Lomba Penulisan: SHE SO BEAUTIFUL, SHE IS NIAS

Siapa sangka alam bisa mengubah sendiri bentuk penampilannya. Pengubahan secara alami itu terkadang dikenal dengan sebutan gempa bumi. Untuk sesuatu yang mampu mengguncang dengan keras, menghancurkan, meruntuhkan, bahkan mengubah struktur daratan yang ada di atas maupun di bawah; hanya mampu dilakukan dengan sekaligus oleh sesuatu yang di sebut gempa ini. Sesuatu yang manusia tidak terlibat di dalamnya. Teringat kembali di tahun 2005, sebuah Pulau yang menduduki peringkat teratas dunia karena ketinggian ombaknya yang terkenal di kalangansurfer dunia- di serang gempa tengah malam kala kebanyakan dari penduduknya sedang beristirahat. Banyak kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan anggota keluarganya. Selama beberapa bulan ke depan, segala sesuatu masih membuat bekas mengerikan akan menit-menit yang paling menentukan dalam hidup mati penduduk Pulau yang sulit dijangkau itu. Seseorang bisa saja masih mengurung dirinya dengan kenangan 9 tahun yang telah berlalu itu dan menolak semua pemulihan yang telah terjadi. Namun, tidak ada yang perlu disalahkan. Keputusan untuk melupakan 5 menit yang mengerikan itu, sangat berat. Kita hanya bisa memaklumkan seseorang hingga mencapai titik dimana dia sanggup memutuskan untuk berjuang kembali, sampai gempa berikutnya datang. Namun hal ini begitu berbeda dengan sikap para pepohonan dan daratan menanggapi akibat dari gempa bumi.

Pulau Nias memiliki sebuah lapangan udara komersil dimana saat ini terlihat kesibukan yang telah meningkat dan jadwal penerbangan semakin banyak di tahun 2014. Kapal cepat dan penyeberangan satu malam juga tersedia. Banyak sekali cara menuju ke sana. Segala sesuatu semakin meningkat setelah gempa bumi tahun 2005. Jembatan-jembatan besar dibangun untuk menghubungkan dua daratan di atas sungai-sungai besar dengan ditandatangani oleh negara-negara tetangga yang memberikan bantuan konstruksi untuk membangun kembali Nias yang terpandang di mata dunia. Sebuah jalan lintas Pulau juga dibuat dengan aspal yang begitu mulus, di mana Bandara dan pusat ombak yang terkenal itu hanya melalui satu jalan lintas Pulau.

Saya menemukan satu waktu yang tepat untuk berada di sana, menikmatinya selama dua bulan penuh. Saya begitu terpesona dengan kesegaran udaranya. Bayangkan daerah sepanas kota Jakarta yang udaranya sangat bersih, itulah dia. Saya adalah seorang pemuja keindahan langit malam dan saya menemukannya dengan sangat puas di sepanjang malam saya berada di sana. Orang-orang di Pulau ini memiliki bahasa yang berbeda dengan orang-orang di Sumatera Utara meskipun Pulau Nias merupakan salah satu daerah yang bernaung di bawah pemerintahan daerah Sumatera Utara. Berbeda juga dengan orang-orang yang berada di daerah NAD. Walaupun lebih banyak orang yang mengira Nias adalah satu daerah di Kepulauan NAD. Warna kulit yang putih, rata-rata penduduknya baik pria maupun wanita bertubuh ramping dan berwajah mirip penduduk Jepang. Baik bahasa dan sistem adat berbeda dengan suku Batak ataupun melayu pada umumnya. Salah seorang dari Pulau ini yang cukup terkenal mungkin pada saat ini adalah wakil rakyat dari salah satu partai politik yang menduduki jabatan Menteri Hukum dan HAM. Demikianlah sedikit mengenai hal-hal penting yang perlu diketahui sebelum menginjakkan kaki sendiri dan mencicipi langsung Alam Nias.

