,

Mempertahankan Eksotisme Kepulauan Raja Ampat

Ketika mendengar nama Raja Ampat maka bayangan setiap orang akan menerawang ke sebuah daerah kepulauan di Papua Barat yang terkenal dengan keindahan alamnya. Raja Ampat memang kini tengah mahsyur di kalangan wisatawan, baik mancanegara maupun domestik. Apalagi bagi yang memiliki hobi penyelaman (diving). Raja Ampat ibaratnya surga bagi para penyelam.

Apa yang membuat Kepulauan Raja Ampat begitu diminati wisatawan, hingga mereka tak perduli besarnya biaya yang harus mereka keluarkan untuk menikmati eksotisme alamnya?

Eksotisme Alam Kepulauan Raja Ampat

Perairan Kepulauan Raja Ampat menurut berbagai sumber dikenal sebagai salah satu dari 10 perairan terbaik untuk diving site di seluruh dunia. Bahkan, mungkin juga diakui sebagai nomor satu untuk kelengkapan flora dan fauna bawah air pada saat ini. Dr John Veron, ahli karang berpengalaman dari Australia, misalnya, dalam sebuah situs ia mengungkapkan, Kepulauan Raja Ampat yang terletak di ujung paling barat Pulau Papua, sekitar 50 mil sebelah barat laut Sorong, mempunyai kawasan karang terbaik di Indonesia. Sekitar 450 jenis karang sempat diidentifikasi selama dua pekan penelitian di daerah itu.

Menikmati eksotisme Kepulauan Raja Ampat di ketinggian adalah sebuah pengalaman yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Sebuah hamparan laut yang hijau dan bening dengan puluhan atau bahkan malah pulau-pulau karang kecil bertaburan. Ada kedamaian yang tak tergambarkan dengan sekedar memandangi hamparan itu dan menikmati udara laut yang masih jauh dari polusi udara. Kata yang mungkin tepat dalam menggambarkan perasaan itu adalah ‘biofilia’.

Istilah biofilia ini pertama kali diperkenalkan seorang naturalis bernama E.O. Wilson. Oleh Wilson biofilia ini didefenisikan sebagai hubungan bawaan manusia ke organisme hidup lainnya. Menurutnya, hubungan kita dengan alam berurat akar kuat dengan masa lalu evolusi manusia. Dan itu tertanam dalam gen kita. Itulah mengapa setiap tahunnya lebih banyak orang yang mengunjungi kebun binatang dibanding menghadiri acara pertandingan semua acara olahraga secara gabungan.

Kepulauan Raja Ampat sendiri terletak di Kabupaten Raja Ampat adalah salah satu kabupaten di Papua Barat hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong sejak 2003 lalu. Terdapat kurang lebih 610 pulau di daerah ini, meski hanya sekitar 35 pulau yang berpenghuni. Di antaranya adalah empat pulau utama di kabupaten ini yaitu, Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool. Jumlah penduduk sensus terakhir diketahui sekitar 42.508 jiwa dengan luas daerah sebesar 46.296 km2.

Foto: Dwi Aryo -  The Nature Conservancy
Foto: Dwi Aryo – The Nature Conservancy

Sebagai daerah kepulauan dengan 85% luas daerahnya merupakan lautan, Raja Ampat memiliki banyak kekhasan, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi daerah ini. Laut di sekitarnya merupakan jantung bagi kawasan Segitiga Terumbu Karang yang diakui dunia sebagai pusat keanekaragaman hayati terumbu karang. Kepulauan Raja Ampat merupakan rumah bagi lebih dari 75% spesies terumbu karang yang ada di dunia. Total 537 spesies karang keras telah diidentifikasi dalam Kajian Ekologis Singkat (Rapid Ecological Assesment/REA) oleh TNC pada tahun 2002.

Kepulauan Raja Ampat juga merupakan wilayah terkaya di dunia untuk jumlah fauna ikan karang yang mencapai sedikitnya 1427 spesies. Jumlah tersebut menunjukkan angka tertinggi dalam keanekaragaman hayati laut dibandingkan dengan wilayah lain dengan luasan yang sama di dunia. REA yang dilakukan TNC menghasilkan 104 penemuan baru untuk kepulauan Raja Ampat, termasuk 4 penemuan baru di Indonesia. Saat ini, jumlah spesies tersebut telah meningkat menjadi 553 jenis karang keras dan 1470 jumlah fauna ikan karang. Di Raja Ampat, para ilmuwan juga menjumpai lebih banyak ikan dibanding kawasan dengan luas yang sama di daerah lain di dunia—beberapa jenis bahkan hanya ditemukan di Raja Ampat (Sumber: TNC)

