Keanekaragaman hayati yang terkandung di hutan dunia meliputi 12 persen species mamalia dunia, 7,3 persen species reptile dan amfibi, serta 17 persen species burung dari seluruh dunia. Berdasarkan hal tersebut, seperti yang dikutip dari Mongabay Indonesia, kondisi keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia merupakan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Menurut data dari FAO tahun 2010 hutan dunia termasuk hutan Indonesia menyimpan 289 gigaton karbon dan memegang peranan penting menjaga kestabilan iklim dunia.
Keanekaragaman hayati tersebut membawa Indonesia mendapatkan penghargaan dari beberapa lembaga. Indonesia sempat mendapat kehormatan tampil di Guinnes Book of World Records dalam kategori laju tingkat tercepat kerusakan hutan di dunia. Kategori itu tentunya menampar Indonesia, meskipun hal itu sempat dibantah oleh pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwa data tersebut merupakan data lama kehutanan di Indonesia, tetapi fakta berbicara.Menurut Bustar Maitar dari Greenpeace, meskipun pemerintah membantah, secara umum kondisi kerusakan hutan di Indonesia masih memprihatinkan. Apalagi dengan adanya pelebaran areal lahan kelapa sawit di Indonesia.
Dalam jurnal Nature Climate Change (29/06/2014) menyebutkan bahwa setahun setelah moratorium diterbitkan, diforestasi di Indonesia meningkat dengan cepat. Antara 2000-2012, Indonesia kehilangan 6,02 hektare hutan setiap tahunnya. Seperti yang dilansir di beritalingkungan.com hal ini membuat indonesia menempati posisi tertinggi di dunia dan mengalahkan angka deforestasi Brasil 460.000 hektar.
Selain itu, baru-baru ini terdengar kabar bahwa Relawan Orang dan Alam (ROA) memprediksikan hutan Sulawesi Tengah(Sulteng) akan habis dalam kurun waktu 16 tahun. Prediksi tersebut kata Givents, Koordinator Riset dan Kampanye ROA kepada mongabay Indonesia didasarkan dari Dokumen Strategi Daerah REED+Provinsi Sulteng yang menuliskan ada 902.776 hektar luas hutan Sulteng berkurang yang telah disahkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah 2014-2030.
Tidak hanya itu, di pulau Kalimantan (Borne) dan Sumatera (Riau) juga acap kali terdengar kebakaran hutan. Bahkan berdasarkan laporan indeks lingkungan hidup yang dikeluarkan oleh Universitas Yale, Indonesia berhasil menempati posisi yang tinggi dengan tingkat pencemaran udaranya yang lebih utama diakibatkan oleh kerusakan hutan. Selain di Sumatera dan Kalimantan, Greenpeace juga mencatat Papua merupakan wilayah yang saat ini terancam hutannya dengan maraknya pembukaan lahan kelapa sawit.
Mendengar berita tersebut, akan muncul beragam cibiran tertuju pada pemerintah. Kebiasaan ini telah membudaya, jika terjadi sesuatu pada hutan, masyarakat akan menyalahkan pemerintah yang dianggap tidak pro mengurus lingkungan. Di kubu masyarakat ada yang memiliki pandangan bahwa pemerintah lebih pro terhadap pengelolaan sumber daya hutan yang berorientasi pada ekonomi yang lebih ditujukan pada kalangan pengusaha saja. Misalnya terkait izin yang leluasa didapatkan oleh pemilik usaha tersebut, padahal tidak semuanya begitu, hal ini dikarenakan maraknya pemberitaan di surat kabar mengenai pemberian izin dari pemerintah yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut Rakhmat Hidayat, Direktur Eksekutif Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI dalam hasil wawancara oleh perspektif baru, ia mengatakan bahwa hal tersebut akan berdampak pada kerusakan sumber hutan dan makin bertambahnya konflik pengelolaan sumber daya alam. Konflik tersebut beranekaragam, bisa dari masyarakat dengan pemilik usaha, masyarakat dengan pemerintah, dan pengusaha dengan pemerintah. Hal ini berdampak kurangnya kepercayaan kepada masing-masing pihak untuk menjalankan perannya.
