, , , , ,

Lomba Penulisan: Kearifan Dalam Pengelolaan Hutan Kajai

Di tengah serbuan pembukaan lahan perkebunan sawit, masyarakat nagari Kajai mempertahankan hutan mereka, mengelola dengan kearifan lokal untuk kelangsungan hidup.
Nagari Kajai merupakan salah satu nagari yang berada di bagian timur dari pusat pemerintahan kabupaten pasaman barat, sumatera barat. Luas wilayahnya sekitar 13ribu hektar dengan jumlah penduduk kurang lebih 11ribu jiwa dengan luas areal pertanian mencapai 9.702 hektar. Ekonomi masyarakatnya terfokus dengan hasil pertanian seperti; jagung, ubi-ubian, kedelai, kol, kentang, cabe, sayur-sayuran, buah-buahan dan padi. Jarak nagari Kajai dengan pusat pemerintahan kabupaten sekitar 27 km atau sekitar 45 menit menempuh perjalan darat dengan menggunakan kendaraan motor atau menggunakan mobil. Nagari Kajai yang berada di kaki Gunung Talamau, beriklim tropis dengan suhu cukup dingin dan curah hujannya cukup tinggi terutama pada bulan November hingga Januari.
Laju kerusakan hutan setiap tahunnya meningkat, terutama disebabkan oleh kegiatan perambahan hutan untuk pembukaan ladang baru. Nagari Kajai berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung. Daerahnya berada dikelerengan sekitar 25-30 persen, tentunya kondisi daerah seperti ini tingkat ancaman longsornya pun tinggi. Tutuan hutannya harus terpelihara dan terjaga dengan baik, guna meminimalisir dari ancaman terjadinya bencana. Namun, sebagian besar penduduknya miskin, tidak berpenghasilan tetap, faktor ini yang kemudian menjadi ancaman terhadap hutan kajai. Hidup di daerah kelerengan membutuhkan tutupan hutan yang lebat, sementara itu ekonomi masyarakat lemah hutan menjadi lokasi strategis untuk pemenuhan ekonomi jika dikelola dengan baik dan berkelanjutan.

