, ,

Sarongge, Pilihan Tepat #LiburanHijau Keluarga

Indonesia telah dikenal dengan kekayaan alamnya berikut flora, fauna serta kebudayaannya yang beragam. Beribu pulau terbentang dari Sabang hingga Merauke. Padang hijau terhampar dimana-mana bak permadani yang terlukis tanpa habis. Dianugerahi lanskap yang tak pernah bosan untuk dijelajah. Belum lagi makhluk laut yang sering mengundang decak kagum. Tidak heran Indonesia menjadi negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi kedua di dunia setelah Brazil. Hal ini pula mengundang para wisatawan dari seluruh dunia untuk ikut menikmati keindahan Nusantara.

Kehadiran para wisatawan secara otomatis menjadi keuntungan tersendiri bagi daerah yang keindahannya dijadikan objek wisata. Namun tak jarang pula menimbulkan keresahan. Pasalnya ada beberapa dari mereka yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan tersebut. Kerusakan lingkungan, terpengaruhnya budaya lokal secara tidak terkontrol, berkurangnya peran masyarakat setempat dan persaingan bisnis yang mulai mengancam lingkungan, budaya serta ekonomi masyarakat setempat adalah menjadi serentetan dampak sebuah objek wisata kurang sedap lagi dipandang apalagi dinikmati.

Maka konsep desa ekowisata menjadi salah satu solusinya dan saat ini mulai dikembangkan di Indonesia. Menurut The International Ecotourism Society (TIEC) pada awal tahun 1990 bahwa ekowisata merupakan perjalanan yang bertanggungjawab ketempat-tempat yang alami dengan menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan dan sekaligus melestarikan potensi sumber-sumber alam dan budaya untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan.

Kegiatan ekowisata di Indonesia juga diatur Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2009. Secara umum objek kegiatan ekowisata tidak jauh berbeda dari kegiatan wisata alam biasa, namun memiliki nilai-nilai moral dan tanggung jawab yang tinggi terhadap objek wisatanya.

Seperti laporan yang merujuk dari Mongabay Indonesia, kelompok nelayan di Bali telah melestarikan desanya menjadi desa ekowisata terapung di Serangan. Berawal dari keprihatinan terhadap kerusakan alam dan kehidupan bermasyarakat, salah seorang nelayan, Wayan Patut, berusaha memulihkan ekosistem yang telah tercemar dan mengalami kerusakan parah akibat proyek reklamasi pada tahun 1990-an. Bersama Kelompok Nelayan Segara, Putut pun berhasil menjadikan desa Serangan menjadi destinasi yang edukatif.

Tak hanya itu mereka juga berhasil mengembangbiakkan dua spesies kuda laut melalui riset dan uji coba habitat secara mandiri. Selain itu pemulihan terumbu karang mulai digalakkan oleh mereka kepada anak-anak juga orangtua. Para wisatawan pun dapat menikmati beragam keunikan biota laut melalui kegiatan snorkeling. Alhasil usaha gigih Patut dan Kelompok Nelayan Segara demi memulihkan desanya mendapat perhatian dari Kementrian Kelautan dan Perikanan juga memperoleh penghargaan Kalpataru untuk kategori Penyelamat Lingkungan pada tahun 2011.

Kesadaran akan lingkungan menjadi poin penting agar keseimbangan alam tetap terjaga. Jika hal ini diabaikan maka akan berdampak buruk bagi ekosistem dan manusia sebagai konsumennya. Akan tetapi tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki segala hal yang telah terjadi. Seperti yang dialami masyarakat di desa Sarongge. Desa yang menjadi penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGPP) ini sempat mengalami degradasi lahan akibat kegiatan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat lokal.

Berkat kesadaran warga setempat dan juga bantuan dari pihak luar saat ini desa Sarongge mulai dikembangkan menjadi desa ekowisata yang edukatif. Ada banyak program yang ditawarkan untuk wisatawan yang mencoba melepas penat dari kesemerawutan kota. Kegiatan seperti menanam pohon, memanen sayur, budidaya ulat sutera, hingga camping ground menjadi pilihan yang tepat untuk #LiburanHijau keluarga.

Lokasi

Desa Sarongge merupakan kawasan penyangga TNGPP. Desa ini terletak di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Menuju desa ini bisa diakses melalui jalur Jakarta – Bogor – Puncak – Pacet dengan jarak tempuh lebih kurang 100 km atau sekitar 3 jam perjalanan dari Jakarta. Sementara jika dari Bandung, dapat melalui jalur Bandung – Cianjur – Cipanas – Pacet dengan jarak tempuh lebih kurang 85 km atau 2 jam perjalanan. Patut diperhitungkan pula kepadatan jalur puncak terutama saat libur dan faktor cuaca yang dapat mempengaruhi waktu tempuh menuju lokasi.

