Dieng Culture Festival III: Serangkai Kombinasi antara Pesta Rakyat, Upacara Sakral, Kerusakan Alam, dan Kebiasaan Klise.

Rasa ingin tahuku tentang Dieng sebenarnya sudah muncul sejak zaman kanak-kanak dahulu. Aku yang tinggal di Sumatera sama sekali tidak mengenali tempat tersebut, tetapi namanya sering terbaca ketika sedang bermain monopoli edisi Indonesia. Seiring waktu berjalan, rasa ingin tahu tersebut sedikit terjawab. Maju ke depan belasan tahun kemudian (ketika aku sedang mengenyam pendidikan di Yogyakarta), pada Oktober 2009 tepatnya, karena bosan dengan rutinitas mengajari baca-tulis para buta aksara di Wiradesa (Pekalongan), aku dan seorang rekan memutuskan untuk “pulang sejenak” ke Jogja. Kami memanfaatkan jalur alternatif menuju Jogja melewati Kajen-Kalibening-Karangkobar-Dieng-Wonosobo-Purworejo. Kami berhenti di Dieng, tetapi hanya untuk singgah sebentar karena langit sore memaksa kami untuk cepat-cepat melanjutkan perjalanan kembali. “Oh, ini yang namanya Dieng…” ucapku kala itu. Ucap dalam hati yang sebenarnya bermakna sarkas, sekaligus, ergh, sinis. Aku hanya melihat hamparan lahan pertanian kentang pada lereng bukit di sekitar jalan utama, bukit gundul, dan bukan pemandangan keindahan alam.

Aku memutuskan untuk kembali mengunjungi Dieng di tahun 2012, atau tiga tahun pasca kunjung singgah pertama — karena ingin melihat langsung pesona yang disajikan event mayor bertajuk Dieng Culture Festival. Perlu digaris-bawahi, aku datang untuk berwisata budaya. Aku berangkat Jumat siang, 29 Juni 2012, ditemani tiga orang kawan dekat, dan sampai di Dieng sekitar pukul 7 malam. Ternyata tak mudah mencari penginapan jelang event besar yang diselenggarakan pada 30 Juni – 1 Juli 2012 tersebut. Banyak homestay atau rumah singgah yang sudah dipesan dari jauh-jauh hari. Untung saja nasib baik masih berpihak kepada kami. Penginapan berhasil kami dapatkan setelah sebelumnya dioper ke sana-kemari oleh calo hotel yang “menjajakan” jasanya, satu malam dihargai Rp 300.000,-. Mahal memang, tetapi kami sudah terlalu lelah untuk mencari ruang tidur yang lebih murah.

Dieng Culture Festival, yang pada tahun 2012 lalu adalah kali ketiga diselenggarakan, direncanakan dibuka pada hari Sabtu (30/6) mulai pukul 7 pagi. Tetapi rundown lagi-lagi hanya menjadi formalitas, kebiasaan bangsa Indonesia yang suka molor membuat gelaran tersebut baru benar-benar dimulai sekitar pukul 10 pagi. Acara dibuka dengan jalan sehat disertai pembubuhan tanda tangan pada kain putih panjang sebagai tanda peduli lingkungan. Pula karena kebiasaan bangsa kita yang masih acuh pada semboyan buanglah sampah pada tempatnya, peduli lingkungan tetap menjadi sebuah mitos. Petisi hanya menjadi sekadar petisi, tidak diikuti aksi nyata karena banyak sampah berserak di mana-mana.

Acara dilanjutkan dengan minum Purwaceng bersama di depan Pendopo Soeharto-whitlam. Ribuan gelas disediakan bagi pengunjung. Minuman tersebut adalah ramuan kuno yang dapat meningkatkan kebugaran, katanya. Sayangnya, lagi-lagi karena kebiasaan klise, gelas berbahan kertas bekas Purwaceng itu terlihat berserak acak dari lahan parkir sampai ke lapangan pusat gelaran. Pengunjung seakan kurang peduli, banyak dari mereka yang kemudian mengonsentrasikan diri pada stand-stand kerajinan lokal, hasil bumi, dan jajanan yang disusun dalam sebuah bazaar, di lapangan. Pentas kesenian juga ditampilkan dalam event ini, dan yang menarik untuk disimak adalah kesenian Rudad, sebuah seni beladiri yang menggabungkan budaya Islam dengan pencak silat. Para pendekar dengan seragam merah-putih saling unjuk jurus dalam satu barisan, diiringi oleh tabuhan rebana dan senandung shalawat. Pelepasan balon raksasa juga menandai kemeriahan hari itu, dilanjutkan dengan pertunjukkan wayang dan pesta kembang api malam harinya. Festival di hari pertama selesai.

