#LiburanHijau Tak Selamanya Demi Uang

Liburan adalah saat yang kutunggu-tunggu, karena hanya saat liburan lah aku bisa melakukan segala hal yang kusukai tanpa harus memikirkan tumpukan tugas yang minta diselesaikan. Sejujuranya liburan kali ini tidak benar-benar kuhabiskan dengan melakukan hal-hal yang bersifat ‘hijau’, karena liburan kali ini kuhabiskan untuk mengunjungi nenekku yang kebetulan sekali sangat menyukai berkebun. Kuharap inilah yang akan menjadi penghubung antara liburanku kali ini dengan tema lomba ini.
Aku adalah seorang mahasiswi tingkat tiga yang kebetulan juga mempelajari perihal kesehatan lingkungan. Sebuah mata kuliah yang membahas hal-hal yang bersangkutan dengan alam dan kesehatan.
Jauh sebelum liburan ini dimulai, salah seorang dosen pernah menjelaskan bahwa lingkungan memiliki dua kemampuan khusus, yakni : Homeostatis serta Resilien atau Daya Lenting. Dimana Homeostatis sendiri adalah kemampuan lingkungan untuk tetap berada dalam keadaan seimbangnya serta Resilien yang berarti daya lenting lingkungan untuk kembali ke keadaan seimbangnya semula ketika telah mengalami perubahan.
Namun meskipun lingkungan memiliki kemampuan-kemampuan khusus seperti itu, lingkungan tetap membutuhkan waktu untuk menjalankannya. Mengetahui hal ini, betapa hebatnya Sang Pencipta yang sudah memikirkan hal sedemikan rupa demi kelangsungan hidup ciptaan-ciptaannya ini! Sesungguhnya, kini tinggal peran kita sebagai manusia lah untuk memelihara keseimbangan lingkungan ini. Sayangnya seiring berkembangnya zaman dan teknologi, manusia perlahan-lahan mulai menelantarkan tanggungjawabnya itu. Hal ini dapat dilihat dengan mulai bertambah banyaknya daftar hewan-hewan yang terancam punah, ekosistem yang rusak bahkan penyakit yang muncul dikarenakan lingkungan itu sendiri.
Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Aji Wihardandi dalam situs Mongabay.co.id pada 26 Juli 2013. Salah satu bukti nyata bahwa perkembangan teknologi telah membuat kita menelantarkan alam adalah dengan munculnya sebuah video, di salah satu jejaring ternama – Youtube, yang ternyata menjadi pemicu kelangkaan salah satu hewan – yang sebenarnya sudah terancam punah, kukang. Youtube sendiri adalah salah satu jejaring sosial, yang kira-kira sejak tahun 2006 telah menjadi salah satu anak perusahaan Google, yang tujuan awalnya hanyalah sebagai situs layanan penyimpan video, dimana para pengguna terdaftarnya dapat mengunggah video dalam jumlah yang tak terbatas dan pengguna tak terdaftarnya hanya mampu mengunduh serta menonton video-video yang ada tanpa bisa mengunggahnya. Siapa yang sangka dengan hanya mengunggah sebuah video dapat memicu kelangkaan suatu spesies?
Umumnya memang seringkali para pengguna Youtube menggunggah video aksi lucu mereka dengan peliharaan kesayangannya. Seringkali bahkan hal ini diputar di beberapa stasiun televisi dalam bentuk suatu chart. Namun sayangnya si pengguna tidak memperkirakan dampak jangka panjang dari video unggahannya ini dan sepertinya hal ini diartikan berbeda oleh para viewers.
Kukang sendiri adalah mamalia pemalu bermata lucu yang tak heran bila seringkali ia dijadikan incaran hewan peliharaan sehingga populasinya pun berkurang. Namun sebenarnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 mengenai Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Langka, kukang adalah salah satu satwa yang dilindungi, itulah mengapa perdagangan kukang sejatinya adalah illegal dan merupakan tindakan kriminal. Sayangnya, demi mencari uang, hal ini tidak diindahkan oleh beberapa penjual (misalnya) di Pasar Barito, Jakarta. Hebatnya para penjual-penjual ini telah mengetahui gigi tajam kukang mengandung racun se-berbahaya gigitan komodo, karena itulah mereka memotong paksa gigi-gigi tersebut hingga seringkali menimbulkan infeksi bahkan kematian. Bukan hanya itu saja, induk mamalia pemalu yang seharusnya menjaga anaknya dalam kurun waktu kurang lebih satu tahun dua bulan ini bahkan dibunuh paksa oleh para penjual-penjual illegal ini demi mendapatkan si bayi kukang. Manusiawi kah hal-hal yang dilakukan oleh para penjual-penjual illegal tersebut? Pernahkah terbesit dalam pikiran mereka (para pemelihara dan para penjual) untuk memposisikan diri mereka sebagai si bayi kukang dan menerima segala perlakuan kejam tersebut? Bahkan penangkaran pun tak berani untuk menjamin bahwa perlakuan yang diterima si bayi kukang di penangkaran akan sama dengan apa yang diterimanya dari ibunya maupun dari alam hidupnya. Bagaimana bisa si pemelihara cukup percaya diri bahwa si bayi kukang akan hidup bahagia dipelihara oleh dia?
