MP3EI merupakan rambu pembangunan ekonomi di Indonesia, sehingga peraturan di berbagai daerah harus mengacu darinya. Dengan kata lain, peraturan yang dinilai tidak searah dengan konsep MP3EI terancam dihapus atau digantikan.
20 Mei 2011, Presiden telah menetapkan Perpres No. 32 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasaan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sayangnya, Perpres tersebut menunjukkan gerak pembangunan yang semakin serakah dengan mengeruk habis sumber daya alam untuk kepentingan pengusaha bermodal besar.
Semenjak mega proyek itu dicanangkan, pemerintah telah mengidentifikasi 28 peraturan yang dinilai dapat menghambat keberhasilan pelaksanaan MP3EI. Karenanya, perombakan perlu dibuat. 7 Undang-undang, 7 Peraturan Pemerintah, 6 Peraturan Presiden, Keputusan dan Instruksi Presiden, dan 9 Peraturan Menteri teridentifikasi sebagai peraturan yang harus segera “ditertibkan” (diganti).
Hingga Februari 2012, Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) telah berhasil mengganti 17 peraturan yang dinilai menghambat laju pembangunan. Sejumlah peraturan dimaksud, terkait permasalahan agraria, penanaman modal, pertambangan hingga industri.
Yang jadi soal, lolosnya UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Dalam Rangka Kepentingan Umum, justru beranjak dari ide mengenai Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), sampai-sampai status tanah ulayat dimasukkan sebagai komponen investasi. Pemerintah meyakini, MIFEE merupakan upaya penyertaan pemilik tanah ulayat untuk menikmati pertumbuhan ekonomi di daerahnya.
Namun, penolakan mengenai perampasan tanah ulayat mengalir deras. Sebuah situs “Awas MIFEE!”, yang berpusat di Inggris, menyatakan mega proyek itu berpotensi mendatangkan ancaman bagi masyarakat Papua selatan. Penguasaan lahan yang akan berlangsung di sana diyakini merupakan praktik kolonial gaya baru.
“Lebih dari sejuta hektar perkebunan atau lahan pertanian direncanakan menjadi lahan industri. Orang Malind, penduduk asli hutan itu, ditawarkan ganti rugi yang sangat sedikit untuk menggantikan hutan yang merupakan sumber kehidupan bagi mereka dan leluhur mereka selama banyak abad, demikian pernyataan yang termuat di situs “Awas MIFEE”.
Fenomena di atas menunjukkan betapa pembangunan memerlukan fasilitas pendukung, salah satunya regulasi. Peraturan dijadikan alat kontrol agar publik menuruti sesuatu yang tidak mereka sepakati. Perpres mengenai MP3EI, juga peraturan yang mengikutinya, adalah bukti superioritas aparat negara yang selalu menjadikan publik sebagai objek kekuasaan.
Sejumlah peraturan yang diganti adalah upaya pemerintah untuk menyingkirkan halangan dalam pembangunan, atau yang mereka sebut dengan debotllenecking. Hal ini menunjukkan konsep pembangunan yang arogan, karena dengan asumsi-asumsi tertentu pemerintah bisa mengesampingkan kepentingan publik yang dirasa tidak sejalan dengan visi MP3EI.
***
Lewat pemetaan Sumber Daya Alam di berbagai lokasi di Indonesia, pemerintah telah menetapkan enam Koridor Ekonomi (KE). Sumatera menjadi KE sentra produksi dan pengolahan hasil bumi. Jawa harus mendorong industri dan jasa nasional. Pusat produksi hasil tambang dan lumbung energi bertempat di Kalimantan. Produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, migas dan pertambangan nasional berada di Sulawesi. Bidang pariwisata, peternakan dan perikanan ditetapkan di Bali-Nusa Tenggara. Lalu, koridor Papua-kepulauan Maluku adalah lahan pangembangan pangan, peternakan dan perikanan.
Pada lain pihak, investor telah menyiapkan ancang-ancang. Sejumlah usulan diajukan untuk mempermudah perampokan hasil alam di berbagai daerah. Mereka menilai, perlunya revisi terhadap beberapa peraturan perundangan, seperti: UU Ketenagakerjaan, UU Pembebasan Lahan untuk Infrastruktur, UU Tata Ruang, UU Kehutanan serta UU Pertambangan.
