Belum lama ini (13/7) ada kasus satwa Indonesia yg membuat hati siapapun yang berperikemanusiaan dan perikebinatangan tercekat, ya, kisah Papa Geng, gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) yang ditemukan tewas mengenaskan, gadingnya dicuri! Kisah tragis itu ramai di jejaring sosial dan disusul muncul berita Badak Afrika yang juga ditemukan mati mengenaskan dengan cula dicuri. Menurut akun facebook Our Horn is NOT Medicine (Gerakan Perlindungan Badak dari Afrika Selatan) yang tersisa rahang bawah, lidah pun terlihat masih bergerak saat ditemukan, mengerikan! Kemudian, terdengar kabar positif dari Indonesia yakni adanya Peluncuran Buku Teknik Konservasi Badak Indonesia oleh WWF ID pada Rabu (24/7) di Joglo Kemang. Ilmu mana yang tidak sayang untuk ditolak? Gratis pula. Pengejaran ilmu pun dimulai!
Kemang (24/7), acara Peluncuran Buku Teknik Konservasi Badak Indonesia dimulai tepat waktu, pukul 16.00WIB. Dengan nara sumber para aktivis Badak Indonesia yang berkontribusi langsung dalam penulisan buku tersebut, Dr. Hadi S. Alikodra – guru besar bidang manajemen satwa liar IPB dan Widodo Ramono dari Yayasan Badak Indonesia (YABI), juga entertainer yang peduli lingkungan yaitu Nugie dan Davina, plus Duta Badak Indonesia tentunya, Desy Ratnasari. Para tamu acara ini mendapatkan buku yang diluncurkan secara cuma-cuma. Dr. Hadi mengatakan bahwa Indonesia memiliki dua spesies badak dari lima yang masih ada di dunia, tapi sayangnya keduanya terancam punah kini. Kedua spesies ini adalah Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon dan Badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) yang tersebar di seluruh Sumatra. Menurut beliau, segi perilaku reproduksi badak yang menyulitkan populasi badak itu sendiri. Badak jantan hanya akan berusaha mengawini badak betina dalam waktu maksimal lima menit. Lebih dari itu, badak jantan akan menyerah. Ditambahkan oleh Widodo, perilaku hendak kawin badak ditandai dengan berkubangnya jantan dan betina bersama. Sayangnya, sangat jarang terlihat perilaku tersebut. Terbukti, setelah 144 tahun ini, baru satu anak badak Sumatra yang berhasil lahir di penangkaran di Indonesia, yakni di Taman Nasional Way Kambas, Lampung.
Nugie mengatakan bahwa bumi ini bukan hanya untuk manusia, tapi untuk semua makhluk termasuk binatang. Maka dari itu, sudah seharusnya kita tidak egois memikirkan diri kita sendiri. Para binatang membutuhkan ekosistemnya. Ketika ada tamu acara bertanya, apa manfaat badak sehingga kelestariannya perlu kita jaga? Widodo menjawab bahwa badak dapat menjadi penyebar bibit tumbuhan dengan apa yang dimakannya. Dengan begitu, kalau tidak ada lagi badak, maka ekologi akan terganggu. Satu quote dari Dr. Efransjah (CEO WWF ID) yang menarik, “karena tidak tahu, bukan berarti tak penting!” Sama halnya dengan Badak Indonesia, karena kita tidak tahu atau karena belum tahu apa manfaat langsungnya bagi kita, bukan berarti menjadi tak penting kita melestarikannya. Tentu tidak asing quote singkat yang satu ini “tidak ada badak, tidak bagus!” yang diutarakan Duta Badak Indonesia dalam suatu iklan yang dibintanginya.
Sekilas terbaca dari buku yang diluncurkan, Teknik Konservasi Badak Indonesia, bahwa kabar cula badak berkhasiat sebagai aphrodisiak alias obat kuat adalah mitos belaka. Kandungan cula hanyalah zat tanduk dari sel-sel epidermis kulit yang terkeratinisasi seperti halnya pada tanduk, cakar, atau kuku binatang lain (Ryder, 1962 dalam Alikondra dkk, 2013). Teramat sayang kalau kita masih membantai para badak hanya untuk mengambil culanya, hasilnya malah akan membuat badak semakin mendekati kepunahan dan dalam jangka waktu tak tentu, bisa saja menjadi benar-benar punah. “Kita baru akan sadar arti penting sesuatu ketika keberadaannya sudah hilang“, anonim. Dalam artikelnya Mongabay Indonesia yang ditulis oleh Aji Wihardandi, dinyatakan “peran serta masyarakat adat, berperan signifikan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan. Keterlibatan masyarakat adat juga membuat nilai-nilai sosial budaya, ekonomi dan ekologi lokal yang menjadi elemen penting pelestarian hutan dan alam berjalan beriringan dan bukan menutup akses masyarakat adat terhadap hutan mereka.” Dalam hal ini, masyarakat adat dapat diartikan sebagai masyarakat lokal. Jadi, kabar konservasi Badak Indonesia, akan jauh lebih baik kalau masyarakat Sumatra sangat sadar keberadaan D. sumatrensis –nya perlu dilindungi, juga masyarakat lokal Ujung Kulon terhadap R. sondaicus-nya. Jumlah individu badak Sumatra di alam saat ini diperkirakan kurang dari 300 ekor (Dephut, 2007 dalam Alikondra dkk, 2013) dan badak Jawa hanya sekitar 50 ekor (Alikondra dkk, 2013).
