Sebagai salah satu negara dengan wilayah hutan terluas, Indonesia harusnya berbangga karena tak jarang disebut sebagai ‘paru-paru dunia’. Luas hutan kita hanya kalah dari Brasil yang memiliki wilayah hutan terluas di muka bumi. Data dari Departemen Kehutanan Republik Indonesia tahun 2006 menyebut, sekitar 120 juta hektar wilayah nusantara adalah hutan.
Jika melihat posisi Indonesia yang merupakan negara terbesar ke-enam di dunia, angka tersebut jelas sebuah kondisi yang sangat baik, karena hutan-hutan kita sejatinya dapat membantu dunia dalam menghadapi perubahan iklim. Sayang, seiring berjalannya waktu, wilayah hutan Indonesia perlahan mulai berkurang. Pohon-pohon kita saat ini dengan gampang ditebang dan dibakar oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Hampir setiap hari, bulan, maupun tahun berganti, tak jarang kita mendengar terjadinya kebakaran hutan, illegal logging, atau apapun bentuk kegiatan manusia yang merusak kawasan hutan Indonesia. Masalah yang sepertinya terus-menerus terjadi namun belum bisa dicegah, bahkan oleh pemerintah kita sekalipun. Ironis, namun itulah kenyataan yang terjadi saat ini.
Masih segar dalam ingatan kita saat sebagian wilayah Sumatera diselimuti kabut asap selama periode September hingga awal November lalu. Penyebabnya datang dari kebakaran lahan hutan yang terjadi di beberapa tempat. Tempo melaporkan ada sebanyak 248 titik api yang tersebar di sebagian wilayah hutan Sumatera selama periode tersebut, sehingga kabut asap tidak terhindarkan terjadi di sejumlah kota.
Dampaknya pun langsung bisa dirasakan, kabut asap menyebabkan sejumlah aktifitas masyarakat terganggu. Jarak pandang mata yang berkurang drastis membuat pengguna sepeda motor maupun mobil dituntut lebih berhati-hati di jalan raya. Di Riau bahkan lebih parah, jarak pandang sempat mencapai jarak terdekat yakni 50 meter di depan mata. Situasi yang jelas sangat berbahaya bagi lalu lintas di jalanan karena rawan menimbulkan kecelakaan. Akibat kabut asap pula, sejumlah Bandar Udara (Bandara) yang ada di Sumatera sempat berhenti beroperasi selama beberapa jam hingga hitungan hari, seperti yang terjadi di Bandara Sultan Thata Jambi dan Bandara Sultan Mahmud Badarudin II Palembang.
Tak hanya itu, dari segi kesehatan kabut asap juga ikut memberikan dampak buruk. Banyak warga khususnya anak-anak yang terserang Infeksi Saluran Penapasan Akut (ISPA) setelah menghirup udara yang sudah terkontaminasi dengan asap. Hal ini membuat sebagian besar orang tua memilih ‘meliburkan’ anaknya di rumah ketimbang dibiarkan pergi ke sekolah. Keputusan yang mungkin bisa mengganggu pendidikan si anak, namun juga cukup bijak mengingat kesehatan mereka jadi prioritas utama orang tua.
Di hutan sendiri, kebakaran yang terjadi menyebabkan kerusakan pada cagar alam, berbagai jenis flora dan fauna terancam punah, terciptanya lahan-lahan tandus yang berpotensi menimbulkan banjir di waktu hujan, dan masih banyak lagi masalah yang dirasakan jika hutan terbakar.
Semua yang terjadi di Sumatera ini jelas sangat memprihatinkan, namun situasi tersebut juga saat ini sedang mengancam dan mungkin sedang terjadi di wilayah Indonesia lainnya. Lalu apakah kita akan terus berdiam diri? Apalagi Indonesia kini tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan kerusakan lahan hutan terbesar di dunia. Masih layakkah kita, negara Indonesia di sebut sebagai ‘paru-paru dunia’?