Fenomena tersebut jelas menarik minat investor untuk meraup rupiah setinggi mungkin. Dengan klaim klasik, seperti mengurangi pengangguran dan peningkatan ekonomi daerah, jalan lebar untuk menjadi orang kaya di negeri ini semakin terbuka lebar. Memang jelas, kompromi negara sangat diperlukan pemodal untuk menguasai sumber daya alam dan manusia di bumi bernama Indonesia.
Di sisi lain, publik hanya akan mendengar omong kosong terkait turunnya angka kemiskinan, hingga keberhasilan pemerintah meningkatkan ekonomi nasional. Kebijakan MP3EI terlalu bersahabat dengan peningkatan ekonomi makro, sehingga peningkatan ekonomi yang digembar-gemborkan pemerintah tidak lebih dari peningkatan kekayaan pemodal di seantero negeri.
Bisa dilihat, MP3EI merupakan lanjutan dari sejumlah program pemerintah yang pro investor. Industri makro yang digadang-gadang sebagai pompa perecepatan ekonomi nasional, tidak lebih dari lembaga keruk sumber daya alam dan manusia di berbagai tempat. Potensi kekayaan alam yang didominasi kelompok usaha tidak mungkin dihindari. Perusahaan tambang mendapat lampu hijau untuk mengeruk habis hasil alam di sejumlah lokasi.
Atas nama peningkatan ekonomi, pemerintah tega menggadaikan kekayaan alam yang seharusnya digunakan bagi kepentingan umum. Atas nama pembangunan, masyarakat terancam kehilangan tanah, sawah, laut dan hutannya.
Tidak seperti yang dikisahkan pemerintah, bahwa MP3EI merupakan program pengurangan angka kemiskinan di negara ini. Sebaliknya, konsep pembangunan MP3EI jelas bernuansa private domain, dengan kata lain sejumlah sumber daya alam yang selama ini bisa diakses publik terancam dikuasai korporasi, baik nasional maupun multinasional.
Asumsi tadi, bisa dilihat dari berbagai upaya pemerintah untuk mempermudah penanaman modal, pembebasan lahan hingga pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus. Klaim peningkatan ekonomi nasional bisa jadi sebuah program ambisius yang jauh dari keberpihakan pada publik dan lingkungan. Barang tentu, MP3EI akan membawa Indonesia pada neo kolonialisme, suatu saat di mana pribumi menjadi kuli di tanahnya sendiri dan membiarkan korporasi menguras habis tenaga dan sumber daya alam di sekitarnya.
***
Sulawesi Utara turut membenahi diri dalam rangka mendukung program ambisus tersebut. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung menjadi prioritas utama. Hingga saat ini, pemerintah masih terus berupaya mendesak realisasi KEK Bitung. Namun, keinginan tersebut masih terhalang infrastruktur yang belum memadai, sehingga upaya untuk mendesak perampungan jalan tol semakin digencarkan.
Tidak seperti ucapan pemerintah di sejumlah media massa yang menghubungkan pembangunan jalan tol dengan kelancaran transportasi dan penanggulangan kemacetan daerah. Percepatan pembangunan infrasturktur pendukung diyakini bisa menarik minat investor inti, yang kemudian mengundang investor lainnya, untuk menanamkan modal di Sulawesi Utara. Itu juga ditujukan agar transaksi kapital di Kawasan Perhatian Investasi (KPI) Manado dan Bitung bisa berjalan semakin lancar.
Sayangnya, selama ini publik selalu dibohongi oleh klaim pemerintah yang berjanji menjadikan Sulawesi Utara sebagai pintu gerbang asia pasifik, salah satunya dengan membuka kesempatan bagi kelompok industri untuk mengeksploitasi hasil laut, pertanian dan pertambangan. Padahal, yang terjadi selama ini hanyalah privatisasi sumber daya alam secara besar-besaran.
Konsep Percepatan dan Perluasan Pembanguan Ekonomi, terutama di Sulawesi Utara, tidak benar-benar ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat. MP3EI tidak ubahnya atraksi sulap untuk merubah lahan kolektif menjadi lahan privat-korporat, pemanfaatan hasil alam berbasis kearifan lokal menjadi praktik eksploitasi hasil alam secara tergesa-gesa dan serakah.