Kata orang-orang, Nias itu indah lautnya. Saya datang sendiri untuk membuktikannya langsung dari Bandung. Saya tidak kenal siapapun di sana, namun ketika saya tahu ada sekelompok vegetarian yang mirip dengan komunitas yang saya kenal di Amerika Serikat, saya langsung mencari tahu dimana mereka berada untuk bertanya apakah saya dapat tinggal di sana selama menunggu jadwal penerbangan pulang saya. Letaknya sekitar 41 kilometer dari bandara Gunung Sitoli. Desa itu dinamakan Hilina’a. Menuju pintu keluar bandara yang namanya sama sekali tidak mencerminkan keberadaannya. Gunung Sitoli adalah salah satu pusat perekonomian di Pulau ini. Bentuknya perkotaan dan bukan gunung. Signal beberapaprovider telekomunikasi masih sangat kuat karena pemancar yang belum terhalang pegunungan dan dataran yang tidak datar. Dari sana saya menuju ke kiri langsung menaiki jalur lintas Teluk Dalam. Di bandara saja sudah terdapat banyakbule yang nongkrong dengan berpakaian santai, sepertinya mereka menaiki sepeda motor menuju ke bandara itu dan pulang pergi untuk menjemput kawan-kawannya. Saya semakin tidak sabar menuju ke sana. Inilah perjalanan saya, kilometer demi kilometer menempuh jalur lintas Teluk Dalam.

Saya berhasil mencapai kilometer 41 pertama yang saya tuju, Hilina’a Tafuo. Pelafalannya sedikit berbeda sebagai berikut, “Hilina’a Tafu’e”. Mereka mempunya beberapa huruf tambahan dalam alfabetnya, dan huruf ‘O’ yang satu ini, memiliki titik di atasnya sehingga tidak lagi dibaca seperti huruf ‘O’ pada kata mobil melainkan seperti menyebutkan huruf ‘E’ pada kata bercermin. Desa Hilina’a Tafuo, desa penduduknya ramah dan dekat dengan sumber air panas, yang tempat penampungannya berbau sulphur.Sebuah desa dengan nama keluarga yang sama. Seperti di daerah Tapanuli, kampung yang dinamakan sesuai dengan nama keluarganya atau nama kakek buyutnya. Semua yang tinggal di kampung itu mempunyai marga dan marga mereka hanya satu. Mereka semua satu keluarga hanya saja tidak tinggal dalam satu rumah yang sama. Selama menyusuri rumah-rumah dalam satu kampung, orang-orangnya mempunyai nama keluarga atau nama belakang yang sama menandakan bahwa mereka adalah satu keturunan. Demikian juga yang saya temui di kilometer 41 ini. Desa ini dan desa lainnya mempunyai aset desa masing-masing. Artinya buyut mereka bersaing untuk menguasai daerah yang cukup luas demi keturunan berikutnya. Mereka memiliki alam – air, pohon, batu, tanah – mengolahnya, menguasainya, merawatnya, dan menyebutnya tempat tinggal mereka. Antara satu desa dengan desa lainnya dapat dibatasi dengan sawah, aliran sungai, lembah, atau penanda alam lainnya. Di desa-desa berpenduduk seperti ini, ditanami banyak pohon cokelat dan pinang yang belum bisa diolah sendiri oleh penduduk Pulau Nias. Bahkan tahu dan tempe masih didistribusi dari Pulau besar, Pulau Sumatera. Ada sebuah industri rumahan yang menjanjikan untuk para pengolah kacang kedele di tanah itu. Semua yang menyambut saya berkata satu hal yang penuh semangat: “Ya’ahowu!”. Bayangkan seseorang menarik nafas, mengisi paru-paru dengan mantap dan menahannya di pangkal tenggorokan kemudian dengan hentakan dan penuh semangat berkata salam itu, “Ya’ahowu!”. Itu adalah sebuah sapaan yang berarti salam dan doa. Semua yang menyebutkannya seperti menyerukan kata, “Merdeka!” layaknya para pejuang. Di tiap desa dimana penduduk tinggal secara terpusat, entah itu dekat dengan aliran air atau sumbernya langsung, terdapat sekolah-sekolah yang merupakan tanda kebangkitan dari gempa bumi 2005, hadiah dari berbagai organisasi nirlaba, organisasi kemanusiaan, dan organisasi bidang sosial baik nasional maupun internasional. Kebanyakan merupakan golongan internasional namun tidak terawat dengan baik. Bahkan ada yang tidak diisi lagi. Bangunannya sudah mulai tua, mungkin karena tidak dapat aliran dana lagi dari organisasi internasional atau pemerintah daerah tidak mau memasukkannya dalam daftar aliran sana bantuan operasional.

Tanpa berlambat, perjalanan menuju Teluk Dalam berlanjut. Namanya memberikan kesan kuat bagi para pencari tantangan. Namun sekuat apa nama itu dapat mempengaruhi, sebenarnya terletak pada berita apa yang telah didengar. Beberapa berita yang mungkin sudah didengar berupa berita ilmu hitam yang dimiliki penduduk Pulau ini, berita adat istiadat yang cukup primitif, atau berita magnet ombak satu-satunya yang paling indah di sini. Semuanya akan terkesan semakin kuat ketika mendengar nama tempat itu, Teluk Dalam. Jadi inilah tempatnya. Saya hanya mendengar cerita saja dari sisi pantai. Tempat ini di bawah naungan Kabupaten Nias Selatan. Tempat dimana pendidikan murah bahkan gratis hingga perguruan tinggi. Saya belum sampai ke sana, saya hanya sampai setengah dari Pulau ini. Sepanjang mata dapat memandang, lautnya begitu terbuka dan mengundang para peselancar untuk mengambil senjatanya untuk berselancar di laut lepas. Begitu jauh di sisi pantai yang begitu panjang, beberapa peselancar sedang menikmati waktu mereka. Menurut penjual ikan bakar di tempat itu, di sanalah parabule biasa berlatih mengendalikan ombak. Saya langsung tahu bahwa saya sudah ada di tempat yang tepat. Tempat yang sering dibicarakan orang-orang. Penjual ikan bakar menjelaskan lebih lanjut bagaimana tempat itu bertambah sepi, bagaimana buah-buah kelapa menua di atas pohon, dan banyak hal lain yang dia jelaskan. Saya tersadar ketika dia mengatakannya, memang itulah yang saya rasakan. Banyak sekali buah pohon kelapa yang saya dapatkan gratis selama perjalanan ini. Pohon-pohon itu tidak lagi diminati oleh para turis karena turis semakin jarang kemari. Ia mengingatkan gempa di tahun 2005 sepertinya mengubah struktur sebaran karang juga dan membuat ombak besar tidak lagi berlabuh. Namun tempat itu masih berisi banyak harapan, sebanyak orang Nias selalu menemukan terkabulnya harapan mereka tiap bencana ataupun gempa terjadi. Ombak besar akan datang kembali, dengan atau tanpa disertai gempa bumi.

Selagi mengabadikan keindahan rentetan pantai-pantai itu, perjalanan terus membawa saya ke tempat yang begitu terkenal. Sebuah desa yang didirikan oleh para raksasa atau pria biasa yang dipenuhi ilmu hingga kekuatannya serupa dengan raksasa. Sebuah desa yang memiliki rumah asli buatan tangan tanpa ditanam paku satu pun. Sebuah desa pariwisata yang orang-orangnya rela melakukan tradisi lompat batu untuk menghibur pengunjungnya. Sekelompok anak pada awalnya belum menyertai ketika saya menapaki puluhan anak tangga untuk menuju desa itu. Hingga saya memasuki rumah besar dua lantai yang dibangun dengan kekuatan yang sangat besar, sekelompok anak setempat dengan berpakaian sehari-hari mulai bermain-main dekat sekali di sekitar saya. Saya bertanya apakah mereka bisa bernyanyi, menari, dan sebagainya. Ya, mereka bernyanyi dengan baik dan menari juga. Mereka mempelajarinya di sekolah, bahkan berbahasa Inggris juga.Saya mengajarkan mereka sebuah lagu yang menyenangkan dan menemukan beberapa teman kecil di desa ini. Mereka biasa sehari-hari mencari uang di sana, namun kali itu mereka tidak mendapat uang tapi sebuah lagu. Saya kira, saya mulai jatuh cinta dengan Pulau ini.