Pada hari kedua, enam orang bocah sudah disiapkan untuk dipotong rambut gimbalnya. Rambut tersebut dipercaya sebagai turunan dari leluhur sekaligus penguasa Dieng, Ki Tumenggung Kolodete. Beliau adalah orang berpengaruh dari desa Tegalsari, Kretek. Cerita lokal mengkisahkan, pencalonan dirinya sebagai lurah ditolak oleh Kerajaan Mataram. Ki Tumenggung ketiban sial tidak bisa menjadi lurah akibat rambut gimbalnya, sehingga membuat beliau malu, lalu mengasingkan diri ke Dieng. Sebagai bukti cintanya terhadap dataran tinggi tersebut, beliau memohon kepada Dewata untuk tidak menghentikan garis keturunannya di wilayah tersebut. Dewata malah menjawab dengan selalu menyisipkan anak-anak berambut gimbal dari generasi ke generasi, mereka disebut anak gembel. Gimbal yang tumbuh di rambut anak-anak itu adalah sebuah simbol kesialan. Oleh karena itu, terbentuklah ritual pencukuran rambut gembel yang merupakan ajang buang sial atau ruwatan.

Prosesi dimulai dengan arak-arakan/kirab menuju kompleks Candi Pandawa, diiringi musik Tek-tek (paduan alat musik dari bambu), tari Rampak Yagso, Lengger, dan Singo Barong. Di depan, para sesepuh adat memimpin jalannya kirab, diikuti enam anak gembel yang didampingi orang tuanya. Kirab berhenti di komplek sumur Sendang Sedayu. Prosesi awal yang disebut jamasan akan dimulai. Anak-anak gimbal digiring ke arah sumur kuno tersebut untuk kemudian dibasahi rambutnya dengan air yang sudah dicampur dengan kembang tujuh rupa, air dari Sendang Buana, Tuk Kencen, Tuk Sibido, Tuk Bimalukar, Goa Sumur, Kali Pepek, dan air Sendang Sedayu itu sendiri.

Selesai jamasan, anak-anak gimbal kembali diarak menuju pusat kompleks Candi Pandawa. Sementara itu, mahar dan sesaji sudah tertata rapi di depan Candi Arjuna, bangunan utama yang digunakan sebagai arena cukur rambut gimbal. Keenam anak tersebut kemudian dipotong rambut gimbalnya di tangga candi oleh pejabat pemerintahan Banjarnegara, seperti bupati, wakil bupati, dan kepala kepolisian yang didampingi oleh sesepuh adat. Tampak lancar di awal. Beberapa anak gembel yang dicukur rambutnya tidak malu berinteraksi, ekspresi wajah lucunya kadang dihadiahi riuh tepuk tangan oleh pengunjung. Namun, dipertengahan, terdapat satu anak perempuan gimbal yang menangis ketika akan dicukur dan sulit untuk ditenangkan. Akhirnya, anak itu tetap dipotong rambut gimbalnya meski masih dalam keadaan tersedu-sedu. Prosesi dilanjutkan dengan ngalap berkah, di mana para pengunjung dipersilakan berebut nasi tumpeng di Telaga Warna. Ada mitos yang menyebutkan bahwa sesiapa yang berhasil mendapatkan nasi tersebut akan selalu dilimpahi keberkahan. Acara sakral ini kemudian ditutup dengan pelarungan rambut-rambut yang telah di potong ke Sungai Serayu yang bermuara di Laut Selatan.

Rangkaian prosesi pencukuran rambut gembel selesai, sekaligus sebagai tanda berakhirnya Dieng Culture Festival III yang digelar selama dua hari. Sebuah gelaran yang menarik, pujian juga patut diberikan kepada mereka yang terus memelihara kebudayaan nenek moyang hingga sekarang. Seharusnya, akan semakin lengkap bila didukung oleh panorama alam yang benar-benar asli dan lestari, bukan bukit-bukit gundul. Para pengunjung yang katanya peka budaya itupun harusnya malu ketika membuang sampah sembarangan. Sebuah festival budaya telah dinodai oleh perilaku tak berbudaya. Atau, jangan-jangan, perilaku buang sampah sembarangan itu bisa dihitung sebagai sesuatu yang berbudaya? Lalu, siapa yang salah?

