,

Lomba Penulisan:Mematahkan Laju Deforestasi Melalui Konservasi

Kabut asap yang melanda Riau hingga meluas ke daerah sekitar pada bulan April lalu seolah menjadi pertanda meningkatnya kerusakan lingkungan di Indonesia. Tak hanya sampai disitu, Indonesia malah sampai dikukuhkan sebagai negara dengan laju deforestasi atau penebangan hutan tertinggi di dunia tiga bulan setelahnya. Seperti dilansir dari Tempo (1/07/2014), prestasi memalukan ini dicapai setelah seorang peneliti dari University of Maryland, Mattew Hansen menemukan enam juta hektar hutan di Indonesia hilang per tahun sejak 2000-2012.
Semakin lama, kerusakan hutan semakin parah. Namun, perilaku yang mengantarkan hutan Indonesia ke jurang kerusakan masih tak juga berkurang, justru semakin meningkat. Salah satu contoh deforestasi tampak dari pengembangan perkebunan kelapa sawit. Meningkatnya permintaan minyak kelapa sawit yang seharusnya memberikan prospek cerah bagi perekonomian Indonesia justru berujung malapetaka bagi lingkungan. Hal ini diakibatkan masih buruknya tata kelola hutan, suatu persoalan mendasar pada sektor kehutanan Indonesia. Besarnya lahan yang dibutuhkan untuk membudidayakan kelapa sawit mengorbankan hijaunya hutan untuk dibakar dan dialihfungsikan.
Selanjutnya, proses “kematian” hutan pun berlanjut. Budidaya kelapa sawit secara membabi buta tanpa mengindahkan keseimbangan ekosistem memengaruhi ketersediaan air bersih dan unsur hara tanah. Tanaman kelapa sawit yang rakus air lambat laun mengurangi pasokan air bersih. Belum lagi penggunaan pupuk kimia yang juga membunuh mikroba alami tanah disamping hama tanaman. Tanah bekas penanaman pun menjadi kurang subur, gersang, dan rawan terjadi kebakaran. Pepohonan hutan sebagai penyerap gas karbon dari alam telah jauh berkurang jumlahnya, sedangkan produksi gas tersebut semakin bertambah. Parahnya lagi, tanaman kelapa sawit itu sendiri ikut menyumbangkan gas karbonmonoksida. Maka, tak heran kini suhu bumi semakin panas akibat meningkatnya pemanasan global.
Alih fungsi hutan juga berarti menghilangkan rumah “penduduk asli” hutan. Hewan dan tumbuhan diusir paksa dari tanah kelahirannya akibat nafsu manusia untuk memperkaya dirinya. Hal ini sungguh meresahkan karena mengancam kelestarian keanekaragaman hayati hutan Indonesia. Padahal, keanekaragaman hayati tersebut menyimpan potensi besar dimanfaatkan sebagai obat. Seperti yang dilaporkan Zuhud, seorang peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) bahwa tiap kawasan Hutan Taman Nasional (HTN) di Indonesia mengandung berbagai spesies tanaman yang mampu mengobati berbagai penyakit. Sekitar 23.000 dari 30.000 jenis tanaman tropis Indonesia terancam punah sebelum dimanfaatkan karena belum sempat diteliti. Data Kebijakan Obat Tradisional Nasional (Kotranas 2007) menyebutkan baru sekitar 7.000 jenis tanaman yang diteliti diketahui memiliki khasiat obat. Jika hal ini terus dibiarkan, status Indonesia sebagai mega senter keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil dalam hal tumbuhan tropisnya hanya akan menjadi kenangan semata.
Sungguh sangat disayangkan. Indonesia membuang begitu saja anugerah keanekaragaman hayati di Bumi khatulistiwa ini. Padahal dunia sedang mengembangkan pengobatan dari bahan-bahan alami untuk mencegah dan mengobati penyakit. Sekitar 60 % negara maju di dunia sudah menggunakan pengobatan tradisional dengan obat berbahan alam. Pasar obat herbal pun kini berkembang pesat dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Indonesia juga mulai meresmikan profesionalitas dalam produksi dan pemanfaatan obat berbahan alam dalam pelayanan kesehatan formalnya melalui Permenkes Nomor 003 tahun 2010 tentang Saintifikasi Jamu.
Mirisnya, Indonesia yang kaya aneka tanaman justru kesulitan memeroleh bahan baku. Tak mengherankan, karena sejumlah oknum “menjual” hijaunya hutan demi hijau uang. Mereka tak menyadari, tidak hanya keasrian lingkungan yang dijual, namun sumber uang lain yang mungkin lebih besar ikut terbuang sia-sia.