Saat ini yang menjadi ancaman bagi badak Sumatra adalah deforestasi dan perburuan liar dan bagi badak Jawa adanya aktivitas Gunung Krakatau ataupun tsunami (Alikondra dkk, 2013). Diperlukan upaya untuk menghentikan berbagai bentuk ancaman terhadap kelangsungan hidupnya dan melakukan manajemen intensif di habitat aslinya (Alikondra, 1977 dalam Alikondra dkk, 2013). Perkembangbiakan badak yang sangat lambat juga menjadi hambatan dalam konservasi badak. Rata-rata badak menjadi dewasa dan dapat memberi keturunan apabila telah berusia enam tahun, dan baru dapat melahirkan anak yang lain enam tahun kemudian, hanya seekor setiap kali melahirkan (Schenkel, 1969 dalam Alikondra dkk, 2013). Kalau kehamilan manusia, 9 bulan dianggap lama, maka badak jauh lebih lama, dua kali lipatnya. Badak Jawa memiliki masa hamil 16-18 bulan (Alikondra dkk, 2013), wow!
Dari lima jenis badak yang masih hidup di dunia, ternyata badak Sumatra (D. sumatrensis) adalah badak terkecil dan paling primitif. Berat badannya hanya berkisar 600-950 kg. Badak Sumatra ini biasa disebut juga sebagai the hairy rhinoceros seperti fosil hidup dari badak purba (Ticorhinus antiquatatis) karena seluruh permukaan tubuhnya tertutup oleh rambut yang pendek dan kaku (Alikondra dkk, 2013). Dibandingkan dengan badak lainnya, badak Sumatra memiliki mata yang sangat sensitif terhadap sinar matahari. Badak Sumatra akan segera menderita konjungtivis apabila matanya sering terpapar sinar matahari dan bila terlambat ditangani dapat mengakibatkan kebutaan (Alikondra dkk, 2013). Oleh karena itu, diperlukan penanganan yang tepat. Pengalaman Suaka Rhino Sumatra (SRS) biasa menyemprotkan ZnSO4 2% ke dalam kelopak mata sebagai tindakan pertama penanganan konjungtivis badak Sumatra. Selanjutnya diberikan antibiotik bila kondisi mata terus berair dan adanya eksudat (Alikondra dkk, 2013).
Badak Jawa (R. sondaicus) adalah badak yang hanya memiliki satu cula. Ukuran cula dapat mencapai 27 cm (Alikodra dkk, 2013). Ukuran tubuhnya lebih besar dibanding badak Sumatra. Berat badan badak Jawa antara 900-2300 kg (Alikodra dkk, 2013). Dulu, penyebaran alami badak Jawa cukup luas hingga ke luar Indonesia. Namun, sampai saat ini, hanya kawasan Taman Nasional Ujung Kulon yang tersisa sebagai habitat dan tempat perlindungan badak Jawa (Alikodra dkk, 2013). Badak Jawa di luar Indonesia ditembak untuk koleksi museum. Tahun 1920 badak Jawa terakhir di Myanmar ditembak, 1932 di Semenanjung Malaysia juga ditembak, serta kepunahannya di Sumatra dilaporkan pada pertengahan tahun 1940 dan di Vietnam pada tahun 2010 (Alikodra dkk, 2013).