Peran Pemerintah dan Masyarakat
Bak dua sisi uang logam yang memiliki peran sama, pemerintah maupun masyarakat merupakan dua elemen penting yang bisa diandalkan dalam melindungi hutan di Indonesia. Kita tidak bisa mengatur alam ketika musim panas tiba dan menyebabkan hutan terbakar, namun kita (seharusnya) bisa mengantisipasi terjadinya penebangan pohon ilegal oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab, atau menjaga hutan dari tangan-tangan nakal yang sengaja membakarnya demi kepentingan pihak tertentu.
Di sisi pemerintah, mungkin sudah seharusnya memberikan sanksi super tegas kepada mereka yang secara sengaja merusak hutan. Jika sanksi yang diberikan kepada pelaku perusak hutan sangat berat, tentunya akan memberikan efek jera bagi pelaku itu sendiri. Mereka yang akan merusak hutan pun pasti berpikir dua kali terhadap resiko hukuman jika tertangkap nantinya.
Kampanye positif seperti menjaga hutan, manfaat hutan bagi manusia, serta bahaya kerusakan hutan harus lebih sering disosialisasikan kepada masyarakat. Program menanam bibit pohon baru juga harus lebih ditingkatkan, karena menjaga tanpa menanam yang baru pun tiada artinya. Bila perlu, tiap satu pohon yang hilang akibat terbakar atau ditebang, akan diganti dengan seribu bibit pohon baru.
Hal lain yang tak kalah penting untuk diperhatikan pemerintah adalah masalah ijin membuka lahan baru. Banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit, di Sumatera misalnya yang tiap tahun melebarkan lahannya lewat ijin yang turun dari pemerintah. Padahal, di kenyataannya banyak wilayah hutan yang terbakar pada musim panas masih dalam tanggung jawab mereka yang sudah memiliki ijin mengelola lahan. Kenapa bisa terbakar? Karena mereka sendiri kadang tidak mampu menjaga lahan yang begitu luas.
Oleh sebabnya, pemerintah kita harus lebih teliti sebelum mengeluarkan ijin kelola lahan hutan. Bagi yang tidak mampu menjaga dan mengelola hutan dengan benar, cabut saja ijinnya. Karena dengan pemerintah yang tegas dalam ‘melindungi’ hutan, kedepan kita bisa meminimalisir kerusakan hutan yang sering terjadi belakangan ini.
Nah, setelah pemerintah bisa menjalankan tugasnya dengan baik, selanjutnya adalah peran masyarakat sendiri yang dituntut kesadarannya dalam menjaga hutan. Jika sewaktu-waktu ada program pemerintah seperti menanam bibit pohon baru, harus direspon positif oleh masyarakat dengan ikut berpartisipasi. Tidak lupa juga untuk saling mengingatkan kepada sesama agar lebih peduli terhadap setiap pohon yang ada di hutan kita. Minimal, jika tidak bisa membantu dalam menanam pohon, kita jangan sampai merusaknya.
Jika peran kedua sisi ini, baik pemerintah maupun masyarakat bisa sinkron dan berjalan dengan maksimal, bukan tidak mungkin wilayah hutan kita bisa tetap terjaga kelestariannnya. Kedepan juga, Indonesia yang kita cintai bisa tetap hijau seperti saat 20-30 tahun lalu. Slogan Indonesia sebagai ‘paru-paru dunia’ pun bisa dikembalikan dan terus dinikmati oleh anak dan cucu kita suatu saat nanti.
Tulisan juga dipelajari dari beberapa referensi:
http://www.tempo.co/read/news/2014/10/13/206613972/Tersandera-Kabut-Asap-Pemerintah-Jambi-Pasrah
http://www.tempo.co/read/news/2014/10/11/173613548/Kabut-Asap-Masih-Banyak-dari-Sumatera-Selatan
http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/hutan-indonesia-kekayaan-dan-kompleksitas-mas/blog/48605/
http://www.infowagu.co.vu/2013/01/kondisi-hutan-di-indonesia-dulu-dan.html