Saatnya Komunikasi Lingkungan
Oleh : Yenrizal
Peristiwa tahunan yang saat ini jadi agenda rutin di tanah air adalah bencana alam. Ada dua penyebab bencana, faktor internal serta faktor eksternal. Secara internal, berarti bencana yang berasal dari fenomena alam itu sendiri, kondisinya sulit dicegah dan dihindari. Secara ekternal adalah bencana yang disebabkan prilaku manusia ketika berinteraksi dengan alam. Faktor kedua ini penting dicermati, karena punya peluang untuk dihindari dan diantisipasi.
Fakta bencana tampak dari kondisi yang dialami belakangan. Ketika musim kemarau berbagai wilayah dilanda kekeringan. Kebakaran hutan, kabut asap dan kesulitan air jadi menu sehari-hari. Kendati sekarang kemarau sudah hampir lewat, namun di beberapa tempat seperti Kalimantan, Sumsel, Riau, Jambi, kabut asap masih terasa. Sementara saat musim hujan datang, ancaman banjir dan tanah longsor, siap menanti.
Sebuah liputan dari Tribun Jabar (21/09/11) menjelaskan beberapa fakta ancaman bencana di penghujung musim kemarau. Khusus untuk daerah Jawa Barat terdapat fakta-fakta yang penting dicermati. Dari 113 peristiwa tanah longsor di Indonesia tahun 2010, 57% terjadi di provinsi ini. Parahnya lagi, peristiwa tersebut terjadi hampir di seluruh kabupaten/kota. Selain longsor, banjir juga penting diwaspadai.
Ini menegaskan Jawa Barat adalah daerah yang perlu perhatian khusus soal karakteristik alam. Apalagi ditambah kondisi curah hujan di wilayah ini tergolong tinggi yang memerlukan wilayah resapan yang luas dan kuat. Secara sederhana, curah hujan memiliki korelasi dengan rentannya terjadi peristiwa tanah longsor. Maka terlihat bahwa daerah yang rawan longsor adalah lokasi yang bertopografi perbukitan seperti Garut, Tasikmalaya, Cianjur, Kabupaten Bandung Barat, Purwakarta, Kuningan, Sumedang, dan beberapa daerah lainnya. Umumnya pula itu adalah bukit-bukit yang sudah tidak/minim dengan pepohonan alias gundul.
Pada konteks inilah perlu dipahami bagaimana kuasa alam terhadap apa yang dimilikinya. Alam ada sebagai satu kesatuan antara manusia, hewan, tumbuhan, tanah, air, dan udara. Semua itu adalah ekosistem yang saling berkaitan. Apabila kemudian muncul istilah hukum alam, diartikan sebagai bentuk norma-norma yang berlaku atas “kesepakatan” antara semua unsur dalam ekosistem. Semua unsur dalam ekosistem dianggap sebagai komponen aktif, mampu merespon berbagai stimulus yang datang padanya.
Keaktifan unsur dalam ekosistem menandakan terjadinya interaksi antara semua makhluk. Ada proses komunikasi yang berlangsung sesuai kapasitas masing-masing. Kemampuan interaksi tergantung pada kemampuan logis dan rasio makhluk yang ada. Di antara semua unsur, manusia adalah makhluk yang paling aktif karena punya unsur akal. Manusia tidak sekedar mengandalkan intuisi, tapi ada proses pengolahan data yang membuatnya bisa menentukan bagaimana mesti berinteraksi.
Artinya, memandang lingkungan alam harusnya berada pada titik kesetaraan antara manusia dengan alam, bukan dominasi salah satu pihak, terutama manusia. Kiranya kesalahan dalam sudut pandang selama ini, berorientasi pada kepentingan pragmatis manusia atau dalam bahasa ilmu lingkungan disebut Antroposentrisme, berdampak pada rutinitas bencana. Antroposentrisme dengan ciri khas pada sisi instrumentalnya (Keraf, 2002), menciptakan manusia-manusia perambah hutan, manusia penggundul bukit, dan manusia penimbun rawa. Sisi kepentingan alam diabaikan. Hukum keseimbangan terganggu, alampun bereaksi kepada manusia, sebagai pertanda bahwa ia adalah ekosistem yang aktif.