Desa yang baru-baru ini dijadikan sebagai model desa konservasi, dulunya sebagian lahan sempat mengalami degradasi. Beberapa bagian areal yang mengalami perluasan oleh Perum Perhutani dijadikan lahan pertanian oleh warga lokal. Pasalnya hutan di sekitar desa Sarongge menjadi habitat satwa yang hampir terancam punah turut terkena imbasnya.

Maka dari itu Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Kementrian Kehutanan bekerjasama dengan Green Radio berusaha melakukan pendekatan dan pemberdayaan kepada masyarakat setempat untuk menyadarkan akan pentingnya menanam dan merawat hutan yang ada. Pada awalnya visi ini mengalami benturan tersendiri dari masyarakat. Menurut buku ‘Sarongge, Desa Wisata, Edukasi Hutan dan Adopsi Pohon di TNGPP’ yang dikeluarkan oleh Sekretariat Jenderal Kementrian Kehutanan setidaknya ada 155 Kepala Keluarga yang bercocok tanam di dalam taman nasional. Padahal umunya areal yang dirambah tersebut berada di lereng gunung, dengan kelerengan lebih dari 30 derajat dan sangat rawan terjadinya tanah longsor dan erosi.

1372504970892
Areal perkebunan desa Sarongge. Foto: Zahra Firdausiah

Masyarakat pun berangsur-angsur meninggalkan lahan taman nasional setelah dibina oleh Perum Perhutani dan melakukan kemitraan dengan berbagai pihak. Keuntungannya selain dapat menyelamatkan dan menghidupkan keseimbangan hutan dan lingkungan juga dapat menyejahterakan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Sarongge pun berubah status dari desa kebun sayur menjadi desa ekowisata pada 29 Juni 2013 lalu. Melalui pesta rakyat kampung Sarongge yang digelar secara tiga hari berturut-turut mulai 29 Juni – 1 Juli 2013, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu, dan Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan, menetapkan bahwa desa Sarongge sebagai model desa konservasi.

Adopsi Pohon

saronggelima

Program ini menjadi ikon utama di desa Sarongge. Adopsi pohon merupakan program kerjasama antara pihak Perhutani Balai Besar TNGPP dengan Green Radio. Green Radio sendiri merupakan radio yang bergerak di bidang lingkungan. Visinya membahas segala permasalahan lingkungan mulai dari kebijakan sampai pada tips perubahan perilaku yang ramah lingkungan.

Kerjasama ini bermula pada tahun 2008. Dalam lima tahun, Green Radio, bersama Balai Besar TNGPP, para adopter dan petani Sarongge, menanam sekitar 22.000 pohon. Penanaman perdana dilakukan pada tanggal 8 Juli 2008 di areal TNGPP yang merupakan bekas areal perhutani.

Areal TNGPP yang semula seluas 15.196 ha pada tahun 2003, diperluas menjadi 21.975 ha. Seluas 5.000 ha dari areal itu direhabilitasi melalui program adopsi pohon. Program ini bertujuan untuk merehabilitasi areal taman nasional yang sudah terlanjur menjadi kebun-kebun sayur menjadi hutan primer.

Hingga Maret 2013, adopsi pohon telah dilakukan pada 60,664 ha hutan dengan jumlah 24.093 pohon. Program ini berhasil melakukan pembinaan habitat dengan memulihkan areal seluas 38 ha menjadi hutan kembali. Selain itu program ini akan dijadikan sebagai salah satu model nasional penyelesaian konflik tenurial hutan.

Ada beberapa tokoh masyarakat yang ikut berpartisipasi meramaikan program ini. Sebut saja Jimly Asshiddiqie, Olga Lydia, juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono serta beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu II.

Pak Susilo Bambang Yudhoyono turut berpartisipasi dalam program adopsi pohon. Foto: diambil dari www.tempo.co
Pak Susilo Bambang Yudhoyono turut berpartisipasi dalam program adopsi pohon. Foto: diambil dari www.tempo.co

Bagi anda yang tertarik untuk mengadopsi pohon, anda cukup meyiapkan dana sebesar Rp 108.000,- per satu pohon. Pembiayaan ini digunakan selama 3 tahun untuk penanaman dan pemeliharaan pohon. Selain membantu menyeimbangkan kembali habitat hutan primer secara tidak langsung anda juga membantu perekonomian masyarakat setempat karena adanya sumber penghasilan alternatif.

Belajar Ternak

Warga Sarongge juga mengembangkan peternakan domba dan kelinci. Setiap bulannya warga lokal memproduksi sekitar 100 ekor kelinci dan 200 ekor domba. Padahal awalnya mereka hanya memproduksi sekitar 40 ekor domba setiap bulannya.

Kandang untuk ternak domba. Foto: Zahra Firdausiah
Kandang untuk ternak domba. Foto: Zahra Firdausiah

Program ternak ini meningkatkan kesejahteraan mereka menjadi tiga kali lipat dari perkebunan sayur di dalam kawasan taman nasional. Selain itu menjadikan liburan kita menjadi lebih bermanfaat dengan belajar ternak dari warga lokal.

Kegiatan peternak domba. Pengunjung juga bisa belajar bagaimana berternak domba. Foto: Zahra Firdausiah
Kegiatan peternak domba. Pengunjung juga bisa belajar bagaimana berternak domba. Foto: Zahra Firdausiah

Budidaya Lebah Madu

Selain kelinci dan domba, lebah madu menjadi pilihan ketiga program ternak yang dikembangkan masyarakat. Diawal program telah disebar 40 kotak lebah madu akan tetapi karena penggunaan pestisida yang berlebihan oleh petani penggarap TNGPP membuat program ini gagal dilaksanakan.

Nampaknya lebah madu memang alergi terhadap zat-zat yang bersifat kimiawi. Seperti yang dilaporkan oleh Mongabay Indonesia pada 2012 lalu, petani lebah madu di Danau Sentarum, Desa Laboyan, Kapuas Hulu, mengalami gagal panen ditahun ketiganya (2012) akibat perubahan iklim global yang secara langsung memengaruhi siklus hidup lebah-lebah madu hutan. Lebah madu menghilang di musim kemarau lantaran asap dari kebakaran hutan.

Akan tetapi pada tahun 2011 masyarakat Sarongge tidak menyerah pada keadaan. Lebah madu kembali dikembangkan dengan menyebarkan 20 kotak di sekitar taman nasional. Kotak-kotak lebah tersebar di sepanjang perbatasan hutan taman nasional dengan batas kampung warga Sarongge. Sehingga kotak-kotak lebah madu ini dapat diamati sambil berjalan menuju Hutan Sahabat Green.

Budidaya Ulat Sutera

Kain sutera merupakan bahan pakaian yang sangat indah dan istimewa di dunia. Tak ada yang tak ingin menggunakan kain jenis ini. Proses pembuatan yang rumit dan panjang menjadikan kain sutera harus merogoh kocek tak sedikit. Maka dari itu tak banyak juga pengrajin yang mengembangkan budidaya ini. Di Cianjur baru ada satu pengrajin kain sutera yang terbilang sudah memproduksi secara simultan, yaitu Kelompok Usaha Bersama Aurarista di Kampung Sarongge, RT 02/06, Desa Ciputri Kecamatan Pacet, Cianjur.

Lewat program ini anda beserta keluarga dapat mengetahui bagaimana proses kain sutera dibuat. Mulai dari pembuatan rumah untuk pemeliharaan ulat menjadi kokon hingga proses pemintalan benang, menjadikan perjalanan ekowisata yang unik dan menarik.

sumber foto: cianjurcybercity.com
sumber foto: cianjurcybercity.com

Perkebunan Sereh Wangi

Meski hidup di ladang-ladang liar nyatanya tanaman sereh wangi memiliki manfaat yang luar biasa. Tanaman ini memiliki nilai yang cukup tinggi di pasaran. Seperti yang disampaikan oleh Ir.Hieronymus Budi Santoso dalam bukunya yang berjudul Sereh Wangi, Bertanam dan Penyulingan, harga tanaman sereh wangi bisa mencapai sekitar Rp 17.500,- hingga Rp 22.500,- per kilogram. Maka dari itu petani di Sarongge mengembangkan tanaman ini.

Minyak sereh juga dimanfaatkan sebagai bahan campuran untuk pembuatan sabun, bahan kosmetik dan minyak gosok. Selain itu sari dari sereh wangi juga dapat dijadikan sebagai minuman hangat yaitu teh. Selain mencicipi olahan sereh wangi anda juga bisa melihat proses pembuatannya.

Pertanian Organik

Pertanian organik di Sarongge awalnya didirikan oleh Green Initiative Foundation. Pertanian ini menempati lahan seluas 1.600 meter persegi, produksi Pertanian Organik Sarongge meliputi 20 jenis sayuran.

