Dari Bali, Makassar hingga Manado, punya persoalan yang sama yaitu sedikitnya ruang dari redaksi media lokal untuk memberitakan persoalan lingkungan. Bahkan, banyak juga jurnalis di daerah yang tidak mengusai persoalan lingkungan.
“Selain kurangnya space dari redaksi untuk memberitakan isu lingkungan, tidak pahamnya jurnalis dengan isu lingkungan juga menjadi persoalan,” kata Yoseph E Ikanubun, Jumat, 15 Juni 2013 saat diskusi di Manado.
Mulai dari tanggal 8 Juni sampai dengan 15 Juni 2013, Mongabay Indonesia melakukan safari diskusi ketiga daerah di Bali, Makassar dan Manado. Diskusi diketiga tempat ini mengambil tema yang sama yaitu “Peran Blogger dalam mengawal isu Lingkungan.”
Diadakannya diskusi ini selain untuk bersharing informasi dengan berbagai kalangan mengenai isu lingkungan, selain itu juga untuk memetakan seberapa besar isu lingkungan diberikan space pemberitaan oleh media lokal.
Saat ini peran media dalam mengawal isu lingkungan masih dirasa kurang. Wayan Gendo Suardana dari Walhi Bali kepada Mongabay Indonesia mengatakan, ada beberapa hal menyebabkan isu lingkungan mendapatkan ruang yang kecil. Persoalan kepemilikan media tersebut menjadi penyebab utamanya.
“Bagaimana media mau memberitakan isu lingkungan, jika pemiliknya ikut bermain dalam perusakan lingkungan dan berkangkolingkong dengan perusahaan yang merusak lingkungan,” tegas Bli Gendo.
Gendo menambahkan, isu lingkungan saat ini kalah jauh dengan politik, korupsi, hukum, budaya dan isu lainnya. Di Bali, media sangat sedikit sekali yang mengangkat persoalan lingkungan. Media lokalnya bahkan menggiring publik, bahwa tidak ada persoalan lingkungan di Bali.
“Persoalan lingkungan adalah persoalan bersama bangsa ini yang apabila diacuhkan maka mafia-mafia perusak ekosistem lingkungan di negara ini akan semakin tertawa lebar dan bangga dengan kemenangan mereka,” kata Bli Gendo.
Tidak hanya di Bali, di Makassar juga demikian. Zulkarnaen selaku Direktur Walhi Sulawesi Selatan merasakan hal yang sama. Menurutnya, media lokal di Sulawesi Selatan (SulSel) sangat jarang mengangkat persoalan lingkungan. Padahal menurutnya, persoalan lingkungan di Sulsel banyak sekali, mulai dari ancaman kerusakan di Taman Nasional Batimurung yang dijadikan lokasi pertambangan, konflik di PTPN Takallar, tata ruang wilayah provinsi Sulsel, reklamasi pantai Losari dan berbagai kasus lainnya.
“Jikapun ada berita soal lingkungan, media lokal hanya memaparkan persoalan dampaknya saja, tanpa melihat akar permasalahannya secara mendalam,” kata Zulkarnaen.
Di Sulawesi Utara juga terjadi hal yang sama. Media lokal bahkan berkongkalingkong dengan pemilik medianya yang juga ikut ambil bagian dalam perusakan lingkungan. Rignolda djamaluddin, selaku dosen kelautan di Univesitas Sam Ratulangi dan ketua Aliansi Nelayan Tradisional (ANTRA) mengatakan, banyak isu lingkungan yang ada di Sulawesi Utara, akan tetapi nyaris media lokal dan nasional luput untuk memberitakannya. Kepemilikan media dan juga pemahaman para jurnalis akan isu lingkungan juga punya pengaruh besar.
Disisi lain, media sangat penting menjadi bagian dari strategi advokasi dari persoalan lingkungan. Media menjadi alat kampanye dan pemahaman publik akan persoalan lingkungan yang terjadi di Sulawesi Utara. “Jurnalis perlu dipahamakan mengenai isu lingkungan, sehingga mereka peduli akan lingkugan. Selain itu, redaksi media harus memberikan ruang besar untuk memberikan isu lingkungan” kata Rignolda.
Menanggapi persoalan tersebut, Viar selaku pegiat blogger, di Bali Orange Communications (baliorange.net) mengatakan, benar kiranya, jika media mainstream sudah tidak bisa memberikan ruang besar untuk mengangkat isu lingkungan, blog-lah yang seharusnya menjadi jawaban.
Masyarakat langsung menjadi pemain dalam mengawal isu lingkungan, dengan menulis, mempublish foto, video dan lainnya melalui blog. “Jika blogger peduli akan lingkungan, ini sama saja dengan membangun kesadaran publik untuk peduli akan lingkungan,” kata Viar.
Viar menambahkan, saat ini di Indonesia sebagai negara terbesar kelima sebagai pengguna internet di Indonesia. Dari 245 juta penduduk Indonesia, pengguna internet di Indonesia mencapai 55 juta orang. Berdasarkan data Kementrian Komunikasi dan Informasi, pada April 2012 jumlah pengguna jejaring sosial di Indonesia juga besar.
Setidaknya tercatat sebanyak 44,6 juta pengguna Facebook dan sebanyak 19,5 juta pengguna Twitter di Indonesia. Dalam data “Social Media Landscape” yang dikeluarkan salingsilang.com, jumlah pengguna blogger di Indonesia mencapai 4, 1 juta pada Februari 2011. Sebanyak 80,65 persen menggunakan blogspot.com (blogger.com) dan 14,5 persen menggunakan wordpress. Sisanya menggunakan layanan lain.
“Kemajuan media internet mendukung sekali publik dan blogger untuk mengambil peran dalam menuliskan persoalan lingkungan. Hal ini akan menjadi alternatif, di tengah kurangnya space bagi media mainstream dalam memberitakan persoalan lingkungan yang ada di berbagai daerah,” kata Viar.
Pada acara diskusi di ketiga daerah tersebut, sekaligus menjadi moment untuk memperkanalkan blog yang baru beberapa bulan lalu di gagas dan di launching oleh mongabay indonesia yaitu, www.readersblog.mongabay.co.id. Blog readers mongabay indonesia ini hadir dandidedikasikan kepada pembaca Mongabay yang ingin memberikan opini, mengirimkan tulisan maupun foto tentang semua yang berhubungan dengan lingkungan. Anda dapat mendaftarkan diri melalui halaman login atau daftar. Dan untuk dikatahui, tulisan yang dimuat di The Reader’s Blog di luar tanggung jawab redaksi Mongabay Indonesia.
“Hadirnya readersblog mongabay ini, diharap bisa menjadi solusi dan jawaban agar publik ikut peduli memberitakan isu lingkungan disekitarnya. Harapannya semakin banyak yang peduli, maka semakin terjaga kelestarian lingkungan kita,” kata Bli Gendo.
Adapun diskusi yang diselenggarakan diberbagai daerah tersebut diselenggarakan bekerja sama dengan beberapa komunitas. Di Bali diskusi dilaksanakan bersama dengan diesnatalies Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Bali, pada 8 Juni 2013 di Reddbox Cafe. Di Makassar diskusi juga dilaksanakan bekerja sama dengan PPMI Makassar di kampus Stimik Dipanegara pada 11 Juni 2013 dan sebagai kota terakhir di Manado, bekerja sama dengan pers mahasiswa Inovasi, Universitas Sam Ratulangi, Kelola dan Aliansi Nelayan Tradisional, pada 15 Juni 2013.