“Selama mereka masih bisa menikmati keindahan alam, mereka tidak akan peduli akan nasib alam”1
Kira-kira seperti itulah nasib (sebagian) para pecinta alam saat ini. Eh, siapa yang mengklaim pencinta alam? Kami penikmat alam! Oh, whatever.
Beberapa dekade terakhir, isu lingkungan memang sedang marak. Orang-orang mulai berlomba menjaga kelestarian Bumi, yang konon tengah terancam oleh ‘makluk’ yang benama pemanasan global (climate change). Gerakan cinta lingkungan dikampanyekan dengan massive-nya; Gerakan bersepeda, gerakan satu miliar pohon, gerakan mengurangi penggunaan kantong plastik, dan berbagai macam gerakan a la environmentalist yang terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu. Ah, masa sih? Mungkin saja itu benar. Jika berdasar logika-logika yang disusun para ilmuwan lingkungan, sangat mungkin climate change sedang berlangsung. Hal itu juga diperkuat dengan fakta-fakta yang kita lihat sehari-hari: penggundulan hutan, berkembangnya industri kaya limbah, menjamurnya kendaraan bermotor berpolusi, dan pertumbuhan manusia—yang linear dengan meningkatnya jumlah pemukiman—ikut menambah udara di atmosfer bumi kian pengap.
Tunggu, tunggu! Sebenernya apa yang mau diomongin, sih?
Gue cuma mau berkeluh tentang mereka yang disebutkan Squidward di pembuka tulisan ini. Mereka yang hanya mau menikmati alam tanpa mau menjaganya—atau membelanya. Beberapa tahun terakhir, perampasan-perampasan lahan, baik itu milik warga atau berstatus tanah yang dilindungi, kerap terjadi. Pelakunya? Siapa lagi kalo bukan perusahaan yang diizinkan pemerintah. Banyak lahan pertanian atau pemukiman warga digusur karena tanah itu mengandung sumber daya alam yang berlimpah. Dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa, tak terhitung kasus-kasus perampasan tanah oleh industri. Apa kaitannya dengan lingkungan? Kayak yang gue bilang tadi, pertumbuhan industri yang besar, terutama untuk komoditas sumber daya mineral, menjadi salah satu pemicu perubahan iklim: lahan hijau yang rusak, limbah yang beracun, polusi udara akibat proses ekstraksi dan sebagainya. Fenomena itu tidak hanya terjadi di wilayah-wilayah berpenduduk, tetapi juga terjadi di wilayah-wilayah yang menjadi area konservasi alam, seperti taman nasional. Tak perlu banyak argumen. Ketika industri menjarah hutan lindung, kita sudah bisa membayangkan apa yang terjadi. Hutan dibabat. Vegetasi hancur. Hewan-hewan kehilangan habitat. Tanah rusak akibat penggalian. Dan tentu saja, ekosistem sekarat.
Beberapa waktu lalu, mahasiswa pecinta alam (mapala) se-Banten dan warga kawasan Ujung Kulon, bahu-membahu berkampanye menolak rencana pemagaran Taman Nasional Ujung Kulon. Dalih yang dipakai pemerintah adalah demi mengintensifkan konservasi Badak Jawa yang terancam punah. Mengapa konservasi badak ditentang? Mereka bukan menentang konservasi badak, melainkan menolak pembatasan lahan yang menjadi akses mata pencaharian mereka. Mayoritas warga di sekitar area itu merupakan petani ladang yang sangat bergantung pada hasil hutan. Tetapi tidak hanya itu, mapala se-Banten dan warga juga menemukan fakta lain. Bahwa ada proyek besar di kawasan tersebut, sehingga dilakukan semacam upaya pembatasan akses dengan pemagaran kawasan taman nasional. Mereka menemukan beberapa bukti tentang pembabatan hutan di kawasan taman nasional yang ditengarai sebagai bagian dari sebuah proyek megaindustri. Karena usaha mapala dan warga yang massive, hingga tulisan ini dibuat, proyek pemagaran dihentikan (untuk sementara waktu). Ternyata, mahasiswa-mahasiswa itu tidak sembarangan menyematkan label ‘pecinta alam’ pada diri mereka. Karena mereka bersungguh mencintai alam dengan membela lingkungan dari kerusakan dan kerakusan segelintir manusia.
