Di tengah Juni yang masih basah, saya dan seorang teman berpetualang ke Bandung. Bukan tanpa alasan. Kebetulan sudah lama saya tertarik ingin mendokumentasikan beberapa gedung tinggalan kolonial di Bandung. Selain karena saya tergiur dengan cerita teman seperjalanan saya akan pengalamannya ke Bandung yang hanya menghabiskan ongkos Rp 5.000.
Rencananya dari Jakarta kami akan menggunakan moda transportasi massal – dikenal dengan kereta Odong-odong – menuju Purwakarta. Kemudian dilanjutkan dengan kereta ekonomi menuju Cibatu yang berhenti di Bandung.
Namun, ternyata saat ini PT KAI telah melakukan banyak perubahan sehingga petualangan yang saya bayangkan tak sesuai dengan kenyataan.
Pertama, kami tidak bisa naik kereta dari Stasiun Jatinegara. Keberangkatan si Odong-odong hanya bisa ditempuh dari Stasiun Kota, Kemayoran atau Bekasi. Karena terlalu jauh dari rumah, maka kami pun ber KRL ria dari Stasiun Buaran menuju Bekasi dengan tiket seharga Rp 8.500. Dari Bekasi baru kami naik Odong-odong menuju Purwakarta dengan biaya Rp 2.500.
Nahasnya, sesampainya di Purwakarta ternyata kereta ekonomi Purwakarta-Bandung telah melaju 25 menit yang lalu. Lagi-lagi karena perubahan dari PT KAI. Perubahan jadwal kereta antar kota menyebabkan waktu keberangkatan kereta ekonomi ke Bandung lebih cepat dari waktu kedatangan si Odong-odong.
Alhasil kami harus mencari kendaraan lain menuju Bandung. Dari stasiun kami naik angkot hingga lokasi yang dilewati oleh bus-bus yang menuju ke Bandung. Akhirnya bus ekonomi Primajasalah yang mengantar kami sampai di Bandung dengan ongkos Rp 15.000. Biaya perjalanan Jakarta-Bandung tak jadi Rp 5.000. Naik berkali lipat menjadi Rp 28.500 karena peraturan baru PT KAI.
Menyusuri Asia-Afrika hingga Cibeureum
Hari pertama kami habiskan dengan naik angkot lalu disambung berjalan kaki. Kami mendokumentasikan sisa sel penjara Banceuy di Jl. Banceuy. Di tempat inilah Sukarno menulis pledoi yang amat terkenal, Indonesia Menggugat.
Kondisi sisa sel yang diyakini membungkam gerak fisik Sukarno di tahun 1930 tampak dipagari dan digembok. Tersembunyi di belantara beton kawasan pertokoan Jl. ABC, sisa sel Banceuy ini seakan menutup rapat segala kejadian yang terekam di eranya. Jika tak berminat dengan sejarah, saya yakin orang tak akan berkunjung ke sini.
Petualangan kami lanjutkan ke arah Jl. Asia Afrika. Cuaca cerah mendukung kami berjalan kaki. Bangunan-bangunan berarsitektur kolonial rancak dilatari langit biru. Di sini kami mengabadikan eks Bangunan Swarha yang pernah digunakan sebagai tempat penginapan para jurnalis peliput Konferensi Asia Afrika pada 1955.
Ada juga gedung Jiwasraya yang dilengkapi dengan balkon trawang di lantai dua. Di sampingnya ada bangunan eks Bank Escompto – sekarang digunakan Bank Mandiri – karya RLA Schoemaker yang dibangun pada 1915. Lalu di seberangnya ada Kantor Pos Besar karya arsitek J. Ven Gendt yang dibangun pada 1928 – 1931.
Oh ya, proses menyeberang di Bandung hampir sama dengan di kota-kota lain. Nyaris tak ada pengendara motor yang sudi menginjak rem dan memberikan kesempatan bagi pejalan kaki menyeberang jalan. Kami menunggu cukup lama untuk bisa berpindah ke seberang jalan.
Selepas memotret bangunan Dezon N.V., sebuah toserba yang sangat populer di era 1925, kami melangkahkan kaki menuju Jl. Sudirman. Senang rasanya berjalan di pelataran toko sepanjang Jl. Asia Afrika. Tempatnya cukup lebar untuk jalur pejalan kaki dan masih menyisakan ruang untuk berbagi dengan para pedagang yang menjajakan aneka rupa dagangan.
Di Jl. Sudirman kami tak tahan dengan godaan pisang gepeng. Saya baru pertama kali melihat jajanan ini. Tapi menurut teman saya pisang ini sudah mengalami modifikasi. Dulu pisang tanduk yang sudah digoreng dan digepengkan hanya ditaburi gula halus. Namun kini ditaburi keju dan cokelat meises.
Saat pisang hendak dimasukkan ke wadah plastik mika, saya mengeluarkan kotak makan. Kebiasaan membawa kotak makan saat ke luar rumah sudah saya jalani sejak 2010. Lumayan, selain yakin dengan kebersihannya, juga membantu saya mengurangi konsumsi wadah plastik atau styrofoam yang mengandung racun.
Jl. Sudirman ternyata sangat panjang. Kami pun mulai letih berjalan. Akhirnya kami naik angkot menuju Cibeureum. Tiba di Cibeureum, mendadak muncul bus Trans Metro Bandung (TMB). Sebuah kebetulan yang tak boleh dilewatkan. Maka kami pun naik bus yang hanya diisi oleh seorang penumpang. Suhu di dalam bus yang sejuk membantu kami mendinginkan badan yang sedari tadi terpanggang matahari. Secara spontan kami memutuskan untuk melakukan tur keliling kota menggunakan TMB hingga terminal akhir di Cicaheum.
Asyik, rasanya seperti mengikuti Surabaya Heritage Track minus pemandu. Saya lebih leluasa memandangi bangunan-bangunan kolonial yang cantik rupawan dari atas bus. Meskipun tak banyak dari bangunan itu yang saya kenal tapi tetap menarik untuk didokumentasikan. Sepertinya ini bagian paling mengesankan seharian ini.
Bus tak begitu ramai penumpang hingga memasuki kawasan Pasar Kosambi. Seketika bus “diserbu” siswa-siswi SMP PGRI I. Pemandangan yang menyenangkan karena masih banyak siswa yang menggunakan transportasi umum ke sekolah.
Menikmati Bandung tanpa menghasilkan polusi
Ketika tiba di Bandung, terbersit di benak kami untuk mencari pinjaman sepeda dari kawan sesama pegiat Peta Hijau di Bandung. Ternyata kawan yang kami kontak bersedia meminjamkan sepeda untuk kami berdua. Kami menjemput sepeda di daerah Japati. Beruntung sekali karena sepeda yang kami pinjam dilengkapi helm dan kunci. Mimpi menjelajahi Bandung dengan sepeda pun mulai terwujud.
Berbeda dengan Jogja, di mana saya berdomisili, yang sudah memiliki banyak jalur sepeda, Bandung sepertinya belum memiliki banyak jalur sepeda. Kami hanya menjumpainya di beberapa titik seperti di Jl. Banda dan di seputar balaikota. Alhasil, bersepeda di Bandung sama seperti uji nyali bertahan dari serangan para pengendara motor yang sebagian besar malas menginjak rem.
Saya nyaris bersitegang dengan seorang pengendara motor di depan Gereja Bethel karya arsitek CPW Schoemaker. Pasalnya saat di persimpangan, saya hendak berganti jalur ke sisi kiri, sementara ia yang berada di belakang saya tak sabar dan membunyikan klakson berkali-kali. Bahkan ia menghardik saya, saat motornya berhasil mendahului sepeda saya.
Haduh, rasanya geram sekali. Kalau dipikir-pikir tenaga mengayuh sepeda hanya datang dari nasi. Sementara mereka para pengendara motor diberi keajaiban bernama bensin yang mampu melesatkan mereka ke kecepatan paling tinggi.
Padahal dari segi polusi, bersepeda sama sekali tak menghasilkan emisi dibandingkan kendaraan bermotor. Sepeda juga tidak banyak membutuhkan ruang untuk jalan dan parkir.
Ya, ini memang terjadi di banyak kota besar di Indonesia. Hierarki penyepeda dan pejalan kaki sering diletakkan di posisi terbawah di rimba jalan raya. Ini kebalikan dari hierarki pengguna jalan yang diakui secara internasional. Tapi justru itu tantangannya.
Walau kondisi lalu lintas di Bandung tidak mendukung, kami tetap bersepeda. Bersepeda di kontur yang naik-turun ditemani dengan lalu lintas yang menerapkan hukum rimba memang harus dilakukan demi sebuah keberpihakan.