Bukan hanya sampah, ada fakta lain yang juga miris. Sebuah media online memaparkan, “Kerusakan lingkungan Dieng mulai terjadi sejak tahun 1980-an dan degradasi hutan memicu kerusakan hutan terparah terhitung mulai 1998. Tingkat erosi tinggi, antara lain faktor pertanian tanaman kentang yang semusim, menyebabkan rentannya bahaya tanah longsor dan berkurangnya tingkat kesuburan tanah.”(National Geographic)

Kentang mengalami booming di Dieng sejak dekade 80-an. Pada masa itu, kentang adalah tanaman primadona, mudah ditanam dan cepat dipanen. Siapa yang tidak tertarik? Warga Dieng yang sebelumnya hanya bertani kobis, kacang, tembakau, dan pitrem (sejenis bunga lili putih); mulai berbondong-bondong menanami kelas umbi-umbian yang memiliki kadar karbohidrat cukup tinggi tersebut, apalagi didukung oleh permintaan pasar yang juga tinggi. Seiring perubahan pola konsumsi masyarakat perkotaan; di mana french fries, baked potato, mashed potatoes, dan beberapa olahan lain dari kentang menjadi jenis makanan yang mempengaruhi kelas sosial (Hery Susanto) ~ membuat pembabatan hutan untuk lahan kentang kemudian marak terjadi di wilayah Dieng, sebagai wilayah produsen kentang yang baru. Puluhan tahun kemudian, terhitung sampai 2005, sudah lebih dari 900 hektare hutan lindung di Wonosobo habis dibabat (Suara Merdeka), dan tentu saja terus bertambah hingga sekarang. Malahan, baru-baru ini sekitar 7.758 hektare lebih lahan di Dieng sudah menjadi kritis.(National Geographic)

Tidak heran bila Dieng kemudian sering dilanda bencana. Pembabatan kawasan hutan mengakibatkan tingkat erosi yang tinggi. Akibat lainnya adalah degradasi, yaitu tanah longsor dan banjir lumpur. “Wilayah pegunungan kok bisa banjir.”, nyatanya bisa. Lumpur yang ikut turun bersama air dari lereng bukit kemudian masuk ke telaga, terjadi pengendapan di dasarnya sehingga daya tampung menjadi kecil. Curah hujan yang tinggi tidak bisa ditampung semua, jadilah air meluap (Suara Merdeka). Kemudian, belasan desa di sana dinyatakan rawan longsor, mayoritas adalah desa di wilayah Kejajar ( www.greenradio.net). Sebagai contoh adalah desa Tieng, yang pada penghujung 2011 lalu dilanda bencana tersebut, puluhan rumah rusak berat dengan belasan korban jiwa (diengplateu.com).

Bencana-bencana itu membuat pejabat-pejabat dari pemerintah daerah setempat naik bicara, baik Banjarnegara maupun Wonosobo. Lewat pidato-pidatonya, mereka menyarankan para petani Dieng untuk segera mengganti kentang dengan tanaman lain yang lebih ramah lingkungan. Tetapi, pidato hanya sekadar pidato, ucap hanya sekadar ucap; pada prateknya, pemerintah daerah masih saja menyewakan lahannya kepada penduduk untuk ditanami kentang (e-wonosobo.com). Mereka yang menyarankan, mereka pula yang melanggar; semua demi motif ekonomi. Lucu.

Bagaimana nasib Dieng di masa mendatang? Bisakah kamu prediksi? Baiklah kawan, kita semua sudah tahu jawabannya. Dataran tinggi ini hanya tinggal menunggu waktu, waktu untuk ‘pensiun’; karena nantinya, diyakini, hanya bukit-bukit cadas saja yang tersisa. Lalu, apakah tulisan ini dibuat untuk melarang kamu untuk pergi ke Dieng? Tidak, datanglah kamu ke sana, buktikan sendiri.

 

 

Sumber:

Sebuah Pelajaran Berharga dari Dieng dalam www.suaramerdeka.com. Selasa, 30 Agustus 2005.

Butuh Gerakan Masyarakat untuk Menyelamatkan Kawasan Dieng dalam www.nationalgeographic.co.id. Selasa, 3 Juli 2012.

Hery Santoso, MENUJU CARA PRODUKSI DAN KONSUMSI BARU: Resistensi dan Perubahan Gaya Hidup Para Petani Lokal di Dataran Tinggi Dieng dalam http://it.scribd.com.

Pemkab Sewakan Tanah di Dieng Untuk Tanam Kentang dalam http://www.e-wonosobo.com. Selasa, 10 Januari 2012.

Muhammad Raffi, Belasan Desa di Dieng Rawan Longsor dalam www.greenradio.fm. Jumat, 3 Februari 2012.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,