Berangkat dari kondisi ini, masyarakat kampung timbo abu, nagari kajai membentuk kelompok tani pengelola hutan. Skema pengelolaan hutan yang diajukan adalah hutan kemasyarakatan (HKm) dengan luas 150 hektar dantergabung dalam kelompok tani maju bersama. Kelompok ini adalah wadah untuk melakukan pengelolaan hutan. Pengaju merupakan merupakan penduduk setempat bersuku Minang dan daerah yang diajukan tersebut merupakan bagian dari ulayat mereka. Dalam perencanaan kerja kelompok, kawasan yang diajukan akan dikelola dan ditanami dengan tanaman hutan yang bernilai ekonomis, jangka panjang dan dapat dipanen bergiliran. Pengelolaan seperti ini akan mampu mempertahankan fungsi dan kualitas hutan serta dapat memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. Selanjutnya areal pengeloaan yang diajukan adalah kawasan hutan yang tidak memiliki tegakan kayu, arealnya semak belukar sehingga perlu kegiatan pemulihan guna mencegah terjadinya bencana.
Sambil menuggu proses pengurusan izin berjalan, kelompok telahmelakukan kegiatan pengelolaan pada daerah yang diajukan tersebut. Areal semak belukar yang cukup datar diolah dan ditanami dengan tanaman muda, daerah kelerengan ditanami dengan tanaman tua sementara untuk kawasan hutan yang masih terjaga akan dikembangkan pengelolaan gaharu, surian, ulin, rotan dan manau. Untuk mewujudkan pengelolaan yang berdampak pada peningkatam ekonomi berkelanjutan maka masyarakat membagi daerah itu dengan zonasi-zonasi pemanfaatan periodik, agar aktifitas pengelolaan hutan tidak membosankan. Gaharu, Surian, rotan dan manau merupakan jenis tanaman yang bernilai ekonomis untuk jangka panjang, tanaman tua seperti karet, mangga, durian, rambutan, cengkeh dan sebagainya merupakan tanaman yang bernilai ekonomi tahunan sementara untuk tanaman muda seperti cabe, ubi-ubian dan sebagainya adalah tanaman yang bernilai musiman dengan rata-rata tiga bulan. Di kawasan hutan yang diajukan masyarakat terdapat jenis kayu yang paling diminati masyarakat, yaitu kayu ulin. Kayu ulin merupakan kayu yang paling kuat/keras masyarakat menamakannya dengan kayu ikia/kayu besi. Jenis kayu ini sangat cocok dipakai untuk membuat rumah, kusen pintu dan jendela ataupun untuk kuda-kuda rumah. Namun saat ini, jenis kayu ikia jarang ditemukan, kalau pun ada letaknya sudah jauh kedalam hutan dan jumlahnya pun sedikit.
Pada tanggal 25 Juli 2013 yang lalu, kelompok Tani Maju Bersama mendapatkan SK Pencadangan Hutan Kemasyarakatan nomor: SK.521/Menhut-II/2013 dari kementerian kehutanan dengan izin seluas 145 hektar. Saat ini, kelompok telah mengajukan izin usaha pengelolaan hutan kemasyarakatan (IUPHKM) kepada Bupati Pasaman Barat. Dukungan penuh masyarakat dan ninik mamak, Pemerintahan Nagari dan Pemerintahan Kabupaten menjadikan kelompok ini bergerak sedikit lebih maju dari kelompok lainnya yang ada di Pasaman Barat.
Nagari Kajai memiliki kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya alamnya. Masyarakat telah mengenal konsep penataruangan secara adat yang sampai saat ini masih berlaku. Hal demikian tertuang dalam pepatah adatnya yang mengambarkan tata guna laha dan pemanfaatannya yang berbunyi : Nan lunak ditanam banieh, nan kareh dibuek ladang, nan boncah paliharo itiek, ganangan katabek ikan, bukik batu katambang ameh, tambang timbago dengan perak, batanam nan bapucuak, mamaliharo nan banyawa, sawahnyo batumpak-tumpak, ladangnyo babidang-bidang, sawah batumpak di nan datau, ladang nyo babidang di nan lereang, banda baliku turuik bukik, cancang latieh niniek moyang, tambilang bosi urang tuo-tuo. Artinya tanah yang lunak digunakan untuk areal persawahan, tanah yang keras dijadikan ladang (agroforest), daerah yang berair untuk beternak itik, daerah cekungan dijadikan kolam ikan, bukit batu untuk pertambangan emas, perak dan tembaga, menanam tanaman yang memiliki pucuk sehingga dapat dimanfaatkan seketika dan memelihara hewan ternak, sawahnya berpiring-piring (petak-petak), ladangnya berbidang-bidang, sawah berpiring-piring dilahan datar, ladangnya berbidang dikelerengan, sungainya berliku-liku disisi bukit, merupakan konsep yang dibuat nenek moyang sesuatu yang tidak dapat diubah-ubah. Konsep ini menjadi pedoman baku ditingkat masyarakat sehingga diberikan sanksi adat bagi yang melanggarnya.
Di tengah serbuan pembukaan lahan sawit, masyarakat nagari Kajai lebih memilih mempertahankan hutan mereka dan mengelola hutan untuk kelangsungan hidup di negeri mereka. Pengelolaan hutan melalui kelompok ini diharapkan dapat menghidupi meningkatkan penghasilan masyarakatsetempat. Hutan tidak hanya menghasilkan kayu yang bernilai ekonomi tinggi, namun hasil hutan bukan kayu (HHBK) juga dapat dikembangkan dan bernilai ekonomi berkelanjutan. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri buruknya infrastruktur jalan menuju kampung ini, menyulitkan masyarakat untuk memasarkan hasil ladang dan pertaniannya secara cepat, jika pun ada para cukong/toke yang datang, hasil pertanian mereka dibeli sangat murah
Kelompok tani maju bersama dalam membuat perencanaan kegiatan pengelolaan hutan bekerjasama dengan lembaga pemerihati hutan dan lingkungan termasuk dengan dinas kehutanan kabupaten sumatera barat. Hal ini dilakukanagar dapat meningkatkanpengetahuan dalam pengelolaan hutan nantinya. Pengembangan model pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal yang dilakukan oleh kelompok masyarakat inidapat menjamin pemanfaatan hutan yang berkelanjutan dan bernilai ekonomi tinggi. Hutan tidak lagi menjadi tontonan bagi masyarakat, dengan dikelola,hutan tetap terjaga dan masyarakat mendapatkan manfaatnya secara langsung.
Artikel yang diterbitkan oleh