Teori Kepunahan Massal di Museum Geologi
Di hari kedua, di pagi yang cerah kami menggowes menuju Museum Geologi. Museum yang didesain oleh Menalda van Schouwenbourg ini dibuka pada 1920. Ini kunjungan pertama saya setelah beberapa kunjungan yang gagal karena museum sudah tutup.
Ruang yang pertama kami jelajahi ialah Ruang Sejarah Kehidupan. Saya seperti berada di dalam masa-masa penciptaan awal bumi. Saya bertemu makhluk-makhluk penghuni awal serta ikut mengalami proses evolusi mereka. Namun, rekonstruksi rangka bentuk kerbau purba, stegodon, dan tyranosaurus tetap jadi bintang idola. Mereka mampu menyihir hampir semua pengunjung di dalam ruangan ini.
Sepertinya niat saya untuk mengoptimalkan kunjungan di Museum Geologi terlalu ambisius. Di ruangan pertama saja rasanya memori saya sudah tak cukup untuk menampung segudang informasi super menarik.
Sementara di ruangan kedua tampilan koleksinya tak semenarik di ruang pamer pertama. Lebih menyerupai diktat kuliah yang dicetak. Mungkin lebih tepat ditujukan bagi mahasiswa yang menimba ilmu di bidang Geologi.
Bagi saya ruang Sejarah Kehidupan mampu menarik saya untuk berkunjung ulang. Terlebih di ruangan ini terdapat satu poster yang menampilkan informasi mengenai Teori Kepunahan Massal. Fase terakhir dalam poster tersebut menyebutkan bahwa salah satu penyebab kehancuran bumi ialah kelebihan gas karbondioksida.
Menurut mongabay.co.id, gas karbondioksida telah meningkat 22% sejak 1959 hingga 2008. Bahkan kandungan gas karbondioksida tahun 2008, sebesar 385 ppm, telah melebihi ambang batas kandungan karbondioksida di udara yaitu 350 ppm.
Untunglah saya bersepeda hari ini sehingga tak ikut menambah gas karbondioksida.
Berguru tentang Sustainable Development di Kopi Aroma
Di hari ketiga, udara Bandung pagi hari yang sangat sejuk memompa semangat kami untuk menggowes ke Kopi Aroma di Banceuy. Di awal perjalanan kami menyempatkan diri untuk mengisi amunisi dengan lontong Sumatera di dekat Stadion Siliwangi.
Saat menuju Kopi Aroma, kami banyak berhenti untuk mendokumentasikan bangunan-bangunan tinggalan kolonial yang memukau. Jika saja jika kami menggunakan kendaraan bermotor, pasti banyak pemandangan yang terlewat, dilumat kecepatan.
Kopi Aroma tampak ramai seperti biasanya. Kami meminta izin kepada salah seorang pegawainya untuk menemui Pak Wid sang pemilik. Tanpa menunggu lama Pak Wid muncul untuk mengantar kami ke bagian dalam pabrik.
Masih dengan sambutan super ramah seperti di tahun 2011, ketika saya pertama kali berkenalan dengan beliau. Seperti tak pernah kenal kata lelah, Pak Wid dengan sabar mengajak kami, dan tiap tamu yang berkunjung, melihat gudang tempat penyimpanan kopi, tempat me-roasting kopi hingga ke lokasi tempat menjemur kopi.
Pak Wid menjelaskan proses pembuatan kopi seperti proses yang ditempuh mahasiswa selama kuliah. Untuk bisa terjun ke dunia kerja tidak bisa ditempuh hanya dengan tiga atau empat semester. Harus mengalami tahun-tahun pembelajaran yang cukup lama. Begitu juga dengan kopi.
Untuk jenis Arabika, Pak Wid akan menyimpannya selama delapan tahun, sementara Robusta lima tahun. Hal itu dilakukan agar kadar asam dalam kopi berkurang. Pak Wid ingin produk kopinya bisa dinikmati semua orang. Ia tak ingin menipu dengan membuat kopi asam yang bakal ditolak orang-orang dengan gangguan lambung. Atau kopi campuran yang meninggalkan aroma kopi pada urin. Oleh karena itu proses pembuatannya pun tak sembarangan.