Laju deforestasi harus dipatahkan. Kita tak bisa berdiam diri saja melihat kepunahan alam. Ingatlah, penyesalan selalu datang terlambat. Selagi memungkinkan, upaya penyelamatan lingkungan harus diberdayakan dengan maksimal. Kewajiban melestarikan ada di pundak pemerintah dan masyarakat dengan peranannya masing-masing. Sinergi dari kedua pihak ini dibutuhkan untuk mencapai hasil optimal dalam pelestarian lingkungan. Pemerintah mengatur masyarakatnya melalui regulasi pro lingkungan untuk menghentikan perilaku brutal para perusak lingkungan.
Budidaya dan konservasi juga dapat menjadi suatu alternatif yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati Indonesia, termasuk kesuburan tanah. Pelestarian tanah dan tanaman melalui pengelolaan sumber daya alam yang seimbang, bertanggungjawab dan berkelanjutan ini dapat dimulai dari keluarga. Budidaya dan konservasi tanaman menekankan pada pelestarian tanaman endemis dan non endemis di suatu daerah yang berdasarkan pengalaman masyarakat setempat berkhasiat untuk mencegah maupun menyembuhkan penyakit. Misalnya tanaman endemis dari Kalimantan, Eurycoma longifolia (pasak bumi) dapat mengatasi disfungsi ereksi, Kedawung (Parkia timoriana) digunakan masyarakat Jawa untuk mengatasi gangguan lambung, dan tanaman tekokak (Solanum torvum) yang dapat mengatasi gangguan prostat pada pria. Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara melakukan budidaya dan konservasi secara efektif dan efisien?
Sejauh ini konservasi masih dilakukan kelompok tertentu, belum secara menyeluruh. Jika biasanya masyarakat pedesaan menanam Tanaman Obat Keluarga (TOGA) di halaman rumahnya, sedangkan masyarakat perkotaan hanya melakukannya pada lahan tertentu saja, maka kini semua masyarakat harus mulai membudidayakan tanaman di rumahnya. Coba bayangkan, aktivitas sederhana ini akan memberikan arti yang besar karena ada “inventarisasi dan dokumentasi” tanaman, bahkan tanaman khas di suatu daerah. Ini juga menunjukkan adanya partisipasi publik dalam pelestarian.
Di sisi lain juga diperlukan konservasi tanah. Hal ini dapat dimulai dengan pengolahan lahan kritis menjadi lahan layak pakai. Suatu cara yang dapat dicoba ialah penggunaan mikoriza vesikular arbuskula, suatu cendawan yang mampu meningkatkan serapan unsur hara oleh tanaman karena mampu melepaskan unsur hara yang terikat dalam tanah menjadi unsur hara bebas sekaligus melindungi tanah dari serangan mikroorganisme perusak tanaman. Cendawan ini juga mampu menyerap logam berat yang mencemari tanah dan meningkatkan ketersediaan air bersih.
Partisipasi aktif masyarakat tidak bersifat spontan. Perlu dibangun sikap pro konservasi sejak dini pada masyarakat melalui kegiatan-kegiatan yang dapat mempromosikan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem sehingga generasi bermental perusak lingkungan tidak lagi tumbuh subur di Indonesia. Contohnya kegiatan lomba mewarnai dan lomba menyanyi bertemakan lingkungan hidup seperti yang digagas oleh Sahabat Lingkungan Yogyakarta bersama organisasi peduli lingkungan lainnya pada bulan Oktober lalu. Kegiatan promosi pentingnya pelestarian lingkungan seperti ini seharusnya semakin ditingkatkan frekuensinya demi memanen manfaat sikap pro konservasi di kalangan masyarakat Indonesia. Jika sikap pro konservasi sudah dibangun dalam pikiran masyarakat, maka Good Forest Governance yang tergambar pada partisipasi publik terhadap pelestarian lingkungan semakin dekat untuk dicapai.

Oleh : Suhelnida Eka Putri
Program Studi Apoteker Unand

Referensi :

Erizal A.M.Z, Ellyn K.D., Agus H. 2014. Pengembangan Desa Konservasi Hutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Kemandirian Obat Keluarga : Studi Pembangunan masyarakat Indonesia dalam Era Globalisasi dengan Berbasis Pengembangan Etnobiologi dan IPTEKS Konservasi Keanekaragaman Hayati Lokal. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
http://www.mongabay.co.id/2014/10/20/mengenalkan-lingkungan-lewat menggambar-mewarnai-dan-bernyanyi/
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 381/Menkes/SK/III/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional.

Artikel yang diterbitkan oleh