, , , ,

Sebuah GeoWisata, Beragam Pengalaman Hijau #LiburanHijau

Tidak sedikitpun terlintas di benak saya sebelumnya tentang perjalanan jenis ini. Sebuah perjalanan yang menjadikan saya merasa menjadi pejalan yang sesungguhnya.

Geowisata. Istilah yang sejujurnya baru saya kenal karena mengikuti kegiatan ini. Sebuah kesempatan berharga, bepergian bersama majalah yang saya kagumi, National Geographic (NG), khususnya National Geographic Traveler (NGT) yang pertama saya kenal tahun 2009 silam. Kali ini yang sedang gencar membesarkan komunitas Persembahan Untuk Alam sebagai program ‘hijau’ untuk lingkungan.

Perjalanan tanpa biaya selama lima hari (28 Maret-1 April) ke Jogja dan sekitarnya jelas penawaran yang sangat menarik untuk mengisi libur akhir pekan panjang saya kemarin. Seperti yang sudah saya duga, perjalanan bersama NG pastinya bukan perjalanan biasa, dan benar saja, geowisata inilah jawabannya.
Jika banyak hadiah dari sebuah kompetisi berupa paket perjalanan wisata atau liburan, kegiatan ini jauh dari kesan hanya-trip-hura-hura yang mungkin dibayangkan calon peserta terpilih lainnya saat meniatkan ikut kompetisi yang saya sebut ‘menanam digital’ ini. Geowisata jauh memberi saya lebih banyak cerita dari yang saya duga sebelumnya.

Berdasarkan isi briefing di redaksi NGI dua hari sebelum keberangkatan, saya dan tiga orang lainnya sebagai peserta terpilih mendapat kesempatan menjalani agenda penuh aktivitas seru, seperti mengunjungi desa, caving di goa vertikal, mengenal kebudayaan lewat kunjungan museum, dan rangkaian acara lainnya yang terlihat padat, namun tetap membuat saya pribadi yang suka sekali traveling, tidak sabar menunggu hari keberangkatan.

Hal pertama yang membuat saya terkesan adalah isi dari Travel Kit yang dibagikan saat briefing. Sekitar 75% dari keseluruhan halamannya adalah artikel NGT tentang Dos and Don’t etika wisata. Dari situ saya yakin, bahwa perjalanan ini berbeda dari jenis perjalanan lainnya.

Belajar Ekonomi dari Warga Desa
Jawa Tengah yang panas menyambut kedatangan rombongan kami siang itu (Kamis, 28 Maret 2013) yang berjumlah 16 orang, terdiri dari pihak Teh Kotak, saya dan tiga peserta terpilih lainnya, tim dari NG, dan media partner Metro TV. Disambut dengan ajakan sarapan di Pecel Wader dekat Bandara Adisucipto, rupanya setelah itu kami diboyong dalam elf sekitar satu setengah jam perjalanan ke Desa Wonogiri, Magelang.

Di sana kami disambut oleh warga Desa Wonogiri, khususnya Kelompok Wanita Tani yang mengembangkan bertanam dengan poly bag di desa mereka. Sejujurnya bagi saya, ini bukan kegiatan yang cukup menarik minat saya, tapi setelah mendengar penjelasan dari juru bicara mereka, Ibu Mahmudah, saya pun terkesima.

Mereka mulai bisa menghemat uang belanja sebesar Rp10.000 sampai Rp15.000 setiap harinya dari hasil bertanam di pekarangan mereka dengan poly bag. Uang yang tadinya dianggarkan untuk membeli sayur dan bumbu dapur, akhirnya bisa dialokasikan ke bahan makanan lain, seperti lauk pauk misalnya. Bagi saya, ini adalah realitas yang mengagumkan. Khususnya untuk masyarakat urban seperti saya, bercocok tanam di rumah bukanlah hal familiar untuk dilakukan, tapi melihat nominal yang bisa dihemat, saya resmi belajar ilmu dasar Ekonomi dari desa ini.

Pelajaran ekonomi lain juga saya dapat saat berkunjung dan merasakan bermalam di Desa Mangunsari, Magelang. Di sini kami mendengar Pak Dagdo, pengusaha beras organik bernama Beras Tuton, yang mengembangkan sumber daya manusia agar bisa produktif mengolah lahan yang akhirnya bisa menjadi sumber Rupiah dan menghidupi mereka.

Hal ini yang juga sedang diupayakan Yudho. Bedanya, yang dikembangkan entrepreneur muda ini adalah industri batik, yang ia beri nama Batik Keloen dengan motif unik dan berkarakter asli dari desanya, Tirtosari.

Melihat langsung bagaimana masyarakat desa-desa ini berjuang memajukan hasil produksi asli dari tanah kelahiran mereka sendiri, saya bergidik haru. Maka, saya sangat setuju dengan anjuran dalam bergeowisata untuk membeli produk hasil produksi masyarakat lokal di daerah yang dikunjungi. Memajukan usaha mereka, berarti turut melestarikan apa yang sedang mereka jaga keberlagsungannya, baik untuk alam dan juga budaya kekayaan negeri kita.

Kejutan di dalam Perut Bumi
Dua hari membumi dengan sawah, gunung, sungai, dan rumah penduduk asli Magelang, rombongan kami bergerak ke sebuah daerah berjarak 50 kilometer ke tenggara Yogyakarta. Kami pun bertemu dengan dataran tinggi dan pepohonan rimbun yang makin menggelapi jalan malam itu (Jumat, 29 Maret 2013).