Mesin untuk me-roasting kopi telah digunakan sejak awal ayahnya memulai pabrik kopi, pada 1936. Mesin itu digerakkan oleh bahan bakar kayu karet. Menurut Pak Wid, kayu karet yang dipakai ialah limbah dari perkebunan karet yang sudah tak produktif. “Karena lingkungan ga boleh rusak, petani karet hidup, kopi wangi, makanya pakai limbah karet. Jadi lebih ramah lingkungan,” begitu jelasnya.
Saya selalu mengagumi Pak Wid sejak awal jumpa. Menurut saya beliau sosok pengusaha yang berada di rel yang benar. Berbisnis dengan etika. Semua perkataan Pak Wid rasanya selaras dengan apa yang dipraktikkan. Ketika bicara soal kualitas produk Pak Wid tak akan main-main. Namun, ketika menentukan harga, Pak Wid seolah bisa berkompromi dengan biaya produksi agar kopinya bisa dirasakan oleh semua kalangan. Ini sama seperti barang berkualitas tinggi yang dijual dengan harga terjangkau.
Satu hal yang paling membekas ialah prinsip Pak Wid dalam hal pengembangan usaha. Walau produknya diminati oleh banyak pecinta kopi, Pak Wid tak berniat untuk melakukan ekspansi atau memperbesar pabrik. “Udah bahagia di sini, sampai saya cukup di sini titik seimbangnya,” tukasnya saat ditanya alasan tak mengembangkan usaha. Ketika ditanya jumlah produksi dalam sehari saja beliau tak pernah tahu pasti. “Ga tentu, sesuai dengan permintaan di depan (toko)“, ujarnya.
Bagi beliau apa yang dijalankan saat ini sudah cukup. Tak perlu ditambahi atau diperbesar. Beliau tampak tak ingin terjebak dengan sistem kapital yang menggiurkan namun juga mematikan. Prinsip ini disadari atau tidak sama persis dengan prinsip sustainable development, bahwa setiap yang tumbuh, termasuk ekonomi, pasti ada batasnya. Rasanya tak perlu memperbincangkan sustainable development dalam seminar-seminar yang ironisnya diselenggarakan di tempat-tempat mewah yang sama sekali tak mencerminkan prinsip keberlanjutan.
Bagi saya itu yang terpenting. Ketika satu hal dipandang cukup maka sepantasnya kita tak perlu melakukan penambahan. Karena penambahan akan berdampak pada peningkatan jumlah kebutuhan sumber daya alam dan energi . Bukankah tiap produk yang massal hanya indah di awal namun sama sekali tak mengandung ruh keberlanjutan. Andai saja semua pengusaha seperti Pak Wid. Saya pikir tak akan terjadi eksploitasi berlebihan terhadap bumi.
Akhir dari sebuah petualangan
Selepas berguru dengan Pak Wid di Kopi Aroma, kami meluncur menuju kawasan ITB. Teman saya ingin mendokumentasikan jalur pedestrian di Jl. Taman Sari. Ia terkesima melihat jalur pedestrian yang tampak nyaman tersebut. Sepertinya belum lama dibuat. Walau pepohonan rindang di sepanjang jalan tersebut telah berusia puluhan bahkan ratusan tahun.
Tak jauh dari gerbang Sabuga, sambil menunggu teman mendokumentasikan jalur pedestrian, saya pun membeli rujak. Tentu saja menggunakan kotak makan yang selalu tersedia di dalam tas. Saya pun menghapus lelah dengan menikmati rujak buah yang segar.
Inilah akhir petualangan kami di Bandung. Petualangan yang sarat makna. Senang akhirnya bisa menikmati berbagai tinggalan kolonial yang masih tersisa di Bandung. Dan juga bisa mencicipi berbagai moda transportasi, dari angkot, bus Trans Metro Bandung, sepeda dan berjalan kaki. Ditambah pencerahan dari Pak Wid. Lengkap sudah!
Referensi Website:
Penelitian: Perubahan Iklim Berdampak Serius Terhadap Sektor Perikanan Indonesia
http://watercolorichsan.com/bandung-heritage-map/
Daftar Bacaan:
Syahril, Shanty. 2009. Kota di Persimpangan Jalan: Pedoman Perancangan Strategi Pengendalian Emisi dari Sektor Transportasi Jalan di Kawasan Perkotaan. Jakarta. Kementerian Negara Lingkungan Hidup.