Bukan hanya satwa darat saja yang terancam punah. Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Wahyu Chandra dalam situs Mongabay.co.id pada 24 Juli 2013. Hal ini pun dialami oleh satwa laut di Kepulauan Spermonde. Demi memenuhi kebutuhan ekonominya, para nelayan dengan tega menangkap ikan dengan cara paksa seperti dengan menggunakan pukat harimau, melakukan pemboman hingga penggunaan obat bius tanpa peduli dampak apa yang akan timbul setelahnya. Bedanya dengan sebelumnya, kali ini para nelayan-nelayan tersebut mengakui apa yang telah mereka lakukan dengan diikuti kalimat pembenaran bahwa mereka takkan dapat ikan yang banyak bila tidak dengan cara-cara itu. Namun sayangnya hal ini diperparah dengan laporan warga lain bahwa pemboman tersebut tidak hanya dilakukan sekali dua kali namun hingga tiga bahkan empat kali di wilayah-wilayah tertentu. Alhasil, banyak ikan yang tak berdosa dan dalam jumlah yang tak semestinya pun harus mati karena ini. Namun berdasarkan hubungan predator dengan prey, lingkungan takkan bisa tetap berjalan dengan sebagaimana mestinya tanpa salah satu komponennya. Berkurangnya populasi ikan ternyata menyebabkan meningkatnya populasi bintang laut mahkota duri (salah satu mangsa ikan). Tak hanya berhenti disitu saja, hal ini pun diikuti dengan berkurangnya populasi terumbu karang, karena sejatinya bintang laut mahkota durilah pemangsa terumbu karang. Padahal menurutku, salah satu indikator kecantikan suatu laut dapat dinilai dari se-beragam apa terumbu karang yang laut tersebut miliki. Ditambah lagi, Indonesia yang dikenal kaya akan keragaman hayati bawah lautnya yang seringkali menjadi sasaran empuk bagi penyelam-penyelam domestik hingga mancanegara. Sayangnya, seringkali Indonesia tidak menyadari potensi tersebut bahkan tidak sama sekali berjuang untuk memeliharanya apalagi meningkatkannya.
Hipotesis ini kudasari dengan artikel yang ditulis oleh Sapariah Saturi dalam situs Mongabay.co.id pada 25 Juli 2013. PT.Freeport Indonesia adalah salah satu perusahaan multinasional ternama yang juga merupakan penanam devisa terbanyak di Indonesia. Perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Freeport McMoran Copper & Gold Inc. ini sendiri (sesuai kontrak karya yang telah disetujui kedua belah pihak) telah bekerjasama dengan Indonesia sejak tahun 1973 hingga masa akhirnya di tahun 2021 – itupun bila tak ada perpanjangan kontrak seperti yang banyak media perkirakan yakni hingga tahun 2041. Beberapa sumber mengatakan bahwa perusahaan ini merupakan penghasil emas terbesar di dunia melalui Tambang Grasbergnya yang berada di Papua, Indonesia. Sayangnya hal ini tidak diimbangi dengan meningkatnya kesejahteraan bangsa Indonesia. Sesungguhnya hal ini tidak terlalu mengejutkan bila mengingat bahwa Indonesia ternyata hanya memiliki saham 9,3% atas perusahaan ini. Hal yang mengesalkan barulah ketika diketahui bahwa kejayaan perusahaan ini tidak diimbangi dengan kejayaan pulau tersebut, terutama kelestarian alam serta masyarakat sekitarnya yang secara tidak langsung turut ambil bagian dalam kelangsungan perusahaan ini. Berdasarkan artikel Sapariah tersebut, dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang berfondasikan Negeri Paman Sam tersebut, mungkin termasuk jeli dalam menemukan potensi alam suatu daerah yang tak terurus oleh negaranya sendiri, namun tak cukup pintar dalam membuat suatu teknologi ramah lingkungan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan menghitung berapa juta ton tailing (limbah hasil pertambangan murni) yang telah mereka buang dengan sembarangan dan seenaknya ke Laut Arafura, Papua. Hingga akhirnya mampu membunuh banyak satwa laut yang tidak bersalah dan tentunya juga turut mencemari kejernihan sumber air disekitarnya yang seringkali digunakan untuk kelangsungan hidup masyarakat Papua sehari-hari dan tentunya mampu menimbulkan bermacam jenis penyakit yang mungkin saja mematikan. Ditinjau dari kasus ini saja perusahaan ini telah jelas-jelas melanggar Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 pasal 3 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang Undang Dasar 1945 pasal 3 ayat 3 yang berisi tentang :

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Namun anehnya, bahkan seorang Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya, pun tak mampu banyak berkomentar tentang kondisi ini. Bukan hanya itu saja, beberapa sumber juga menambahkan terdapat beberapa perundang-undangan yang mengkhususkan perusahaan ini. Bahkan ada beberapa peraturan yang sengaja dibuat guna mendukung seluruh kegiatan perusahaan ini. Salah satu contohnya adalah Undang Undang Nomer 19 tahun 2004 yang sengaja dikeluarkan pada masa Presiden Megawati untuk merevisi Undang Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 mengenai Kehutanan Menjadi Undang Undang yang kurang lebih berisi :

“(a)Bahwa di dalam Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mengatur kelangsungan perizinan atau perjanjian pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya Undang Undang tersebut. (b)Bahwa hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan yang di kawasan hutan terutama bagi investor yang telah memiliki izin atau perjanjian sebelum berlakunya Undang Undang tersebut, sehingga dapat menempatkan pemerintah dalam posisi yang sulit dalam mengembangkan iklim investasi. ”

Ditinjau dari isinya, proses pengesahan Undang Undang ini sendiri tentunya menuai banyak kontroversi. Adakah politik uang dibalik pembuatan Undang Undang ini? Tak ada yang tahu. Namun semakin banyak aku membaca artikel-artikel semacam ini, makin besar keyakinanku bahwa uang lah dalang dibalik semua masalah lingkungan ini. Para penjual kukang dengan tega memperlakukan bayi kukang sekeji itu demi uang. Tak berbeda halnya dengan para nelayan yang berkali-kali melakukan pemboman dengan skala yang cukup besar demi mendapat banyak ikan untuk ditukar dengan uang. Ditambah lagi dengan pemerintah yang sepertinya tak bisa berkutik dalam menyelesaikan pencemaran-pencemaran lingkungan yang dibuat oleh PT.Freeport Indonesia, mengingat perusahaan inilah penyumbang devisa terbesar di Indonesia.
Uniknya, dari sekian banyak artikel yang memprihatinkan ini, ternyata ada satu artikel yang kusukai dan kukira pantas untuk kujadikan panutan. Tiga Pahlawan Sumatera Utara yang dengan berani mengembalikan penghargaan-penghargaan yang mereka dapatkan, karena melindungi lingkungan, pada pemerintah – karena kekecewaan mereka akan ketidakseriusan pemerintah dalam melindungi hutan dan lingkungan. Kupikir siapapun pasti kecewa ketika jerih payahnya dalam melindungi lingkungan, dengan memberikan penyuluhan mengenai lingkungan hidup disertai dengan penanaman bibit pohon sana-sini, tidak diimbangi dengan pemeliharaan tanaman hijau yang telah ada oleh pemerintahnya sendiri. Aku pun pasti kecewa ketika pemerintah dengan mudahnya membiarkan sebuah perusahaan, yang ternyata memiliki hubungan kerabat dengan pejabat setempat, membabat habis hutan tanpa menggunakan sistem tebang pilih bahkan ditambah dengan surat perizinan yang sebenarnya belum jelas. Lagi-lagi uang, lagi-lagi kekuasaan.
Di akhir cerita, aku menyadari satu hal. Kita mungkin tak memiliki apa yang penguasa-penguasa itu miliki. Mungkin naïf bila berpikir menyelamatkan lingkungan dapat mendatangkan uang. Namun, uang kah yang kita bawa mati? Cukup kah uang-uang itu bila kita ingin mewarisinya kepada penerus-penerus negeri? Mungkin sedih rasanya melihat potensi-potensi bangsa kita sendiri dieksploitasi oleh bangsa lain. Namun apa salahnya membuat potensi-potensi baru yang lain? Layaknya nenekku yang setia berkebun tanpa peduli masalah-masalah yang terjadi disekitarnya. Layaknya Tiga Pahlawan Sumatera Utara yang memilih untuk tetap melestarikan lingkungan dengan caranya sendiri tanpa minta ‘dihargai’ pemerintah. Hal-hal yang besar selalu berawal dari hal-hal yang kecil.

Referensi

Penelitian: Situs Youtube Picu Perdagangan Kukang Ilegal dari Indonesia

Ekosistem Laut Kepulauan Spermonde Rusak Parah

Laporan Greenpeace: Freeport Ancam Kelestarian Laut Indonesia

3 Pahlawan Lingkungan Sumut Kembalikan Penghargaan Pemerintah

Artikel yang diterbitkan oleh