebiasaan buruk warga serta pengusaha yang membuang limbah di sungai, kian memperburuk kondisi sungai. Sampah rumahtangga dan limbah industri, hotel, rumahsakit bercampur aduk menjadi satu kesatuan. Seolah-olah Sungai Deli beralih fungsi menjadi Tempat Pembuangan Sampah (TPS), bukan lagi tempat mencari nafkah atau tempat untuk menyalurkan hobi (misal: memancing).
Bantaran Sungai Deli juga tidak dilengkapi dengan ruang hijau. Di bawah terik sang surya, saya dan rekan saya terus menyusuri perkampungan tersebut dengan maksud mencari dimana ada ruang hijau yang setidaknya dapat membantu kestabilan lingkungan walaupun pada dasarnya kawasan tersebut sudah memasuki zona tidak aman untuk dijadikan tempat berkehidupan.
Sampai akhirnya saya bertemu dengan sekelompok anak muda yang sedang membersihkan sampah dan lumpur yang berada persis di pinggiran sungai. Budi, yang juga salah seorang warga Kampung Aur mengaku bahwa keadaan Sungai Deli saat ini yang notabenenya adalah lingkungannya memang sudah tidak layak lagi bahkan jauh-jauh hari. Namun warga bantaran Sungai Deli nyatanya hampir sebagian besar tidak menyadari itu. Warga bantaran Sungai Deli juga tampak “biasa saja” dengan dampak yang ditimbulkan dengan keadaan sungai dan air bersihnya yang sudah total berubah.
“Sungai Deli saat ini sudah sangat kotor dan tidak layak konsumsi, sebagian besar dari kami yang masih perduli dengan lingkungan ya berinisiatif sendiri untuk membersihkannya sewaktu-waktu tanpa menunggu bantuan dari pemerintah setempat yang sama sekali tidak ada kejelasan”, kata Budi yang juga menjabat sebagai ketua Sanggar Budaya Labosude (Laskar Bocah Sungai Deli).
Sampai saat ini juga, pemerintah dari struktur terendah hingga pemerintah pusat sendiripun tak mampu menegakkan supremasi hukum dalam melindungi lingkungan di sekitar DAS. Pembiaran penebangan hutan dengan berbagai alasan tanpa diikuti tindakan konservasi, atau bahkan kebijakan yang dengan sengaja memberi efek buruk bagi lingkungan, mempercepat proses kerusakan ekosistem Sungai Deli.
Sekelebat saya berfikir, bagaimana keadaan Sungai Deli 20 atau 30 tahun mendatang? Lantas bagaimana dengan kondisi warga bantaran sungai yang masih menggantungkan hidup pada-Nya? Tidaklah suatu pekerjaan yang mudah bukan untuk menormalisasi Sungai Deli agar menjadi bersih lagi?
Hj Hidayati MSi selaku kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Sumatera Utara mengatakan bahwa Sungai Deli akan menjadi parit busuk raksasa dalam 20 tahun ke depan. Kemungkinan itu bahkan bisa lebih cepat terjadi bila seluruh pihak tidak mengurangi ‘beban’ di ekosistem sungai dan tidak ada upaya nyata menyelamatkan lingkungan sungai. “Bisa jadi kalau tidak di tangani dengan baik, akan jadi parbus (parit busuk),” ucapnya. (Sumber: Harian Sumut Pos).
Ditambah lagi, eksploitasi DAS tanpa terkendali dan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan mulai merambah ke tengah dan hulu. Pencemaran sungai meluas, seiring meningkatnya aktivitas yang mendukung perkembangan wilayah dan pertambahan jumlah penduduk. Penebangan hutan di wilayah penyangga dan sumber air di DAS juga memperburuk kondisi sungai dan mencemari sejak di hulu. Sungguh sangat ironis!.
Selain itu, menurut hasil pantauan dan pengujian BLH mengenai kualitas air, Sungai Deli sudah 80 persen tercemar. Pencemaran berasal dari hulu, tengah dan hilir. Polusi air terparah terjadi di Medan Utara (hilir), sedangkan untuk wilayah tengah masih dikategorikan sedang, dan kawasan hulu relatif normal.
Ini sudah jelas terlihat, Sungai Deli kian hari kian menampakkan kegetirannya, dan alangkah lebih apiknya jika warga Kota Medan (tidak hanya warga bantaran sungai) senantiasa membantu menjaga keasrian Sungai Deli dimulai dari hal-hal kecil di sekitar demi terselamatkannya Sungai Deli.
Juga agar Sungai Deli yang dulunya merupakan urat nadi perdagangan ke daerah lain tidak menjadi kenangan. Ya walaupun sampai saat ini, puing-puing sampah ogranik dan anorganik masih selalu menyertai segala bentuk aktivitas para warga bantaran Sungai Deli.

Artikel yang diterbitkan oleh