Ada beberapa kawasan terumbu karangyang masih sangat baik kondisinya dengan persentase penutupan karang hidup hingga 90%, yaitu di selat Dampier (selat antara P. Waigeo dan P. Batanta), Kepulauan Kofiau, Kepualauan Misool Timur Selatan dan Kepulauan Wayag. Tipe dari terumbu karang di Raja Ampat umumnya adalah terumbu karang tepi dengan kontur landai hingga curam. Tetapi ditemukan juga tipe atol dan tipe gosong atau taka. Di beberapa tempat seperti di kampung Saondarek, ketika pasang surut terendah, bisa disaksikan hamparan terumbu karang tanpa menyelam dan dengan adaptasinya sendiri, karang tersebut tetap bisa hidup walaupun berada di udara terbuka dan terkena sinar matahari langsung.

Copyright 2010 Jeff YonoverDonated to The Nature Conservancy for non-commercial use.
Copyright 2010 Jeff YonoverDonated to The Nature Conservancy for non-commercial use.

Spesies yang unik yang bisa dijumpai pada saat menyelam adalah beberapa jenis kuda laut katai, wobbegong, dan ikan pari Manta. Juga ada ikan endemik Raja Ampat, yaitu Eviota raja, yaitu sejenis ikan gobbie. Di Manta Point yang terletak di Arborek Selat Dampier, kita bisa menyelam dengan ditemani beberapa ekor Manta Ray yang jinak seperti ketika kita menyelam di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur. Jika menyelam di Cape Kri atau Chicken Reef, Anda bisa dikelilingi oleh ribuan ikan. Kadang kumpulan ikan tuna, giant trevallies dan snappers. Tapi yang menegangkan jika kita dikelilingi oleh kumpulan ikan barakuda, walaupun sebenarnya itu relatif tidak berbahaya (yang berbahaya jika kita ketemu barakuda soliter atau sendirian). Hiu karang juga sering terlihat, dan kalau beruntung Anda juga bisa melihat penyu sedang diam memakan sponge atau berenang di sekitar anda. Di beberapa tempat seperti di Salawati, Batanta dan Waigeo juga terlihat Dugong atau ikan duyung.

Karena daerahnya yang banyak pulau dan selat sempit, maka sebagian besar tempat penyelaman pada waktu tertentu memiliki arus yang kencang. Hal ini memungkinkan juga untuk melakukan drift dive, menyelam sambil mengikuti arus yang kencang dengan air yang sangat jernih sambil menerobos kumpulan ikan (Wikipedia).

Inilah yang kemudian menjadikan Kepulauan Raja Ampat sebagai “surga bawah laut” dengan keindahan keanekaragaman yang sulit ditandingi oleh tempat mana pun di dunia ini.

Peningkatan Jumlah Wisatawan dan Ancamannya

Indikasi semakin dikenalnya Kepulauan Raja Ampat sebagai kawasan wisata bahari yang patut dikunjungi tercermin dari jumlah wisatawan yang berkunjung dalam 4 tahun terakhir ini. Menurut data dari Dinas Budaya dan Pariwisata Raja Ampat, jika pada tahun 2008 jumlah wisatawan hanya sekitar 2000-an pengunjung, maka pada tahun 2010 jumlah ini meningkat menjadi 3.855 orang. Pada tahun 2012 jumlah ini bertambah menjadi 6000 an orang. Pada akhir 2013 ini diperkirakan jumlahnya akan jauh bertambah.

Semakin tingginya angka wisatawan ini berdampak pada peningkatan fasilitas pariwisata yang ada, yang juga mengalami penambahan yang cukup signifikan. Dari semula satu resort kini menjadi tujuh resort dan lima home stay di kampung wisata. Hal yang sama pada jumlah kapal pesiar, alternatif wahana eksklusif untuk menikmati keindahan Raja Ampat, meningkat dari 12 kapal menjadi 36 kapal dalam waktu tiga tahun.

Foto: Feri Latief - © The Nature Conservancy
Foto: Feri Latief – © The Nature Conservancy

Wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat umumnya berasal dari Eropa, dan hanya sebagian kecil dari dalam negeri, sehingga tariff yang dikenakan kepada pengunjung biasanya dalam standar Euro. Di beberapa tempat, dengan penginapan sangat sederhana yang hanya berdinding serta beratap anyaman daun kelapa biasanya bertarif minimal 75 euro atau Rp 900.000 semalam. Dan harus merogoh kocek 30 euro lagi atau sekitar Rp 360 ribu untuk dapat sekali menyelam pada satu lokasi tertentu.

Untuk hotel dengan standar internasional serta dilengkapi fasilitas modern dan makanan yang sedikit mewah biasanya bertarif 225 euro atau sekitar Rp 2,7 juta per malam. Tidak hanya untuk penginapan, tariff untuk transportasi laut pun tergolong mahal dengan harga berkisar antara Rp 2 juta – Rp 5 juta. Bahkan untuk mengunjungi salah satu pulau terjauh ongkos sewa speed bisa mencapai Rp 15 juta. Mahalnya harga sewa transportasi ini disebabkan karena harga bahan bakar yang juga mahal karena sulit diperoleh di tempat ini.

Semakin dikenalnya Kepulauan Raja Ampat sebagai kawasan wisata bahari yang dibarengi oleh pertambahan jumlah wisatawan yang berkunjung meski telah menjadi berkah tersendiri bagi warga dan pemerintah setempat namun di sisi lain menyisakan persoalan tersendiri. Jika tak ada pembatasan pengunjung dan aturan-aturan berkunjung dikhawatirkan justru berpotensi merusak eksosistem yang ada.

Pemerintah Daerah Raja Ampat sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Bupati Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pengembangan Wisata Selam Rekreasi Raja Ampat, dan Peraturan Bupati Nomor 3 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Pariwisata. Kedua aturan inilah yang menjadi acuan pengelolaan usaha kepariwisataan yang akan memberikan kontribusi PAD dan menciptakan iklim investasi kompetitif di Kabupaten Raja Ampat. Dalam peraturan itu juga dibahas tata cara menyelam, syarat lokasi selam, aturan keselamatan menyelam, peredaran kapal wisata di Raja Ampat, pelestarian lingkungan, dan sanksi bagi operator wisata yang melanggar. Hanya saja, terbitnya aturan ini harus senantiasa dikawal dalam hal pelaksanaannya.

Suatu pandangan menarik disampaikan oleh Lukas Rumetna dari The Nature Conservancy (TNC), lembaga internasional yang banyak terlibat dalam program konservasi Raja Ampat, bahwa pengelolaan wisata bahari di Raja Ampat perlu dirancang dan dikelola secara baik agar tidak merusak kelestarian sumberdaya alam laut di Raja Ampat. Dan sebaliknya tetapi justru memberikan manfaat ekonomi dan ekologi yang tinggi bagi pemerintah, masyarakat dan lingkungan. Diyakini bahwa apabila program wisata di Raja Ampat dirancang dan dikelola secara baik, maka program ini tidak akan merusak potensi sumberdaya alam laut di Raja Ampat, tetapi sebaliknya akan memberikan manfaat yang sangat berarti bagi daerah ini.

Godaan Tambang

Masalah lain yang dianggap akan bisa mengganggu eksistensi Kepulauan Raja Ampat sebagai kawasan wisata maupun kawasan konservasi adalah potensi tambang yang dimiliki daerah ini, yang kaya akan nikel dan batu bara. Dibanding PAD yang diperoleh dari wisata yang hanya berkisar Rp 3 miliar per tahun ini, potensi PAD dari tambang justru akan jauh lebih besar, dan ini bisa menjadi godaan tersendiri bagi pemerintah setempat. Dari data SLHD Provinsi Papua Barat (2012) diketahui bahwa saat ini dari 18 izin kuasa pertambangan eksploitasi di Raja Ampat, 14 di antaranya adalah izin untuk jenis tambang nikel dan 3 adalah batu bara. Sedangkan 1 sisanya adalah tambang galian C.

Untuk nikel sendiri, sebagian besar aktivitas tambang telah dalam tahap eksploitasi dan eksploirasi, yaitu sekitar 74.148ha, sementara 13.136 ha kini masih dalam tahap studi kelayakan, dari total 87.284 ha izin kuasa tambang yang dikeluarkan pemerintah. Kekayaan lainnya yang diperkirakan dimiliki oleh Raja Ampat adalah kandungan minyak dan gas bumi di kawasan ini.

Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil analisis overlay antara peta kawasan minyak dan gas bumi dengan peta kawasan hutan, menunjukkan bahwa, terdapat beberapa wilayah tambang minyak dan gas bumi yang berada di wilayah hutan lindung, data pada tabel di bawah ini menunjukkan bahwa salah satu kawasan Kofiau yaitu sekitar 12.475.04 hektar atau sekitar 68%. Blok Salawati Barat sekitar 18%, Blok Halmahera – Kofiau sekitar 12% dan blok halmahera II sekitar 2%. Selain beberapa kuasa pertambangan yang wilayahnya masuk dalam kawasan hutan lindung terdapat juga kuasa pertambangan yang wilayahnya masuk ke dalam suaka alam/Kawasan Pelestarian Alam yaitu Blok Salawati Barat, yaitu sekitar 75% dengan luas 66.408,10 hektar, Blok Halmahera – Kofiau sekitar 15% dan Blok Kofiau sekitar 10%.