Perjalanan berlanjut lagi dan kali ini lebih banyak interaksi langsung dengan para penduduk yang merupakan keturunan asli maupun para pendatang yang sudah lama tinggal di sana. Seorang anak perempuan, berusia Sekolah Menengah Pertama mengajarkan saya bagaimana hidup sederhana seperti keluarganya. Ayah dan Ibunya memiliki beberapa anak ketika usia pernikahannya masih muda dan bergantung pada hasil kebun mereka untuk makan sehari-hari. Beberapa kali saya mendapat hasil bumi langsung dari Tanah ini: pisang, kelapa, beras, telur, ikan laut segar; saya juga menikmati waktu yang menyenangkan dalam perayaan panen dan mengikuti proses lengkap panen padi di sawah beserta dengan anak-anak muda yang tidak saya temukan di pantai. Saya memberikan kepada mereka sebagai ganti dari apa yang telah mereka bagi kepada saya, impian dari tempat-tempat di seberang sana yang bisa mereka kejar jika mereka inginkan. Saya ingin sekali menunjukkan bagaimana di luar sana sudah sangat maju dan teknologi sudah berkembang dengan pesat. Pengetahuan ada dimana-mana dan kecepatan maupun ketepatan adalah motif utamanya. Namun keinginan saya terhenti ketika saya melihat keindahan tempat yang belum tersentuh ini. Saya sangat tidak rela melihat anak-anak muda yang penuh dengan sopan santun dan rasa hormat terhadap orang tua, teman-teman, dan alam; terpengaruh dengan kehidupan yang begitu jauh dari adat kebiasaan di Tanah Nias.

Ada bayaran yang harus dipertimbangkan dengan baik beserta dengan semua akibatnya, kala sebuah kebijakan yang mengatasnamakan pendidikan, pengetahuan, teknologi, pembangunan infrastruktur, kemajuan daerah terpencil, peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, dan lain sebagainya akan digalakkan. Ada inti kehidupan dari setiap desa disepanjang Nusantara ini. Kesemua inti hanya didokumentasikan oleh penduduk aslinya yang akan semakin indah saat mereka sendiri yang menghidupkannya dari dalam. Orang-orang kota berpendidikan yang berfokus pada pencapaian tanpa keseimbangan, tidak cepat tanggap akan hal ini seiring dengan terjadinya persaingan rutinitas dalam komunitas mereka di kota. Tanah Nias, memang bukan kelahiran saya. Segala sesuatu yang bisa di nikmati di sana banyak bergantung pada peran dan fungsi batu. Orang-orang kota besar tidak memandang indah sebuah batu, namun di Tanah ini entah bagaimana bisa terjadi demikian. Sebelum terjadi, cegahlah dengan usaha yang maksimal karena lebih sulit memperbaiki ketika kekuatan mesin sudah mulai menghancurkan dan adalah hampir mustahil untuk menghentikannya. Kemajuan adalah hak setiap negara, setiap kota, setiap desa, setiap keluarga, namun keseimbangan adalah kewajiban yang saya percaya seharusnya lebih banyak dipahami oleh orang-orang dari kota besar. Seharusnya bukan kota yang menjadikan seseorang besar, tapi apa yang dilakukan sehingga terlihat betapa besar kegunaan orang tersebut selama hidupnya.

Siapa sangka alam mengubah sedikit banyak rupa Pulau Nias hanya dalam 5 menit guncangannya, namun segalanya masih terlihat indah tanpa sentuhan tangan manusia sedikit pun. Apakah manusia benar-benar mengaku membuat dunia menjadi semakin indah?

Artikel yang diterbitkan oleh