Aku kesal sekali kenapa aku tidak ikut melepas tukik sore itu. Aku sebenarnya ingin melepas tukik, bukannya memotret. Anak-anak lain bisa ikut membawa tukik dan melepasnya, sedangkan aku tidak. Tukik-tukik yang memberontak di telapak tangan tak sabar untuk merasakan air laut bebas.
Sore itu setahun lalu, Minggu, 15 Juli 2012. Aku ke Pantai Samas, Bantul, Yogyakarta dalam rangka ikut melepas tukik. Aku dan teman-teman Omah Kalangan diundang Komunitas Reispirasi. Mereka orang-orang pecinta penyu. Selain kami ada pengunjung pantai yang ikut melepas tukik.
Tahu, kan, tukik itu apa? Betul! Tukik itu anak penyu. Di Pantai Samas ada tempat konservasi penyu. Penjaga konservasi penyunya Pak Rujito. Dia seorang nelayan. Rumahnya di pinggir Pantai Samas. Bapak yang berumur 50 tahun itu tinggi dan kulitnya hitam kelam.
Dia bercerita kalau dia itu dulunya pemburu penyu dan pencuri telur penyu. Katanya daging penyu itu rasanya bermacam-macam. Ada yang seperti daging sapi, daging ayam, juga daging babi. Telurnya pun bisa menambah stamina. Anehnya walaupun sudah digoreng atau direbus satu hari satu malam pun tetap tidak bisa matang.
Namun suatu ketika dia kedatangan tamu, seorang mahasiswi Universitas Gajah Mada, Yogya. Tamu itu ingin meneliti di mana sarang penyu berada. Mahasiswi itu pun ikut melaut dengan Pak Rujito selama sebulan. Pak Rujito jadi penasaran kenapa penyu diamati. Lalu, Pak Rujito belajar tentang penyu. Akhirnya, Pak Rujito bertobat dari pemburu menjadi penjaga pelestarian penyu di Pantai Samas.
Pak Rujito menyumbangkan kemampuannya melacak lubang telur penyu agar telur-telur penyu tidak rusak terbawa ombak. Dia juga bertugas melindungi penyu dari pemburu atau dari ketidaksengajaan nelayan menjaring penyu.
Dia tahu tanda-tanda penyu mau mendarat yaitu:
– angin bertiup kencang dan menyebabkan gatal-gatal
– suara burung-burung laut yang mengincar telur penyu
– gongongan anjing-anjing penduduk pantai
– tercium bau amis dari laut.
Itulah tanda-tanda yang diamati Pak Rujito. Setiap ada tanda-tanda itu, malamnya pak Rujito bersiap di pantai. Dia menunggu induk penyu bertelur.
Setelah penyu bertelur, Pak Rujito mengambil telur yang bisa terkena ombak. Tujuannya agar telur tidak terbawa ombak. Telur-telur itu disusun di dalam buis beton. Di dalamnya diisi pasir yang semirip mungkin dengan susunan telur yang dibuat induk penyu. Buis beton akan melindungi telur penyu agar tidak terganggu binatang kecil di laut dan tidak dirusak akar pepohonan yang hidup di sekitar lubang telur penyu. Telur penyu dikubur selama 50 hari.
Selain dihitung harinya, ada tanda alam yang bisa diamati. Tandanya adalah pasir yang menutupi telur melengkung ke bawah di hari ke-47. Itu artinya tukik sudah mau menetas. Ada pengalaman tukik lari karena terlambat diketahui saat menetas. Jadi tukiknya banyak yang hilang mungkin mati dimakan anjing atau diambil orang.
Semua usaha ini dilakukan karena penyu itu punya tugas dari Tuhan. Menurut Om Deni dari Reispirasi, tugas penyu adalah mengendalikan populasi ubur-ubur agar ikan tidak habis. Ubur-ubur adalah makanan favorit penyu. Selain penyu makan ubur-ubur, penyu juga memakan ujung rumput laut. Hasilnya rumput laut akan tumbuh lebat dan sehat. Itulah tugas penyu.
Sekarang apa tugas kita? Tugas kita adalah melestarikan penyu. Yang bisa kita lakukan adalah tidak membuang sampah sembarangan. Sampah bisa terbawa aliran air ke laut. Jika sampah sudah sampai laut, penyu bisa mengira sampah itu ubur-ubur makanannya, lalu termakanlah sampah itu. Penyu bisa mati. Sampah juga bisa membingungkan penyu mencari tempat bertelur.
Ayo, kita bersihkan sampah di sekitar kita. Kita semua bertugas melestarikan alam ini. Selamat bertugas!
Ignasius Satrio Krissuseno
9 tahun/pesekolah rumah mandiri