Jumlah badak semakin berkurang. Akhirnya, pada tahun 1909 badak dinyatakan sebagai hewan yang dilindungi (Alikodra dkk, 2013). Di dalam buku Teknik Konservasi Badak Indonesia juga dijabarkan beberapa kegiatan penyelamatan badak yang telah dan sedang dilakukan Indonesia. Pertama, penyusunan peranti lunak, yakni dengan mendaftarkan badak Sumatra dan badak Jawa ke dalam jenis satwa yang dilindungi dan terancam punah di CITES, serta membuat pedoman sekaligus arahan dalam pengelolaan badak di Indonesia dengan Strategi Konservasi Badak Indonesia pada tahun 1993 dan 2007 (Alikodra dkk, 2013). Kedua, pengelolaan beberapa taman nasional juga dikerahkan secara maksimal. Taman nasional di Sumatra dan Taman Nasional Ujung Kulon diberlakukan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona rimba, dan zona pemanfaatan intensif dengan pemantauan hidupan liar dan pengawasan perburuan liar secara intensif, juga meningkatkan kerja sama dengan masyarakat setempat (Alikodra dkk, 2013). Ketiga, kegiatan penelitian badak juga dapat membantu konservasi badak. Salah satunya penelitian karya Hoogerwerf pada tahun 1970 dalam bukunya Ujung Kulon: The Land of the Last Javan Rhinoceros (Alikodra dkk, 2013). Keempat, pengamanan badak dan habitatnya juga dilakukan. Dengan program pelestarian secara terpadu dan membentuk Rhino Protection Unit (RPU) di Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Bukit Barisan, Taman Nasional Way Kambas, dan Taman Nasional ujung Kulon atas kerja sama pemerintah dan masyarakat sejak tahun 1944 telah berhasil mengurangi derasnya usaha perburuan badak (Alikodra dkk, 2013). Kelima, penyelamatan badak yang terdesak (doomed) akibat konversi hutan dilakukan sejak 1985 hasil kerja sama SRS dengan Howletts & Port Lympne (HPL) dari Inggris selanjutnya diteruskan dengan Sumatran Rhino Trust (SRT) dari Amerika, dengan berita menggembirakan kelahiran seekor badak jantan pada tahun 2012 hasil perkawinan badak jantan Andalas yang dikirim dari kebun binatang Los Angeles dan badak betina Ratu dari Taman Nasional Way Kambas (Alikodra dkk, 2013). Terakhir, yang terpenting, yaitu peningkatan partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam pelestarian badak Indonesia. Yayasan Mitra Rhino (YMR) dan Yayasan Suaka Rhino Sumatra (YSRS) melebur menjadi YABI yang bertujuan melaksanakan kegiatan konservasi, penggalangan dana, dan meningkatkan partisipasi serta peran masyarakat dalam perlindungan dan pelestarian badak Sumatra dan badak Jawa (Alikodra dkk, 2013). WWF Indonesia, Bank International Indonesia, dan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup telah aktif menghimpun dana penelitian dan penyuluhan badak (Alikodra dkk, 2013).
Dari hasil diskusi pada acara Peluncuran Buku Teknik Konservasi Badak Indonesia ini yang berakhir dengan buka puasa bersama dan dari hasil membaca isi buku tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa keberadaan badak Indonesia, yang patut kita banggakan karena merupakan dua dari lima spesies badak yang masih hidup di dunia, membutuhkan kesadaran kita, hati nurani kita, dan kearifan kita untuk menjaga kelestariannya, mencegahnya dari kepunahan, dan menyelamatkan harta hidupan liar Indonesia yang eksotis. Tugas konservasi bukanlah tugas pemerintah atau aktivis semata, melainkan tugas semua warga negara. Karena kita hidup di bumi bukan hanya dengan manusia. Tumbuhan dan binatang pun punya hak hidup sebagaimana mereka diciptakan oleh Tuhan, sama seperti manusia. Ingat, ekosistem terbentuk dari rangkaian individu, lalu individu-individu itu yang sejenis membentuk populasi, dari berbagai populasi kemudian membentuk komunitas, dan komunitas-komunitas itulah yang menjadikannya ekosistem. Dalam ekosistem, untuk kelangsungan hidup, setiap makhluk berperan aktif dalam rantai makanan. Satu rantai makanan terputus, artinya rangkaian rantai makanan di ekosistem itu ikut terputus. Selanjutnya, keseimbangan ekologi akan terganggu dan kita sebagai manusia akan merasakan imbas pada akhirnya. Lakukan sesuatu sekecil apapun, dimulai dari diri sendiri, bahkan membaca pun artinya kita sudah ikut aktif dalam pelestarian karena dengan membaca kita membuka wawasan kita pribadi tentang alam sekitar dan dapat menumbuhkan kesadaran kita sebagai generasi penerus bangsa yang sudah seharusnya menjaga alam bangsanya.
Semangat belajar, salam lestari, salam konservasi! (dat).
Pustaka:
Alikondra, H.S., dkk. 2013. Teknik Konservasi Badak Indonesia. Tangerang: Literati.
Demi Selamatkan Badak Sumatera, Para Pakar Upayakan Perkawinan Antar-Saudara Kandung