Kita tidak bisa tumpang tindih dalam mencari akar permasalahan hutan ini. Masyarakat tidak bisa selamanya berkuasa dalam kedaulatan rakyat dan berdalih menilai kinerja pemerintah yang belum signifikan. Meskipun tidak secara langsung mengurus persoalan hutan, masyarakat juga perlu dinilai kinerjanya. Sebagian masyarakat terkesan hanya bisa bersuara namun minim tindakan. Ketika hutan rusak, mereka muncul menghujat pemerintah yang telah berusaha sebisanya. Berdasarkan hasil studi Kementrian Lingkungan Hidup tahun 2012 menunjukkan bahwa Indeks Perilaku Peduli Linkungan (IPPL) masih berkisar pada angka 0,57 (dari angka mutlak 1). Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat kita belum sepenuhnya berprilaku peduli lingkungan. Beberapa perilaku yang sering terjadi berupa konsumsi energi, membuang sampah, pemanfaatan air bersih, pemanfaatan bahan bakar, penyumbang emisi karbon dan perilaku hidup sehat. Nilai terburuk adalah perilaku pemanfaatan bahan bakar yaitu level 0.28. Padahal dalam pengelolaan hutan, pemerintah telah mengeluarkan skema yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Skema pemberian izin tersebut diantara seperti Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, dan Hhutan Tanaman Rakyat. Namun masih belum berkembang secara maksimal.
Jika menilik soal demi soal yang terjadi terhadap kerusakan hutan, penyebabnya hanya hal yang itu-itu saja. Penyelesaiannya pun berputar disitu saja. Maka wajar, masyarakat tidak terkejut lagi dengan apa yang terjadi di hutan Indonesia. Sekarang ini banyak jargon-jargon yang menyuarakan untuk melindungi hutan. Hutan siapa? Sejauh mana masyarakat memiliki pengetahuan tentang hutan dan hutan apa saja yang mesti dilindungi?
Berdasarkan Undang-Undang(UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada Pasal 1 telah mengklasifikasikan macam-macam hutan seperti hutan negara, hutan hak, hutan adat, hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Jadi hutan mana yang dimaksud untuk dilindungi? Pasal 46 UU tersebut dijelaskan pula bahwa penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan untuk menjaga hutan, kawasan hutan, dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari. Jadi hutan yang memiliki fungsi lindung, konservasi, dan produksi wajib hukumnya untuk dilindungi. Yang memiliki kewajiban melindungi hutan adalah Pemerintah. Ketentuan ini dengan jelas tertuang pada Pasal 48 ayat 2 dan untuk hutan hak, perlindungan dilakukan oleh pemegang haknya.
Terkait pengawasan, Pasal 60 menjelaskan bahwa pengawasan kehutanan wajib dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Sedangkan masyarakat juga ikut serta dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan hutan, pengelolaan, dan pemanfaatan hutan yang diselenggarakan pemerintah dan pihak ketiga.
Dari beberapa pasal dalam UU tentang Kehutanan memberikan kesimpulan bahwa tiap elemen mempunyai peranan penting dalam melindungi hutan. Akan percuma jika solusi yang ditawarkan hanya membuat tiap elemen tersebut sadar, paham, dan peka terhadap lingkungan. Sudah banyak program-program pemerintah dan program lembaga kemasyarakatan tentang lingkungan yang telah dijalankan namun tetap terjadi kerusakan lingkungan.
Kita bisa menengok bagaimana masyarakat hukum adat yang berusaha sekuat tenaga melindungi tanah atau hutan adat yang diturunkan turun temurun oleh pendahulunya. Mereka bahkan siap jika harus berhadapan dengan pemerintah ataupun pemilik usaha yang diberi izin untuk menggunakan hutan adat mereka. Hal ini dikarenakan rasa memilikinya telah ada. Jikalau pemerintah dan masyarakat memiliki pandangan dan rasa yang sama dengan masyarakat hukum adat tersebut, dalam skala besar hutan Indonesia bukan milik pemerintah saja, masyarakat hukum adat saja, dan atau milik lembaga kemasyarakatan saja. Tapi milik warga negara Indonesia yang diiringi penegakan hukum lingkungan yang tak gegai
Oleh: Fikri Azardy
Referensi:
http://www.mongabay.co.id/2014/12/04/hutan-sulteng-tidak-akan-hilang-jika-tetap-dijaga/
http://www.beritalingkungan.com/2014/07/laju-kerusakan-hutan-di-indonesia.html
http://www.menlh.go.id/penghargaan-lingkungan-pada-peringatan-hlh-sedunia-tahun-2013/
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan