Keberadaan harta karun berupa urat-urat timah di perut bumi menjadikan Pulau Belitung sebagai primadona yang diperebutkan banyak pihak. Tanpa disadari, eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggungjawab mendatangkan petaka bagi alam dan manusia yang menghuninya. Kini, masyarakat yang sadar akan pentingnya menjaga alam mulai melirik bidang pariwisata berkelanjutan sebagai ganti pertambangan.
Pesawat yang saya tumpangi sebentar lagi mendarat. Awan gemawan dan langit biru yang menemani perjalanan berubah menjadi panorama lautan dengan gradasi warna memukau dari hijau muda, toska, hingga biru tua. Daratan yang berselimutkan hijau pepohonan mulai terlihat dengan jelas. Di beberapa bagian terlihat lubang-lubang galian timah (kolong) dengan berbagai ukuran, dari kecil, sedang hingga berukuran besar. Banyak di antara kolong-kolong tersebut yang terisi air biru muda.
Bagi para fotografer, pemandangan tersebut tentu saja bisa menjadi obyek foto yang sangat menarik dan eksotis. Karena itu beberapa tour operator yang ada di Belitung memasukkan kolong-kolong timah tersebut sebagai salah satu daftar tempat yang wajib dikunjungi, khususnya bagi mereka yang mengambil paket wisata fotografi. Tapi bagi saya itu justru pemandangan yang sangat memilukan. Bopeng-bopeng yang ada di dataran Belitung merupakan bukti otentik alam yang telah rusak dan tercemar akibat pertambangan. Kolong timah yang telah ditinggalkan oleh para penambang menjadi areal yang tidak bisa difungsikan untuk apapun. Bahkan jika ingin mereklamasinya memerlukan dana yang sangat banyak serta waktu hingga puluhan bahkan ratusan tahun.
Sejenak saya mengingat ke belakang tentang sejarah pulau cantik ini. Jauh sebelum novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata menggemparkan jagad kesusastraan Indonesia dan melambungkan pariwisata Belitung, pulau ini telah lebih dulu dikenal dunia lewat kitab klasik China, Hsing – cha Sheng – lan. Dalam kitab yang ditulis pada tahun 1436 itu disebutkan bawah Belitung merupakan sebuah wilayah kepulauan dengan tradisi unik dan pemandangan indah berupa sungai-sungai dan tanah datar.
Semenjak timah ditemukan di pulau ini, Belitung pun menjadi incaran banyak bangsa dan aktivitas pertambangan mulai dilakukan. Usai masa pendudukan Belanda, pertambangan di Belitung dan Bangka diambil alih oleh Indonesia dan dilakukan dibawah PN Timah. Setelah perusahaan tersebut tidak beroperasi, masyarakat pun masih tetap menambang timah secara ilegal. Pertambangan timah besar-besaran tersebut menyisakan alam yang rusak dan tercemar berupa kolong-kolong tersebut.
Lamunan saya tentang kisah-kisah masa lalu Belitung yang muram segera buyar saat pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Hanandjoeddin, Tanjung Pandan. Ucapan “Selamat datang di Negeri Laskar Pelangi!” yang terpampang di billboard menyambut kedatangan saya. Saya rentangkan tangan lebar-lebar sambil berteriak dalam hati “Belitong, saya datang lagi!”
Berbeda dengan kedatangan saya yang pertama. Kali ini saya tak ingin menelusuri jejak Laskar Pelangi di Negeri Serumpun Sebalai ini. Saya lebih tertarik untuk berkunjung ke tempat konservasi penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan terumbu karang di Pulau kepayang serta tempat konservasi peli’lean (Tarsius Bancanus Saltataor) di kaki Gunung Tajam, Batu Mentas.
Awalnya saya juga tak menyangka bahwa ada Tarsius di Belitung, setahu saya hewan nocturnal tersebut hanya ada di daratan Celebes. Namun saat saya browsing soal Belitung, ternyata hewan ini juga di temui di kepulauan tersebut bahkan menjadi ikon fauna provinsi Bangka Belitung. Tahun lalu, dalam kunjungan perdana saya ke Belitung saya bertemu dengan Bang Budi Setiawan, ketua Kelompok Peduli Lingkungan Belitung (KPLB) yang mengelola dua kawasan konservasi tersebut. Pada pertemuan pertama tersebut saya sempat diajak untuk mengunjungi Batu Mentas serta bercengkerama dengan Dita, salah satu tarsius betina yang ada di penangkaran.
Berawal dari kepedulian akan alam Belitung yang telah rusak akibat aktivitas penambangan timah dan keresahan akan maraknya aksi pembalakan hutan di kawasan Gunung Tajam, Bang Budi dan kawan-kawan pun mengajukan ke pemerintah supaya keberadaan gunung tertinggi di Belitung itu dialihfungsikan menjadi hutan lindung. Selain itu, Gunung tajam merupakan habitat alami tarsius dan pelanduk yang semakin hari keberadaannya semakin jarang akibat diburu manusia. Dengan dijadikannya Gunung Tajam sebagai kawasan hutan lindung, maka aktivitas pembalakan hutan maupun alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit pun bisa dihindari.
Menurut Bang Budi, aktivitas konservasi juga harus diimbangi dengan aktivitas edukasi dan enterpreneurship. Karena itu bersama kawan-kawan KPLB beliau membentuk Belitung Adventure yang bergerak dalam bidang pariwisata. Istilah green industry serta green tourism pun dikenalkan, yakni memanfaatkan lingkungan sebagai daya tarik. Karena itu Belitung Adventure pun bekerja sama dengan masyarakat sekitar untuk menjaga alam di Gunung Tajam. Konsep konservasi disinergikan dengan kepariwisataan sebagai bentuk pengembangan pariwisata berkelanjutan serta bertanggungjawab.
“Batu Mentas tidak hanya menjadi kawasan konservasi dan penangkaran tarsius, namun juga menjadi kawasan ekowisata yang bisa mengedukasi masyarakat,” ujarnya. Menurut Bang Budi, dulu banyak warga sekitar yang menangkap tarsius dan membunuhnya, karena dalam kepercayaan masyarakat lokal tarsius dianggap sebagai hewan pembawa sial. Setelah diberikan pengarahan akhirnya masyarakat tahu bahwa tarsius adalah hewan yang dilindungi. Kini mereka tidak lagi memburu tarsius, sebab mereka tahu bahwa dengan mengantarkan wisatawan melakukan tarsius watching di malam hari akan memberikan mereka pemasukan.
Penduduk lokal juga diedukasi bahwa dengan membalak hutan serta mengubahnya menjadi kebun sawit atau menambang timah akan mengakibatkan kerusakan alam yang berdampak pada anak cucu kelak. Meskipun hasilnya tidak sebesar menambang timah, tapi berladang sahang (lada) atau nanas Badau yang khas akan mampu memberikan penghidupan. Dengan mengajak wisatawan mengikuti trip trekking di ladang sahang maupun memanen emas putih tersebut, petani pun bisa mendapatkan pemasukan tambahan.
Setiap tahunnya di kawasan yang masuk dalam Kecamatan Badau ini juga dilaksanakan Batu Mentas Expo yang bertujuan untuk menyebarkan virus kepedulian terhadap lingkungan alam Belitung serta mengenalkan budaya lokal yang mulai tergeser. Selain seminar-seminar tentang lingkungan, kesenian daerah seperti Baripat dan Baregong juga dipertontonkan di tengah hutan yang dialiri sungai nan jernih ini.
Pengunjung yang mendatangi Batu Mentas tidak hanya menjadi wisatawan pasif yang hanya melihat keindahan alam namun juga berinteraksi langsung dengan alam. Beberapa aktivitas yang bisa dilakukan di sini adalah jungle trekking, river tubing, outbond, fish spa, serta tarsius watching.
Menurut saya, river tubing merupakan aktivitas yang cukup menguji adrenalin. Wisatawan akan diajak mengarungi sungai yang mengalir di tengah hutan menggunakan ban dalam. Bayangkan serunya melewati sungai yang berair jernih dengan jeram-jeram kecil di atas ban dan sebilah tongkat sebagai ganti dayung. Jika tidak berhati-hati bisa saja kita terbalik dan tercebur ke dalam sungai. Namun justru inilah asyiknya. Biasanya wisatawan justru malah ingin bannya terbalik serta tercebur ke sungai yang tidak terlalu dalam serta aman untuk diarungi ini.
Lelah bermain river tubing, kita bisa menikmati masakan khas Belitung berupa gangan ikan yang dimasak oleh koki Batu Mentas. Dijamin yummy!
Lantas persiapkan diri untuk mengikuti aktivitas tarsius watching di habitatnya langsung. Saat gelap tiba, wisatawan pun diajak untuk keluar masuk hutan mencari tarsius yang imut ini. Berjalan tengah malam di hutan tropis yang masih alami ditemani derik serangga hutan akan menjadi pengalaman tak terlupa. Namun jika Anda hanya punya waktu singat di Batu Mentas sehingga tidka bisa mengikuti aktivitas Tarsius watching di malam hari, Anda masih bisa menyaksikan hewan mungil ini di penangkaran yang ada. Tapi Anda tidak boleh berisik, sebab Tarsius termasuk hewan yang mudah stress.
Ingin menginap di Batu Mentas? Bisaaaa. Di tempat ini terdapat rumah pohon yang disewakan untuk wisatawan. Sepintas saya jadi ingat dongeng-dongen yang saya baca semasa kanak, tentang asyiknya tinggal di rumah pohon. Selain rumah pohon, tersedia pula Safari Tent, yakni tenda yang didirikan di atas panggung namun dengan fasilitas lengkap seperti layaknya hotel berbintang. Tapi malam ketika menginap di Batu Mentas saya lebih memilih untuk tiduran di sofa sembari bercengkerama dengan teman-teman Belitung Adventure, serta mendengarkan suara merdu Hafidz yang memecah kesunyian malam.
Berada di Batu Mentas yang masih alami dan jauh dari hiruk pikuk keramaian kota serta bising kendaraan membuat pikiran saya benar-benar fresh. Batu Mentas merupakan salah satu alternatif liburan di Belitung yang asyik dan wajib dikunjungi. Inilah sisi lain Belitung. Disini kita akan melihat Belitung yang sesungguhnya, Belitung tanpa kata timah serta Belitung yang masih asri.
Selepas dari Batu Mentas, saya lantas diajak oleh Ade Afrilian untuk mengunjungi Pulau Kepayang. Pulau yang bisa dicapai sekitar 20 menit naik perahu dari Pantai Tanjung Kelayang tersebut merupakan basecamp penelitian dan dan kawasan konservasi penyu sisik serta terumbu karang. Lantas pada tahun 2009, jauh sebelum kawasan Batu Mentas dikembangkan, pulau ini dijadikan wisata ekologi dan edukasi lengkap dengan dive center, restoran, cottage, serta penginapan dengan tarif backpacker.
Seperti kebanyakan pantai-pantai di Belitung, Pulau Kepayang atau yang juga dikenal dengan nama Pulau Babi ini juga memiliki pantai berpasir putih halus dan dipenuhi oleh susunan batu granit raksasa. Jauh di depan restoran pulau kepayang terlihat Pulau Lengkuas yang identik dengan mercusuarnya. Menyaksikan mentari terbenam dari tempat ini akan menjadi pengalaman liburan yang mengesankan.
Pertama tiba di Pulau Kepayang, saya langsung menuju tempat penangkaran penyu. Sejak dulu, Pulau Kepayang memang sering digunakan tempat bertelur penyu sisik. Namun kerap telur tersebut diambil oleh nelayan kemudian dijual di pasar. Tapi kini, oleh kawan-kawan KPLB telur-telur penyu tersebut dipindahkan ke penangkaran untuk ditetaskan. Telur yang telah menetas menjadi tukik dipelihara di kolam. Setelah usianya mencapai 3 bulan, tukik tersebut lantas dilepaskan ke laut sebagai habitat asalnya.
“Kedepannya kita juga ingin membangun perpustakaan di sini. Jadi pengunjung yang datang ke Kepayang selain bisa menyaksikan kehidupan penyus sisik secara langsung juga bisa belajar tentang kehidupan penyu maupun kehidupan laut dari buku-buku,” terang Ade. Dengan konsep pusat informasi penyu dan terumbu karang serta dive center yang semuanya dikelola oleh masyarakat lokal, wisatawan tidak semata-mata datang untuk melancong atau melakukan aktivitas rekreasi semata tetapi juga mendapatkan edukasi soal lingkungan hidup. Bukankah itu sebuah sinergi yang dahsyat?
Saya juga sempat diajak Bang Asro, salah satu pegawai Belitung Adventure yang dulunya merupakan mantan bajak laut namun kini justru menjadi instruktur diving dan juga nahkoda kapal, untuk melihat lokasi tempat biasa ditemukannya telur penyu. Sayang kali itu kami hanya menemukan sarang kosong. Lelaki gempal yang suka bercanda ini juga menjelaskan bagaimana teknik memindah telur penyu yang benar dan bagaimana cara menetaskannya.
Tak hanya penyu sisik, perairan di sekitar pulau seluas 14 hektar ini juga menjadi tempat konservasi terumbu karang. Akibat laut yang sudah tercemar, kondisi terumbu karang diperairan Belitung sudah tidak bisa dibilang bagus seperti halnya terumbu karang di perairan Indonesia Timur. Untuk menjaga terumbu karang supaya tidak rusak lebih jauh lagi, KPLB pun melakukan konservasi di tempat ini.
Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Kepayang bisa melakukan adopsi coral maupun transplatasi coral. Stek-stek coral tersebut lantas di tanam di dasar laut dan diharapkan akan bertumbuh menjadi taman laut yang indah sehingga bisa menjadi rumah bagi ikan-ikan dan fauna laut lainnya. Di perairan Kepayang ini pulalah untuk pertama kalinya saya mencoba snorkelling. Melawan rasa takut akan lautan luas, saya pun berhasil snorkelling dan melihat indahnya alam bawah laut.
Jika Anda pecinta diving, Anda pun bisa melakukan wreck diving maupun geo granit dive. Saya membayangkan betapa serunya diving di antara kapal karam maupun diving di antara batu-batu granit raksasa. Konon, sensasi diving di antara bebatuan granit ini hanya ada di Belitung dan di Kepulauan Seychelles. Sayang saya belum mengantongi diving lisence.
Pada kesempatan itu Ade juga sempat mengeluh soal ancaman penambangan menggunakan kapal isap di laut lepas yang mengancam keberadaan ekosisitem laut Belitung. Sebagian warga yang sudah sadar akan pentingnya menjaga ekosisitem laut dari kerusakan demi majunya pariwisata Belitung dan juga kelestarian lingkungan menolak rencana tersebut. Namun pihak pemerintah justru malah mendukung hal itu. Karena itu banyak warga yang melakukan aksi maupun dialong untuk mencegah dikeluarkannya ijin masuknya kapal isap ke perairan Belitung.
Setelah puas menikmati keindahan Pulau Kepayang dan melihat aktivitas konservasi di tempat tersebut, kami pun bergegas kembali menuju Tanjung Kelayang untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Tanjung Pandan. Berada di perahu yang membawa kami pulang, pikiran saya melayang kemana-mana.
Bagi saya Batu Mentas dan Pulau Kepayang merupakan salah distinasi wisata yang menarik untuk dikunjungi karena mendidik pengunjung untuk mencintai lingkungan hidup. Saya salut kepada kawan-kawan KPLB yang terus mendalami makna penyelamatan lingkungan sebagai bentuk dukungan positif bagi kegiatan kepariwisataan. Inilah sumbangsih nyata bagi dunia kepariwisataan Belitung sekaligus bentuk dukungan agar lingkungan disana tetap lestari.
Kunjungan saya ke Belitung untuk kedua kalinya ini telah menghadiahi cara pandang baru. Masyarakat sudah memperoleh kesadaran untuk berupaya menjaga keberlanjutan hidup dengan menyelaraskan diri terhadap alam sekitar. Manusia dan alam adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Dengan mengedepankan semangat menjaga alam, maka alam juga akan menjura memberikan dukungan. Semoga kehidupan dan pariwisata berkelanjutan di Belitong mampu memberikan inspirasi kepada banyak destinasi di penjuru nusantara.
Referensi:
– http://www.mongabay.co.id/2013/07/06/apple-masih-belum-akui-gunakan-timah-dari-pulau-bangka/
– http://www.mongabay.co.id/2012/10/16/terancam-tambang-10-ribu-warga-berencana-duduki-kantor-bupati-belitung/
– http://www.mongabay.co.id/2012/07/09/dari-sabang-sampai-merauke-hancur-terumbu-karang-tanah-airku/
– http://www.mongabay.co.id/2012/12/31/sawit-dan-tambang-2012-dua-sektor-unggulan-perusak-hutan/
– http://www.mongabay.co.id/2013/03/30/urgen-wajibkan-tambang-tak-rusak-lingkungan-dan-bahayakan-manusia/