Manusia hakekatnya harus mau belajar dari berbagai peristiwa yang terjadi serta memahami bahwa alam adalah komponen aktif. Berkomunikasi dengan lingkungan alam mutlak dikedepankan. Proses komunikasi yang sudah menyentuh level kosmologis (terkadang juga perlu metafisis), yaitu kesadaran posisi semua unsur di alam semesta. Komunikasi lingkungan dapat dimaknai sebagai proses interaksi manusia dengan lingkungan alam sekitar, proses saling memaknai, proses saling memberikan stimulus, dengan menempatkan diri pada level setara. Tentu saja tidak bisa ditarik pada garis linear, karena hakekatnya antara manusia dengan lingkungan terjadi proses dialogis dalam bahasanya masing-masing.
Alam cenderung memiliki karakteristik adaptasi yang kuat. Kemampuan adaptasi ini ditunjukkan dengan respon yang diberikan menyesuaikan dengan stimulus yang diterima. Dalam bahasa sederhana dikatakan, “alam akan senantiasa menyesuaikan diri dengan perlakuan yang datang padanya.” Apabila tanah digunduli, ia menjadi gembur, air tidak meresap, longsor ketika hujan. Alampun mengeluarkan energinya, dan energi ini bisa merespon dengan baik rangsangan-rangsangan yang menghampirinya. Ini pesan yang mesti bisa dimaknai oleh manusia.
Kelemahan dasar komunikasi lingkungan selama ini adalah pengabaian terhadap hal tersebut. Mengapa wilayah tertentu (seperti Garut, Cianjur, Puncak, dll) menjadi sangat rentan terhadap bencana longsor. Bukan karena topografi alam, tetapi orientasi manusia terhadap alam itu yang sudah keliru. Baik di tataran masyarakat maupun level kebijakan pemerintah. Banyak data yang menunjukkan hal tersebut, seperti di Bogor, dari tahun 2000-2008 sebanyak 74% hutan lindung telah beralih fungsi (DCK Kab. Bogor, 2011). Tak akan jauh beda juga dilihat di beberapa wilayah lain.
Sebenarnya, pranata-pranata lokal di masyarakat sudah mengenal dengan baik komunikasi manusia dengan lingkungan alam. Konsep kearifan lokal masyarakat adalah bukti bahwa instrumen tersebut pernah berjalan. Tetapi kuatnya terpaan sikap pragmatis dan orientasi Antroposentrisme, telah mengaburkan semua itu. Disinilah pentingnya melakukan reposisi lingkungan di mata manusia dalam konsep komunikasi lingkungan.
Reposisi tersebut bisa saja diwujudkan dalam kegiatan yang bersifat praktis. Tidak menggunduli perbukitan adalah komunikasi pada konteks keseimbangan curah hujan dan ketahanan tanah. Tidak mendirikan bangunan di lereng perbukitan yang berkemiringan ekstrem adalah bentuk interaksi dengan menekankan aspek kepentingan lingkungan yang lebih luas. Memberikan ruang-ruang kosong yang cukup antar bangunan adalah bentuk komunikasi yang mempertimbangkan keseimbangan sirkulasi udara. Menjaga kelancaran saluran air dari tumpukan sampah adalah wujud komunikasi yang mempertimbangkan hakekat air sebagai komponen yang memerlukan ruang khusus.
Sulitkah melaksanakan itu? Tidak, karena sejak jaman para leluhur dulu, semua ini sudah dilakukan. Seperti kata bijak mereka, “jika tak bisa memperbaiki, tidak merusakpun jadilah”. Konsep ini mungkin sudah terabaikan, atau bahkan hilang. Sekaranglah saatnya merevitalisasi kembali.
(Tulisan ini sudah pernah dimuat Harian Tribun Jabar 28 September 2011). Email penulis : [email protected]