Konsep pecinta alam dikenalkan pertama kali oleh seorang ‘demonstran’ ternama, Soe Hok Gie. Dalam catatannya, Gie menjelaskan alasannya menjadi pecinta alam (baca: naik gunung). Kira-kira begini:
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”2
Pecinta alam tidak hanya menikmati alam. Pecinta alam itu politis. Apa yang dilakukan mapala se-Banten, persis seperti apa yang dibayangkan Gie tentang pecinta alam. Menjadi pecinta alam adalah menjadi pejuang.
Tapi sayang tidak semua ‘pecinta alam’ berpikir demikian. Masih banyak orang yang memahami konsep pecinta alam hanya sebatas naik-turun gunung, susur pantai dan goa, ekspedisi alam, namun tanpa menyertakan semangat politis untuk menjaga lingkungan, apalagi membelanya. Berapa banyak mapala yang bersuara ketika sumber mata air di Padarincang, Banten, yang menjadi sumber kehidupan warga, hampir dirampas Danone Aqua? Berapa banyak mapala yang giat berkampanye menolak perampasan kawasan-kawasan hijau oleh perusahaan tambang? Dan, siapa yang peduli ketika hutan di gunung yang kerap mereka daki terancam digunduli oleh korporasi? Tidak banyak—atau bahkan tidak ada.
Bulan Agustus tahun lalu—2012—ribuan pendaki meninggalkan sampah di Gunung Semeru. Akibatnya, pengelola kawasan tersebut melarang pendakian untuk melakukan bersih gunung selama beberapa waktu. Sampah yang berhasil dikumpulkan hingga berkarung-karung. Pengelola mengatakan, selain untuk bersih-bersih, penutupan gunung juga baik untuk memulihkan vegetasi dan memberikan ruang kepada satwa liar di kawasan tersebut untuk bergerak bebas. Pembersihan dilakukan oleh pengelola dan ribuan pecinta alam dari seluruh nusantara. Tapi, mengapa ironi ini harus terjadi? Mengapa mereka yang ber-Hari Kemerdekaan tidak membawa sampahnya kembali turun, sehingga tidak perlu ada kegiatan bersih gunung dan revitalisasi vegetasi. ‘Pecinta alam’ membuang, pecinta alam membersihkan. Jangankan untuk hal-hal besar seperti advokasi lingkungan dari ancaman industri. Bahkan, hal-hal kecil seperti ini pun sering diabaikan.
Sikap-sikap kayak gini yang gue sayangin. Anggaplah konsep politis tentang pecinta alam-nya Gie terlalu berat—politik kadang tidak menyenangkan. Tetapi, jika ruang-ruang kesenangan yang biasa kita singgahi, kita kagumi dan kita puja-puji, akan dirampas oleh orang-orang serakah, apa kita akan diam saja? Bahkan untuk memperjuangkan ‘ruang bermain’ kita pun enggan. Padahal, jika ruang-ruang itu telah dirampas, dikunci dan dihancurkan, kita tidak akan pernah bisa menikmatinya lagi. Bahkan, untuk sekadar melihatnya. Selain tentu saja, kerusakan lingkungan lambat laun akan menghancurkan penopang-penopang kehidupan.
Kalo membahas persoalan ini, jadi teringat sebuah artikel di salah satu portal media online [Responsible (Travel) Writer]. Si penulis mengkritik para traveler yang hanya mau menikmati keindahan sebuah destinasi wisata dan menganggap tempat itu sebagai hidden paradise nan eksotis, tanpa memedulikan sekitarnya; proteksi lingkungan, kehidupan masyarakat sekitar, pengabaian kultur-kultur tempat-tempat yang menjadi destinasi.
Kerusakan lingkungan tidak hanya diakibatkan oleh destruksi-destruksi korporasi besar. Tetapi juga karena kita abai terhadapnya. Jika tidak mau melakukannya untuk orang lain, lakukanlah untuk diri sendiri. ‘Cause silent is crime!
Ditulis sehari setelah Hari Bumi 2013
(*) Pernah dipublikasi di blog pribadi penulis
1Digubah dari pernyataan Squidward dalam salah satu episode Spongebob Squarepants
2Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran