Kepentingan LH dibalik Suksesi Pemilu?

hendrikusadam

Oleh Hendrikus Adam*

Pesta demokrasi di Kalimantan Barat khususnya dan di Indonesia pada umumnya kembali akan ditabuh. Sejumlah kader dan partai politik serta para kandidat tengah mempersiapkan diri untuk merebut hati rakyat. Di Kota Pontianak dan Kalimantan Barat umumnya, dapat disaksikan sejumlah media kampanye guna memperkenankan diri kader dan partai maupun “program kerja” berseliweran disejumlah sudut dan ruang, termasuk juga dalam sejumlah berita maupun iklan media massa. Pemilihan umum langsung ketiga di Indonesia tersebut akan memilih anggota DPR, DPD, DPRD pada Rabu, tanggal 9 September 2014. Selanjutnya dalam waktu dekat untuk sejumlah daerah khususnya di wilayah empat kabupaten dan kota meliputi Kota Pontianak, kabupaten Pontianak, kabupaten Kubu Raya dan kabupaten Sanggau dipastikan menghelat Pemilukada pada 19 September mendatang.

Harus disadari bahwa hasil yang diharapkan dari perhelatan pemilihan umum masih menuai debat yang belum bertepi. Pemilu pada satu pihak dianggap sarana untuk memilih secara langsung tersebut dinilai sebagai ruang yang baik untuk menentukan ”orang pilihan rakyat” guna memperjuangkan aspirasi dan sungguh-sungguh berbuat untuk kepentingan rakyat, namun disatu pihak justeru menjadi ruang subur kalangan elitis untuk ”memikirkan” kepentingan diri dan atau organisasi yang diwakili (terutama bagi mereka yang terbiasa seperti ini). Berbagai trik dan intrik jelang perhelatan pemilu dan pemilukada biasanya kerap “dipamerkan” peserta baik secara langsung maupun melalui orang lain.

Bila melihat kecenderungan dominan dari orientasi politik kalangan politikus beserta partai sebagai alat mereka dalam “bertarung”, sangatlah sulit diharapkan adanya produk pemilu yang ideal benar-benar menjadi sebuah kenyataan (kalaupun ada tidak banyak). Adagium “tidak ada teman abadi dalam kehidupan politik selain kepentingan (pribadi dan partai)” menguatkan betapa rapuhnya pondasi sistem dan nilai yang ada dalam dunia politik? Demikian halnya istilah “aji mumpung” kerap kali menjadi ruang yang menakutkan bagi rakyat sekalipun hal tersebut berlaku sebaliknya bagi kalangan elit atau pejabat yang gemar memikirkan diri mereka sendiri. Hal yang lebih menakutkan lagi sehingga perlu disadari adalah ketika para calon “mengadu untung” agar dipilih dan terpilih pada perhelatan pemilu semata-mata disemangati untuk “mendapatkan pekerjaan”. Dengan kecenderungan fenomena seperti ini, maka rakyat tentulah harus bersiap untuk “dikecewakan”.

Bila hal demikian menjadi gejala yang “mewabah” pada kalangan politikus, maka sudah pasti pula persepsi negatif mengenai politik sebagai suatu hal yang “tabu dan kotor” akan tetap abadi di hati sejumlah orang. Selain itu, rakyat tidak perlu heran lagi bila persoalan terkait kepentingan publik yang diselewengkan kian mengemuka. Hal seperti ini perlu disadari bahwasanya, dimensi politik hakikatnya ruang yang tidak bebas nilai; syarat kepentingan, trik dan intrik termasuk memungkinkan ruang “menghalalkan” segala cara.

Suara rakyat adalah suara Tuhan dalam era demokrasi langsung, tentu perlu dikoreksi kembali pemaknaannya dalam konteks yang substantif dari apa yang dihasilkan selama ini. Terlebih bila mereka yang pernah menempati “kursi” ternyata hanya mampu mengumbar janji kampanye yang secara de jure (maupun de facto) ternyata tidak mengikat sebagai suatu kewajiban untuk dipenuhi oleh yang bersangkutan.

Berbagai persoalan publik mengenai hak rakyat dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, hankam serta terkait lingkungan hidup dalam wilayah demokrasi prosedural yang masih mendominasi, akan tetap mengalami tantangan tersendiri dalam situasi dinamis. Persoalan lingkungan hidup misalnya menjadi penting mendapat perhatian bersama bagi para kader parpol maupun kandidat kepala daerah yang mencalonkan diri. Cukup sudah rakyat maupun sumber daya alam (SDA) selama ini ditempatkan sebagai objek dalam perhelatan maupun (penentuan) penyelenggaraan kebijakan pembangunan. Sebaliknya, menempatkan rakyat maupun SDA sebaga subjek harusnya menjadi pilihan strategis yang perlu diperjungkan bersama.

Komitmen bersama untuk memperjuangkan isu lingkungan hidup sebagai pencapaian harapan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana seiring dengan apa yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 harus tetap ada. Adalah tanggungjawab bersama segenap komponen untuk meletakkan demokrasi dan hasil penyelenggaraan pemilu yang tidak hanya dalam konteks “prosedural” – melainkan pada sisi substantif untuk kemaslahatan bersama.

Untuk perbaikan demokrasi dalam konteks penyelenggaraan pemilu, hemat penulis rakyat tidak memerlukan umbaran janji-janji manis apalagi hingga berlebihan. Rakyat juga tidak memerlukan hamburan rupiah, karena sesungguhnya rakyat tidak pantas “diperjualbelikan”. Yang diharapkan adalah bagaimana kalangan elit mempertontonkan sebuah pendidikan politik yang santun, bermartabat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebuah tontonan proses politik yang saling memuliakan dan memanusiakan yang dilakoni kalangan elit, dimana penyelenggara pemilu (KPU) juga mempertontonkan integritasnya, hemat penulis penting menjadi spirit bersama.

Menjadikan (kepentingan) isu lingkungan hidup sebagai mandat dari pencalonan (diri) di Pemilu dengan komitmen meletakkan rakyat dan SDA sebagai subjek dalam perhelatan kebijakan pembangunan, sudahkah? Semoga mereka (para kandidat) yang meyakini bahwa “suara rakyat sebagai suara Tuhan” menjadi tahir***

*) Penulis, aktivis Walhi Kalimantan Barat. Peminat isu demokrasi, sosial, budaya, lingkungan hidup, perdamaian dan hak asasi manusia.

Artikel yang diterbitkan oleh