Info populer yang saya tahu tentang daerah ini adalah keberadaan Goa Jomblang yang terkenal di kalangan caver, bukan hanya lokal tapi juga mancanegara. Melihat gambar-gambar di situs pencarian tentang Goa ini sempat membuat saya gugup. Ini memang bukan caving pertama saya, meskipun isitlah ini memang baru saya tahu saat mengikuti kegiatan ini.

Caving yang secara harafiah artinya menjelajah goa, memang saya pernah lakukan di goa-goa kecil dengan pintu masuk horizontal. Nah, itu dia tantangannya. Kami akan masuk menjelajah goa melewati pintu masuk vertikal dan diturunkan dengan tali.

Benar saja, saat harinya tiba (Sabtu, 30 Maret 2013) kami dibawa trekking sebagai pemanasan sebelum menuju goa yang menjadi tujuan utama kami. Kurniawan, salah satu instruktur kami menceritakan profil tiga goa yang kami sambangi di pagi yang cerah itu.

Kami pun berkenalan dengan Goa Grubuk dengan kedalaman vertikal 90 meter dan dasarnya tersambung dengan Goa Jomblang yang akan kami kunjungi, Goa Gunung Bolong yang menjadi tempat tinggal Ular Tengah, reptilia berbisa yang sekali gigit dapat mematikan korbannya hanya dalam waktu lima menit, dan terakhir Goa Sontawing, singkatan dari Horizontal di antara Tebing, yang jika dilihat dari kejauhan seperti dinosaurus sedang duduk di perbukitan.

Saya dan teman-teman dalam rombongan memang sudah bermandi keringat, tapi kelelahan saat itu berubah menjadi semangat lagi saat melihat pintu Goa Jomblang yang akan kami ‘turuni’ setelah sarapan pagi.

Mas Cahyo Alkantana adalah sosok yang memukau saya saat dikenali oleh Kurniawan di sela-sela trekking. Ia adalah caver lokal yang menurut saya juga memiilki misi mulia perihal geowisata. Tiga tahun silam ia datang ke tanah Jomblang yang gersang dan didominasi bukit kapur. Tapi dengan niat dan usahanya, ia bisa mendirikan Jomblang Resort dan mengelola dengan baik goa-goa di bawahnya-yang jumlahnya sampai 300-ini dengan cukup baik.

Selain berhasil ‘meneduhkan’ kawasan Jomblang yang gersang dengan pohon-pohon yang ia bawa dengan sengaja untuk ditanam di sini, Mas Cahyo mengkonsep betul wisata goa di sini. Para pekerjanya adalah masyarakat asli yang kini memiliki pekerjaan baru untuk menyambung hidup, juga pendidikan anak-anak mereka. Termasuk caving ke Goa Jomblang ini, yang memberi kesan khusus dalam pengalaman traveling saya.

Diturunkan dengan tali, yang belakangan saya tahu bernama sistem Single Rope Technique (SRT), rombongan dengan mulus mendarat di kedalaman 70 meter dan berpijak pada area bernama Hutan Rimba. Kami pun masuk horizontal ke mulut goa yang sudah di beri media bebatuan untuk dipijak dan lampu sebagai penerangnya. Tidak beberapa lama berjalan masuk, tentunya dengan sepatu boots dan helm yang tidak boleh dilepas selama di dalam goa, saya pun akhirnya mengintip area seperti jendela dimana Ray of Light terlihat.

Ya, cahaya surga, banyak yang menyebutnya begitu, adalah cahaya yang masuk di antara pepohonan di atas goa, yang ternyata adalah Goa Grubuk, menembus lurus ke dalam kegelapan goa yang berdasar sungai bening ini.

Maka Ray of Light, batu besar berwarna putih bercorak indah dengan sebutan Gordam, dan sungai bening bawah tanah bernama Kalisuci adalah tiga hal memukau yang tidak bisa saya bayangkan bisa ditemukan di dalam perut bumi ini.

Gembira di Ullen Sentalun, Bahagia Kembali ke Jogja
Akhirnya kaki ini menapak kembali di daerah istimewa ini (Minggu, 31 Maret 2013). Agenda kami adalah mengunjungi museum lokal yang namanya mulai ‘naik daun’ beberapa tahun ke belakang. Paling tidak ada dua-tiga orang teman saya yang menyebutkannya awal tahun ini jika membahas Jogja. Saya pun tidak kecewa dengan ekpektasi saya pada tempat bersejarah ini.

Ullen Sentalun menjadi salah satu museum rekomendasi NGI karena alasan berani mematok harga tiket masuk Rp25.000! Untuk jenis tempat wisata berjenis ‘museum’ di Indonesia, jelas ini adalah keberanian khusus.

Rupanya museum di daerah Kaliurang ini memang tidak main-main mentransfer beragam ilmu tentang Keraton Jogja dan Solo, kegembiraan lewat pemaparan menarik pemandunya, dan cerita-cerita ringan yang tanpa sadar adalah salah satu sejarah bangsa dari tanah Jawa. Kami kembali ke pusat kota Jogja sambil sumringah, membawa sekelumat ilmu yang didapat, meski tidak satupun foto koleksi yang boleh di dokumentasi.

Berjumpa dengan Malioboro, Angkringan, Tugu, dan senyum ramah masyarakat Jogja memang selalu memberikan kebahagian bagi pelancongnya. Harga cinderamata yang murah, makanan yang sedap, jelas membuat kami semua malas kembali ke Jakarta keesokan paginya. Matur nuwun, Jogja dan sekitarnya, untuk tanah, air, dan udara, juga beragam cerita tentang fakta betapa kayanya negeri kita.geowisata

Artikel yang diterbitkan oleh