Konflik Berkepanjangan Bandara Kulon Progo

 

Yogyakarta – Kamis (21/4) siang, warga Kulon Progo yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) didampingi kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli mendatangi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta. Mereka mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang mengesahkan Izin Penetapan Lahan (IPL) pembangunan Bandara Kulon Progo.

“Kami mendaftarkan memori PK, upaya ini sudah diatur dalam hukum yang benar,” ujar Yogi.

Namun pihak PTUN belum bisa memberikan keputusan apakah pengajuan PK tersebut akan diterima atau tidak. Hal tersebut dikarenakan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Kepentingan Umum pada Peradilan tata Usaha Negara, dalam Pasal 19 menyebutkan kasasi merupakan akhir dari proses hukum. Namun Yogi dan warga sangat berharap ketua PTUN bisa keluar dari peraturan-peraturan yang bersifat normatif.

“Kuasa hukum dan pihak PTUN membuat perjanjian batas pemberitahuan keputusan yang akan diambil oleh PTUN hingga hari esok (22/4),” kata Yogi.

Jika pengajuan kasasi warga ditolak, menurut Yogi ini merupakan bentuk lembaga negara yang ingin menjegal hak warga negara mencari keadilan. Perma bertentangan dengan perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi, karena proses hukum PK sudah diatur dalam UU MA Nomor 14 Tahun 1985, UU PTUN Nomor 5 Tahun 1986, dan UU Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009.

Sementara itu, Kelik Martono, ketua WTT yang ditemui di PTUN (21/4) mengatakan meski kami tahu ada Perma dan PK akan ditolak, tapi kami akan maju terus, karena yang namanya keajaiban itu tidak tahu juga, yang penting kita positif thingking akan diterima.

“Kita punya lahan yang tidak produktif seperti di Jawa Tengah antara Kulon Progo dan Kutoarjo yang hanya kebun tebu, Bantul hanya tanaman jambu mete, dan juga ada Wonosari. Kenapa mereka memilih Temon? Padahal di Temon lahannya produktif,” jelas Martono.

Lanjutnya, warga menyayangkan sikap pemerintah yang bersikeras membangun bandara di Kulon Progo.

“Temon pernah dipatok untuk bandara, tapi hanya pernah saja, dan tidak akan pernah terealisasi,” ujar Martono.

Kelompok Pro Bersyarat Mulai Gundah

Pembangunan Bandara baru Kulon Progo memunculkan konflik antar masyarakat. Ada kelompok pro bersyarat dan kelompok WTT. Kelompok pro bersyarat merupakanh warga yang setuju dengan pembangunan bandara namun dengan syarat ganti rugi lahan, relokasi tempat tinggal, dan pelatihan kerja bagi warga yang terdampak. Sedangkan warga WTT yang menolak kegiatan pembangunan bandara.

Rizki Fatahillah, kuasa hukum warga WTT dari LBH yang ditemui di Kantor LBH, Selasa (19/4) sore menuturkan kelompok pro bersyarat kemungkinan juga akan pecah, karena mereka mulai gundah. Mereka mempertanyakan soal janji. Mereka bilang ‘kok gak sinkron, pelatihan-pelatihan untuk kerja di bandara, tapi ternyata kok pelatihan kewirausahaan.’ Itu sebenarnya hanya taktik dari Angkasa Pura saja agar warga yang pro bersyarat setuju dengan pembangunan bandara.

Terhadap kelompok pro bersyarat, sebelumnya pemerintah menjanjikan adanya pelatihan bagi warga yang terdampak pembangunan. Kemudian pihak Angkasa Pura I meminta agar warga yang terdampak juga dilatih untuk dipersiapkan kerja di bandara baru nantinya.

“Mana mungkin orang yang tadinya bekerja jadi petani disuruh kerja buruh,” ungkap Rizki.

Lanjutnya, ada penurunan terkait luas lahan semula yang akan dijadikan bandara, yang semua 645 meter persegi, kemudian setelah diukur terdapat penurunan, menjadi 580 meter persegi.

“Ada penurunan luas lahan. Sisanya kami tidak tahu. Mungkin sisanya itu milik warga WTT yang menolak, sehingga tidak diukur,” tambah Rizki.

Rizki melanjutkan, pembangunan bandara dengan luas lahan tersebut mengakibatkan 11 ribu jiwa terdampak penggusuran. Walaupun pemerintah menjanjikan untuk merelokasi mereka-mereka yang terdampak. Namun menurut Rizki tidak mungkin relokasi akan diberikan secara gratis.

“Konflik yang terjadi antara warga dan bandara tidak bisa selesai dengan cepat, karena kembali lagi, warga yang pro bersyarat mulai gundah dan mempertanyakan soal janji,” kata Rizki.

Artikel yang diterbitkan oleh