Kenyataan bahwa Kabupaten Raja Ampat hingga saat ini belum memiliki RTRW menjadi indikasi penetapan kawasan wisata yang ada saat ini bisa saja berubah setiap saat. Dan ini berarti bahwa ke depan pesona Raja Ampat sebagai kawasan wisata dengan kekayaan alamnya yang melimpah dan eksotis bisa jadi hanya akan menjadi catatan sejarah saja.

Upaya Konservasi

Ancaman lainnya juga terkait dengan ekosistem laut yang ada di Raja Ampat. Meskipun upaya-upaya konservasi telah dilakukan, termasuk dengan melibatkan masyarakat adat setempat, namun upaya-upaya eksplorasi ekstraktif masih kadang dilakukan, misalnya penangkapan ikan dengan menggunakan sianida (potasium) dan penagkapan ikan secara berlebihan (over fishing). Pembangunan infrastruktur sebagai daerah baru juga berpotensi menganggu keberlangsungan eksosistem yang ada di daerah tersebut.

Isu lingkungan lain adalah semakin berkurangnya mangrove akibat eksploitasi masyarakat serta alih fungsi lahan lahan mangrove menjadi lahan pemukiman, yang kasusnya banyak terjadi di Waisai, Kabui, Arawai, Kalitoko, Waigama, Salafen, Kalatlap dan sejumlah tempat lainnya.

Foto: © Nanang Sujana - The Nature Conservancy
Foto: © Nanang Sujana – The Nature Conservancy

Di tengah besarnya potensi ancaman terhadap eksosistem di Raja Ampat, harapan untuk perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup tetap ada. Apalagi dengan adanya The Nature Conservancy (TNC) di Raja Ampat. TNC merupakan sebuah LSM lingkungan asal Amerika Serikat dengan misi untuk melestarikan daratan dan perairan tempat segala kehidupan bergantung.

Menurut Dwi Aryo Handono dari TNC, pada tahun 2006, pemerintah daerah Raja Ampat, bersama masyarakat lokal, TNC dan Conservation International (CI), bersama-sama telah menjadikan daerah ini menjadi kabupaten pertama di Indonesia yang mendeklarasikan sebuah Jejaring KKP (Kawasan Konservasi Perairan). Kawasan konservasi ini secara global telah diakui sebagai sebuah perangkat yang efektif dalam menopang perikanan yang berkelanjutan, melindungi habitat laut penting dan menjamin ketahanan pangan dan mata pencaharian untuk masyarakat lokal. Saat ini terdapat tujuh KKP dalam jejaring yang meliputi lebih dari 1 juta hektar wilayah pesisir dan laut.

Dengan dideklarasikannya Jejaring KKP ini, menurut Dwi, masyarakat lokal kini telah menggunakan data-data ekologis dan sosial ekonomi bersama dengan kearifan lokal yang mereka miliki untuk menyusun rencana zonasi untuk setiap KKP. Praktek-praktek tradisional seperti sasi turut disertakan ke dalam rencana zonasi. Setiap rencana ini akan dimasukkan ke dalam sebuah rencana pengelolaan Jejaring KKP yang lebih besar.

Kita tentunya berharap eksotisme kawasan Kepulauan Raja Ampat ini bisa tetap dipertahankan sebagaimana yang ada sekarang. Menarik apa yang dikatakan Amartya Sen dan Joseph Stiglitz bahwa penilaian kesejahteraan seharusnya jangan hanya dilihat pada apa yang ada sekarang, namun harus juga dilihat keberlanjutannya. Kesejahteraan haruslah dimaknai dengan tetap terjaganya lingkungan hidup sekitar, yang tidak dikorbankan hanya karena kesenangan sesaat.

 

Catatan:

Artikel ini adalah rangkuman informasi dari berbagai sumber, termasuk dari sejumlah artikel, wikipedia dan wawancara dengan sejumlah pihak, termasuk dengan Dwi Aryo Handono dari The Nature Conservancy (TNC) yang beraktivitas di Raja Ampat. Foto-foto di tulisan ini juga bersumber dari kiriman Dwi Aryo Handono.

Artikel yang diterbitkan oleh