Petani di kampung ini mengembangkan pertanian organik yang bebas pestisida dan menggunakan pupuk alami. Sehingga di tempat ini pengunjung bisa membeli sayuran segar langsung dari petaninya. Selain sayurnya yang masih segar, harganya juga relatif lebih murah dan langsung dapat dipetik dari kebunnya.

sumber foto: greeninitiativefoundation.org
sumber foto: greeninitiativefoundation.org

Camping Ground

Program ini diperuntukkan bagi mereka yang ingin bermalam dan merasakan dinginnya hawa pegunungan. Bersama keluarga tercinta kegiatan camping ground memberikan pendidikan secara langsung betapa pentingnya konservasi hutan.

jalan menuju camping ground. foto oleh: Zahra Firdausiah
jalan menuju camping ground. foto oleh: Zahra Firdausiah

Sarana berkemah di Sarongge ini bisa menjadi salah satu alternatif wisata murah. Pengunjung hanya dikenakan biaya sebesar Rp 290.000,- dengan menginap selama 2 hari 1 malam disertai dengan menanam pohon di hutan adopsi. Fasilitas yang ditawarkan pun cukup lengkap, dilengkapi dengan fasilitas tenda, rumah pohon, aula atau ruang pertemuan, dapur, toilet umum dan ada api unggun juga. Selain itu menyediakan jasa pemandu wisata dan porter lokal bagi pengunjung termasuk penyediaan catering dan logistic untuk kebutuhan pengunjung.

Pengunjung disediakan tenda oleh warga setempat untuk pelayanan penginapan. sumber foto: portalkbr.com
Pengunjung disediakan tenda oleh warga setempat untuk pelayanan penginapan. sumber foto: portalkbr.com

Camping Ground yang didirikan di area bekas kebun sayur masyarakat ini menempati areal seluas 2,5 hektar. Pada tahun 2011, Camping Ground Sarongge dikembangkan kembali menjadi kawasan pendidikan alam dan energy terbarukan. Dilengkapi juga dengan penggunaan panel surya yang menerangi kawasan camping ground.

rumah pohon di areal Camping Ground. Foto: Zahra Firdausiah
rumah pohon di areal Camping Ground. Foto: Zahra Firdausiah

Kegiatan berkemah juga bisa berlanjut dengan menyelusuri sungai dan air terjun Ciheulang. Dibutuhkan waktu selama 4 – 5 jam untuk trekking menuju air terjun ini. Di air terjun Ciheulang ada mata air aneka rasa, salah satunya berasa asam. Di hulunya, diperkirakan sumber mata air ini bercampur gas belerang, yang memang muncul di banyak tempat di Gunung Gede.

Di sekitar camping ground setinggi 1.560 mdpl ini dapat ditemukan berbagai jenis tumbuhan obat dan buah. Ada banyak jenis tumbuhan baik pohon maupun semak yang berguna sebagai obat. Selain itu satwa liar yang dilindungi juga dapat diamati di sekitar hutan dan camping ground, seperti monyet ekor panjang, babi hutan, lutung, dan burung elang.

Walen, salah satu tanaman herbal untuk menyembuhkan sakit gigi yang berada di kawasan hutan Sarongge. Foto: greeninitiativefoundation.org
Walen, salah satu tanaman herbal untuk menyembuhkan sakit gigi yang berada di kawasan hutan Sarongge. Foto: greeninitiativefoundation.org

Mengunjungi Desa Sarongge menjadi pilihan yang tepat untuk #LiburanHijau keluarga. Selain mengajarkan anak-anak peduli terhadap lingkungan dan mengembangkan kawasan pendidikan konservasi alam, pengunjung juga menyumbangkan sebagian dananya untuk meningkatkan taraf penghidupan petani menjadi lebih layak dan sejahtera secara ekonomi, pendidikan dan kesehatan.

 

Sumber:

http://www.mongabay.co.id/2013/06/30/kelompok-nelayan-di-bali-ini-mampu-tangkarkan-kuda-laut-dan-membangun-zona-ekowisata-terapung/

http://www.mongabay.co.id/2012/10/10/perubahan-iklim-lebah-madu-hengkang-dari-sentarum/

http://travel.okezone.com/read/2013/07/02/408/830752/ekowisata-kian-dirindukan-saatnya-turis-harus-bertanggungjawab

http://travel.okezone.com/read/2012/08/06/407/673745/desa-wisata-cikal-bakal-indonesia-siap-dibanjiri-turis

http://www.ekowisata.info/konsep_ekowisata.html

http://www.koran-sindo.com/node/317260

BukuSarongge, Desa Wisata, Edukasi Hutan dan Adopsi Pohon Gunung Gede Pangrangooleh Sekretariat Jenderal Kementrian Kehutanan, 2013.

Artikel yang diterbitkan oleh